🌻Bagian 45🌻

127 9 0
                                    

☘️☘️☘️

Dini berjalan pelan menuruni anak tangga. Kepalanya menunduk dengan air mata yang terus berjatuhan membasahi wajahnya.

Kedua orang tuanya sudah pulang sejak satu jam yang lalu. Malam ini, Dini berpikiran untuk mengatakan tentang penyakitnya kepada kedua orang tuanya.

Tapi, Dini takut. Takut mendengar respon kedua orang tuanya. Dini menghela nafas pelan, mencoba meyakinkan dirinya bahwa yang ingin ia lakukan sekarang ini adalah hal yang paling tepat, yaitu dengan memberitahukan tentang penyakitnya pada orang tuanya.

Dini mengusap wajahnya, lalu dengan pelan ia mengetuk pintu kamar yang ada di depannya, "Ma, Pa. Boleh Dini masuk?" tanyanya seraya mengetuk pintu.

Pintu itu perlahan terbuka, menampakkan seorang perempuan yang wajahnya sedikit mirip dengan Dini, "Kenapa, Din? Kamu perlu apa?" tanya Diana.

Dini meremas jari-jari tangannya. Kembali menunduk dengan air matanya yang kembali menetes, "Dini, m-mau ngomong sesuatu sama Mama."

"Ngomong apa, Sayang? Kenapa malah nangis? Kamu mau minta uang jajan kamu ditambah?" Diana mulai menebak. Biasanya jika Dini merengek seperti ini pasti ingin meminta uangnya ditambah.

Dini menggeleng pelan. Maksudnya bukan itu. Oh, ayolah, Dini. Mengapa sangat sulit hanya untuk membicarakan hal itu?

Helaan nafas terdengar. Dini semakin menundukkan kepalanya. Sebenarnya ia tidak tega jika harus mengatakan semua ini. Ia kasihan dengan kedua orang tuanya.

Mereka terlalu lelah mencari uang untuknya, dan sekarang malah ditambah dengan masalah penyakit Dini. Sungguh, Dini tidak ingin membuat kedua orang tuanya semakin terbebani karena masalah ini.

Diana lagi-lagi menghela nafas berat. Merasa kesal dengan anaknya yang  ditanya hanya diam saja. Lagipula Dini juga tidak biasanyan seperti ini. Biasanya jika ada maunya, Dini akan langsung membicarakannya secara terang-terangan, bukan malah menjadi gugup mendadak seperti ini.

"Ayolah, Din. Ngomong sekarang. Mama gak punya waktu lagi buat nunggu kamu berdiam diri seperti ini. Kerjaan Mama masih banyak."

Dini tetap diam. Diana yang melihat itu langsung memegang kedua bahu Dini, menyuruh Dini agar menatap ke wajahnya, "Kamu mau apa? Mau ganti mobil? Atau, mau pindah sekolah? Ngomong aja, sayang. Mama pasti bakalan turutin kemauan kamu. Tapi, satu yang Mama minta sama kamu, jangan ganggu waktu Mama. Selain ngurus kamu, Mama juga banyak kerjaan di kantor."

Dini menatap wajah Diana sendu. Air matanya terus-terusan menetes membasahi wajahnya. Sedikit itukah waktu Diana untuknya? Hingga untuk berbicara saja susah, dan perlu diberi batasan waktu.

Selanjutnya Dini menggeleng. Ia sudah berubah pikiran, "Gak jadi, Ma. Mama gak punya waktu buat dengerin Dini ngomong, kan?" Dini tersenyum miris, "lagian yang Dini mau omongin gak penting kok. Dini pamit, mau tidur." Setelah mengucapkan itu Dini berjalan meninggalkan Diana. Ia berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya. Hatinya terasa sakit. Rasanya Diana benar-benar tidak menyayanginya.

Sesampainya di dalam kamar, Dini langsung menutup pintu kamarnya dengan kasar. Tububnya merosot ke lantai. Dadanya benar-benar terasa sesak. Sejak lama ia menahan semua ini, sejak lama ia mencoba mengerti dengan kesibukan orang tuanya.

AILAH(END)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang