🌻Bagian 52🌻

380 17 12
                                    


Ending👇

☘️☘️☘️

Tiiiiiiiiiiitttttttttttttt

Bersamaan dengan itu Dokter datang. Mematung di depan pintu sembari berucap, "Inna lillahi wa inna ilaihi rajiuun."

Arkan berdiam diri di samping Dokter. Ia menggeleng berkali-kali, menatap Ailah tak percaya.

"Gak!"

Bugh!

Bugh!

Arkan memukul Dokter yang ada di sampingnya. Merasa tidak puas, ia kembali menarik kerah baju Dokter itu, "Dokter gak becus! Gara-gara dokter datangnya telat, Icha jadi pergi! Sekarang periksa lagi Icha, atau saya akan bunuh dokter jika terjadi sesuatu sama Icha."

"Arkan, udah! Lo gak bisa kaya gini. Dokter hanya manusia biasa kaya kita. Dia cuma bisa berusaha semampu dia." Anggia mendekat, melepaskan cengkraman tangan Arkan pada Dokter itu.

Dokter itu menggeleng, "Keadaan pasien sedari tadi memang mengkhawatirkan. Ia sadar dalam keadaan yang sangat buruk. Mungkin pasien ingin menyampaikan pesan terakhirnya pada kalian."

Abyan menggeleng kuat, menatap wajah pucat Ailah dengan deraian air mata. Lalu memukul wajahnya berkali-kali agar ia lekas sadar bahwa ini hanyalah sebuah mimpi buruk, "Bangun! Bangun, bego! Lo lagi mimpi buruk!" Abyan semakin kuat memukuli wajahnya. Bahkan wajahnya sudah mati rasa, hingga ia tak lagi merasakan sakit. Hatinya jauh lebih sakit dari itu.

Adam mendekat. Menghentikan Abyan yang terus-menerus memukuli wajahnya, "Cukup, Nan. Ini bukan mimpi buruk. Sadar!"

"Gak, Pa! Nanda lagi mimpi. Papa tolong bangunin Nanda, siram muka Nanda pake air biar Nanda bangun  Pa!" Abyan betalih menatap monitor yang masih menampakkan garis lurus itu. Lalu memukulnya berkali-kali, "monitor ini pasti salah! Monitor ini pasti udah rusak! Kalo monitor ini hancur pasti Icha bisa bangun." Abyan mulai berpikiran yang tidak-tidak.

Adam yang melihat itu tidak tahan. Ia meraih segelas air yang berada di atas meja, lalu ......

Byurr

Disiramnya wajah Abyan dengan segelas air, "Sekarang kamu sadar kalau semua ini nyata? Ini bukan mimpi, Nan! Sadar!"

Abyan terdiam. Apa benar ini nyata? Kakinya terasa lemas, tak bisa lagi menopang tubuhnya agar tetap berdiri tegap, "Arghh!! Kenapa kamu pergi, Cha?"

Abyan menunduk, menatap kosong pada lantai berwarna putih itu. Membayangkan wajah Ailah yang tengah tersenyum manis padanya, saat Ailah marah padanya, dan saat Ailah menangis karena perbuatannya, "Jangan nangis, Cha. Maaf, selama ini aku selalu bersikap dingin sama kamu. Aku menyesal," lirih Abyan. Adam ikut berjongkok, lalu memeluk Abyan kuat. Abyan benar-benar sedang kacau.

Abid mendekat, menatap sendu adiknya yang terbujur kaku. Ailah masih terlihat cantik walau wajahnya tampak pucat, "Cha! Kamu gak denger tadi Bang Abid bilang apa?! Abang gak kasih izin kamu buat pergi, Abang gak kasih izin kamu buat ketemu sama Ayah Bunda. Sekarang, Abang sendiri, kan? Kamu gak kasian? Nanti kalo Abang kangen sama kamu, Bang Abid harus kemana, Cha? Kita gak bisa lagi berantem kaya dulu, kita gak bisa lagi rebutan Syifa kaya dulu."

Syifa ikut mendekat, ikut memeluk tubuh dingin Ailah, "Kamu gak jadi dong Cha ketemu sama Diba? Main sama Diba? Kamu masih terlalu muda Cha buat pergi ninggalin kita. Gak ada lagi yang bantuin Kakak jailin Abang kamu. Gak ada lagi yang bantuin Kakak masak di dapur." Syifa menutup mulutnya. Rasanya ia tak sanggup lagi. Ini benar-benar membuatnya sakit.

Anggia menggeleng kuat. Berdiri di samping Ailah yang sedang terbaring kaku, "Lo bohong kan, Cha? Lo gak mungkin pergi ninggalin kita. Lo gak mungkin lupain kenangan kita selama ini, kebersamaan kita selama di sekolah. Kalo lo pergi siapa lagi yang akan nasehatin gue sama Sila kalo lagi berantem? Siapa lagi yang bakal balas teriakin Reza di kelas?"

AILAH(END)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang