🌻Bagian 46🌻

119 9 0
                                    

☘️☘️☘️

Pagi ini semua murid kelas Xll IPA 2 sedang berada di dalam perpustakaan. Pak Arman, guru mata pelajaran pertama mereka tidak datang. Jadi, dari pada jam kosong ini mereka gunakan untuk ribut-ribut di kelas, Bu Indah menyuruh semua penghuni kelas pergi ke perpustakaan untuk membersihkan dan menyusun buku yang ada di sana.

"Za, yang ini juga, jangan lupa," ucap Tia sambil menunjuk tumpukan buku, "Lo susun ke sana, ya? Soalnya gue gak nyampe."

Reza mendelik kesal. Bahkan kedua tangannya sekarang sudah terasa pegal. Sedari tadi Tia tak henti-hentinya menyuruhnya untuk mengangkat buku-buku yang lumayan berat itu, "Lo suruh orang lain, gih. Dari tadi lo nyuruh gue mulu. Makanya jangan pendek, tumbuh tu ke atas bukan ke samping," omel Reza, tapi dirinya tetap mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Tia.

Tia memberengut kesal. Merasa tidak terima dengan ucapan Reza yang menghina fisiknya. Tangannya mengambil sebuah buku yang cukup tebal, lalu memukulkannya berkali-kali pada Reza, "Gue gak pendek, lemarinya aja yang ketinggian! Lagian lo jadi cowok lemah banget sih, baru disuruh angkat buku gitu aja udah protes."

"Eh, lo apa-apaan sih? Sakit ni badan gue." Dengan cepat Reza merampas buku yang digunakan Tia untuk memukulnya tadi, sebelum pukulan Tia semakin menjadi. Bisa-bisa badannya sakit semua.

Ailah hanya menggelengkan kepalanya melihat kelakuan kedua orang itu. Seharusnya, sebagai pemimpin dan wakil di kelas, mereka harus kompak, bukan malah bertengkar terus-terusan seperti ini.

"Tia, lo gak boleh mukul Reza. Kasian nanti bukunya rusak," ucap Ailah sambil berjalan menghampiri Reza dan Tia.

Reza hampir saja tersenyum mendengar ucapan Ailah, tapi tidak setelah mendengar perkataan selanjutnya dari perempuan itu. Reza semakin menggeram kesal, "Bukan bukunya yang harus lo kasihani, tapi badan gue. Sakit semua gara-gara dia."

Ailah hanya mengangkat bahu acuh, "Menurut gue sih lo gak penting. Secara, lo sama buku itu beda jauh," ucap Ailah menggantung. Reza mengangguk mengiyakan. Jelas bedalah, Reza seorang manusia sedangkan buku adalah suatu benda, "karena buku adalah jembatan ilmu, sedangkan lo jembatan menuju jurang," lanjut Ailah tanpa beban.

Reza menggeleng-gelengkan kepalanya menatap Ailah yang sedang cekikikan bersama Tia. Tidak habis pikir dengan Ailah yang mengatainya seperti itu, "Wah, bener-bener lo, Cha. Ar! Sini." Reza melambaikan tangannya setelah Arkan menatapnya. Mengisyaratkan agar Arkan segera ke tempatnya.

Arkan menaikkan satu alisnya menatap Reza, "Cewek lo kalo ngomong sadis bener, gue kesinggung, Ar. Tolongin gue, gue dibuly," ucap Reza. Sengaja mengubah suaranya sesedih mungkin.

"Eh, dia bukan pacar gue. Udah beribu kali gue tegasin sama lo, gue sama dia sahabatan. Ngeyel banget sih kalo dibilangin," saut Ailah dengan cepat.

Arkan yang tadinya menatap Reza, kini beralih menatap Ailah. Ia tersenyum tipis. Jelas sekali dari tatapan Ailah pada Reza, bahwa Ailah sangat tidak suka dengan apa yang sudah Reza ucapkan. 'Segitunya kamu gak mau disebut pacar aku, Cha.' batin Arkan.

"Akhh, tolong!"

"Loh, itu kenapa di pojok pada ribut?" tanya Ailah sambil menatap sekumpulan orang yang ada di pojok ruangan ini.

Tia mengangkat bahu, "Gak tau, mungkin lagi rebutan sapu."

Ailah tidak menghiraukan jawaban dari pertanyaannya, dengan langkah cepat ia menuju ke tempat kerumunan itu. Rasa penasarannya lebih penting dari sekedar menunggu jawaban dari teman-temannya.

"Dini!" mulut Ailah terbuka lebar. Matanya bahkan sudah memerah karena merasa panik bercampur sedih.

Bagaimana tidak, Dini ia temukan di tengah-tengah kerumunan sedang tergeletak tak sadarkan diri di lantai. Bahkan tak satupun orang yang berniat membawanya ke Uks, termasuk kedua temannya sendiri.

Ailah kembali berlari mencari Arkan. Saat sudah berhasil menemukan laki-laki itu, ia langsung menarikknya menuju tempat Dini pingsan.

Arkan yang melihat itu menatap Ailah bingung. Kemudian matanya beralih menatap Dini dengan santai. Arkan tidak perduli, "Al, angkat Dini. Bawa dia ke UKS," perintah Ailah, "cepat!" ulangnya saat tak mendapat respon dari Arkan.

Arkan mengangguk ragu. Dengan hati yang kurang ikhlas ia mengangkat tubuh Dini, lalu segera membawanya menuju Uks. Jika saja bukan Ailah yang minta, sudah bisa dipastikan bahwa Arkan tidak akan menolong Dini. Sekali lagi, Arkan tidak perduli.

****

"Makasih, lo udah nolongin gue." Bibir pucat Dini mengulas senyum tipisnya.

Ailah ikut tersenyum, "Lo gak perlu bilang makasih. Kita kan temen, jadi wajar kalo sesama temen saling menolong, ya, kan?"

Dini mengangguk pelan. Hatinya merasa sedikit tersentuh dengan ucapan Ailah. Bahkan setelah apa yang ia lakukan selama ini, Ailah masih tetap menganggapnya teman.

Dini merenung. Apa setelah Ailah mengetahui semuanya, Ailah akan tetap memaafkannya? Apa Ailah akan tetap menganggapnya sebagai teman?

"Hei, Din. Lo mikirin apa?" tanya Ailah sambil menyentuh pundak Dini.
Dini sedikit terkejut. Selanjutnya ia menggeleng, "Lo kenapa bisa pingsan kaya tadi? Penyakit lo kumat lagi?"

"Tasya sama Fine, mana? Mereka gak ke sini?" Dini malah bertanya. Seperti sengaja mengelak dari pertanyaan Ailah.

"Ada sih, tapi mereka gak ke sini."

"Lo gak bohong, kan?" selidik Dini. Ia menatap Ailah penuh curiga. Sepertinya Ailah sengaja menjelek-jelekkan kedua temannya.

Ailah menghela nafas pelan, "Din, buat apa gue bohong sama lo? Dari tadi mereka emang gak ke sini. Bahkan kelakuan mereka aja bikin gue heran, temen sendiri pingsan bukannya ditolongin malah diliatin. Kan aneh."

Dini semakin menatap Ailah curiga. Ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang sudah diucapkan oleh Ailah, "Lo beneran gak bohong? Sumpah?" Ailah mengangguk. Tangan kanannya ia angkat, memberikan tanda piech pada Dini.

Dini lagi-lagi merenung. Apa benar kedua temannya seperti itu? Jika benar tega sekali mereka. Bukannya sebagai sesama teman kita harus saling menolong, kan? Sebisa mungkin ada di saat susah maupun senang. Tapi, Dini tidak melihat itu dari Tasya maupun Fine.

Selanjutnya Dini kembali menatap Ailah, "Kenapa malah lo yang nolongin gue dari banyaknya orang di perpus? Lo cuma kasihan kan sama gue? Bukan karena lo perduli sama gue, kan? Oh, atau lo punya rencana untuk bales dendam sama gue? "

Ailah lagi-lagi menggeleng, "Alasan gue cuma satu, karena lo temen gue. Gue heran, kenapa sih cewek-cewek tu pada milih temen? Gengnya harus beda-beda, harus misah. Gak kaya cowok yang sama semuanya temenan, gak ada yang ngerasa terkucilkan. Gue mau kita juga gitu, Din."

Tatapan curiga Dini pada Ailah perlahan menghilang. Ucapan Ailah ada benarnya juga. Dini juga tak kalah heran. Dalam satu kelas laki-laki bisa berteman dengan semuanya. Tapi tidak dengan permpuan, pasti ada saja perselisihan diantara mereka sehingga membuat mereka terpecah belah menjadi beberapa bagian.

Ada yang satu geng lima orang, ada yang tiga orang, dua orang, bahkan ada yang sendiri.

Benar, kan?
Itu sih menurut pendapat beberapa orang. Pendapat orang kan sudah pasti berbeda-beda.

"Lo masih anggap gue temen? Bahkan setelah apa yang udah gue lakuin sama lo?"

Ailah tersenyum, "Lo cuma ngehasut Anggia sama Sila, kan, Din? Gue udah maafin lo kok. Gue yakin, suatu hari nanti mereka berdua pasti bakalan temenan lagi sama gue, dan gue mau lo juga ada saat itu tiba."

"Tapi yang udah gue lakuin bahkan lebih besar dari itu, Cha. Gue udah buat hidup lo bener-bener hancur." Dini berucap pelan. Entah mengapa mulutnya tiba-tiba ingin mengatakannya.

Ailah mengerutkan dahinya. Ia tidak mengerti maksud dari perkataan Dini.  Dini yang tahu itu langsung tersenyum, menarik nafas dalam sebelum melanjutkan ucapannya, "Gue benci sama lo bukan tanpa sebab, Cha. Lo udah rebut Kak Nanda dari gue, dan gue gak terima itu."

Ailah membulatkan matanya. Apa-apaan ini? Lagi-lagi ia mendengar kata-kata ini dari mulut Dini, "Maksud lo apa?"

----------------------------------------------------------

AILAH(END)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang