Hari-hari berikutnya tidak ada orang yang mau dekat dengan Galan, terkecuali Rino. Timnya terpecah, saling diam satu sama lain. Tidak ada senyum sapa di antara mereka.
Gara-gara tidak semua orang mengetahui akan kejadian na'as di laboratorium kimia, membuat kesalahpahaman banyak pihak sekolah.
Dari banyaknya pihak, ada Yuri yang tengah berupaya keras menyebarkan ujaran kebencian untuk satu tim Galan. Walhasil, seluruh tangan mengacungkan kebencian yang tak terkira.
"Jika Galan dan Tania tidak meninggalkan stand eksperimennya, mungkin Pak Riem tidak akan mati dan tidak akan ada pertumpahan darah di sekolah ini."
"Semua ini gara-gara si miskin itu!" Yuri menunjuk Galan dengan dagunya.
"Sudah miskin! Pembawa bencana pula!" oceh Yuri dengan intonasi sengaja dikeras-keraskan.
"Yeah, bila perlu---kepala sekolah mengeluarkannya," timpal yang lain.
Yuri tersenyum miring, memang itulah yang telah direncanakan. Sebuah kebencian. Dia dan teman-temannya sedang membicarakan Galan yang tak acuh di belakang sana.
Tania mendengkus, tangannya mengepal gemas. Ingin sekali, menghantam mulut Yuri dengan meja. Tidak bisakah mereka diam sejenak, melupakan yang sudah terjadi?
Galan fokus ke depan, ia tidak mengubris cibiran Yuri yang sengaja dibesar-besarkan agar semua orang tahu.
"Kalian bisa diam tidak!"
Sontak mereka terperanjat, jantung Yuri seakan mau copot saat Pak Arman membentaknya. Mereka lupa kalau jam sekarang diisi oleh Pak Arman.
"Aduh!" Yuri mengetuk dahinya, tersadar kalau Pak Arman guru paling bengis di sekolah. Seluruh mata beralih pandang ke arah Yuri, membuatnya kikuk.
"Kalian keluar!" Mata Pak Arman menyidik. Sementara Yuri dan teman-temannya saling pandang. Berbisik-bisik, bagaimana ini? Dengan perasaan setengah takut melihat bola mata Pak Arman mau keluar.
"Kalian keluar atau Bapak yang keluar!"
Tidak ada pilihan. Empat orang itu akhirnya berdiri, jika sudah berhadapan dengan kerasnya Pak Arman---siapa pun tidak akan bisa mengelak.
***
Pak Arman memerintahkan agar semua tenang, jangan ada yang saling menyalahkan. Sepagi ini dia telah memasuki enam kelas, secara bergantian. Memberikan penyuluhan atas insiden yang sedang hangat-hangatnya.
Sebagai guru BK, ini adalah tugas utamanya---membantu mengatasi masalah yang dialami setiap murid. Agar tidak melebar kemana-mana, secepat mungkin Pak Arman memberikan arahan sebijak-bijaknya.
"Masalah kecil, jangan dibesar-besarkan. Yang sudah terjadi, biarlah terjadi," tutur Pak Arman. Ia memandangi mata mereka satu persatu. "Mau sampai kapan kalian menyalahkan teman kalian? Lihatlah mereka, apa kalian tidak kasihan?"
Tania, Galan dan teman-temannya yang berkaitan dengan kejadian-menunduk. Meskipun Pak Arman sudah jelas memihak mereka, namun rasa bersalah tetap saja ada.
Pak Arman hanya memperingatkan agar muridnya bersikap saling mengerti. Tetapi, tampaknya tidak demikian yang terjadi.
Galan dan Tania selalu di salahkan, semua orang seperti tengah menjadikan mereka sebagai sasaran kejadian itu.
Di setiap sudut sekolah, tidak di kelas, di kantin, maupun di perpustakaan-pembicaraan mereka seolah tersebar laksana angin. Begitu cepat dan singkat.
Tania frustasi, Galan memilih mengurungkan diri-ia ikut merasa sangat bersalah. Terlepas dari itu semua, ia jadi semakin murung jika berangkat sekolah. Jiwa sosialnya terpuruk jauh, bak orang depresi tingkat akut.
Kerjaannya hanya melamun, tercenung, seolah sudah tidak ada kehidupan lagi di pelupuk matanya.
Jauh sebelum peristiwa itu terjadi, Galan adalah salah satu siswa yang punya sosialitas tinggi. Punya kepercayaan diri dan bakat yang mumpuni, dan keahlian lainnya.
Mungkin inilah yang dimaksud mental illenes. Mental dimana seorang manusia tertekan hebat terhadap kejiwaannya. Dan itu-yang sedang melanda pola pikir Galan. Sungguh malang nasibnya, niatan berbuat baik malah berujung kematian.
Terkadang, pinta tolong orang lain bukan semata-mata untuk meminta tolong, tetapi-untuk membalaskan dendamnya. Maka berhati-hatilah jika hal itu terjadi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)
General Fiction"Akan kubuktikan kalau aku, bukan orang yang lemah dan kalah!" ~Dari Galan, seorang anak miskin yang akan mengubah wajah Bangsa Indonesia. Langsung baca, pasti suka. Semoga kalian terinspirasi😊. Baca juga Sequelnya (Sang Pelopor) Follow jika berken...