Ternyata, oh ternyata. Di balik wajah yang katanya 'tampan'—seseorang yang baru saja Galan kenal namanya itu—punya rahasia yang begitu aneh.
Yang pertama, Iqbal kalau tidur mendengkur membuat Galan harus tutup telinga kalau tidur. Dan yang kedua, ia susah sekali untuk bangun. Jangankan bangun, dibangunkan saja susahnya minta ampun.
Mula-mula Galan menganggapnya biasa saja. Mungkin karena dia lelah, tapi semakin ke sini. Ternyata tidak ada bedanya dengan hari-hari yang sudah lewat. Ini jelas kebiasaannya kala di rumah. Pikirnya.
Setiap kali Galan mencoba membangunkan, Iqbal selalu meracau tidak jelas. Susah sekali untuk dibangunkan. Tidak hanya Galan, tetapi juga Bu Susi—salah satu pelatih mereka.
"Bal, Bal, bangun Bal."
Iqbal hanya menggaruk pipinya seraya meracau.
"Bal, Bal ..."
"Iqbal!"
Saking sulitnya, hal ini membuat Bu Susi murka. Jadi ia putuskan, jika ingin membangunkan Iqbal—Bu susi selalu membawa ember berisi air. Air itu kemudian diciprat-cipratkan sambil berteriak.
"Bangun, bangun, bangun! Kebakaran! Kebakaran!"
Iqbal terperanjat, matanya terbelalak.
Selalu saja begitu. Galan terpingkal-pingkal jika melihat wajah temannya itu terperanjat dari kasur. Rasanya seperti orang habis dikejar hantu dalam mimpi.
Hari demi hari mereka lewati, kebiasaan Iqbal bangun kesiangan mulai berubah. Setiap kali Bu Susi masuk—guna membangunkan mereka, Iqbal pasti sudah terbangun. Dia tidak mau terus menerus disiram air ember, sambil diteriaki, "kebakaran, kebakaran, awas kebakaran!" Atau kalau tidak. Seperti ini, "maling, maling, ada maling!"
Hal itu membuat Iqbal jantungan sekaligus trauma untuk bangun kesiangan.
Namun, tidak bagi Galan. Itu justru membuatnya tertawa terbahak-bahak.
Latihan berlangsung saban hari, tidak ada hari libur meskipun akhir pekan. Ini memang sudah perjanjian dari awal masuk, bahwa mereka memang harus berlatih keras di sini.
Hari demi hari telah mereka lewati. Waktu melesat dengan cepat. Mereka semakin terbiasa dengan latihan. Lekas subuh, serangkaian olahraga dikerjakan, lalu sarapan, barulah pukul tujuh pagi—latihan dimulai.
Sepanjang pagi hingga sore, hanya latihan yang menjadi pekerjaan mereka. Tidak ada waktu untuk bermain-main ataupun bersantai-santai di sini. Semuanya gerak, berjalan bersama di bawah bendera NKRI.
Meskipun Galan tidak jadi Danton, ia tidak pernah merasa iri ataupun dengki. Sama sekali tidak. Ia malah beruntung, bahkan sangat beruntung. Bagaimana tidak, ia dipilih sebagai salah satu penggerek bendera pusaka. Pasukan inti dari yang paling inti.
Meski wajahnya hitam, itu tidak masalah baginya. Toh wajah hitam bisa pulih lagi, tidak masalah. Yang terpenting sekarang adalah kebanggaan yang tak ternilai harganya. Kapan lagi bisa mengibar di Istana Negara, bukan?
Tiap kali usai latihan, Galan selalu tersenyum, memberikan dua jempolnya pada Tania. Seraya memujinya, "kau memang pantas jadi pembawa baki. Selain cantik, kau juga wanita yang hebat. Jarang sekali aku menemukan wanita yang mau panas-panasan."
Mendengar itu, seketika wajah Tania bersemu merah, senyum-senyum sendiri.
"Eh, bagaimana dengan kabar sekolah?" Buru-buru Galan mengalihkan topik lain. Agar tidak merasa canggung.
Jika sudah bicara tentang sekolah. Galan selalu mengajak Tania duduk di bawah pohon. Menjauh dari kerumunan. Mereka tidak mau ada yang tahu perkara ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)
General Fiction"Akan kubuktikan kalau aku, bukan orang yang lemah dan kalah!" ~Dari Galan, seorang anak miskin yang akan mengubah wajah Bangsa Indonesia. Langsung baca, pasti suka. Semoga kalian terinspirasi😊. Baca juga Sequelnya (Sang Pelopor) Follow jika berken...