28. Andai kau tahu.

1.3K 638 18
                                    

"Perbanyaklah bersyukur, sampai kau lupa untuk mengeluh."
~BalVeer~

***

Bintang gemitang bersinar dengan terangnya tanpa merasa tersaingi dengan rembulan. Lampu-lampu jalanan telah menyala menghiasi setiap sudut jalan.

Ribuan penduduk Ibu Kota memilih menikmati malamnya lewat secangkir kopi hangat berpadukan dengan kebersamaan keluarga. Momentum seperti inilah yang dinanti-nanti mereka. Bersenda gurau, makan malam, lalu menonton film kesukaan bersama keluarga-sebelum tidur.

Tidak terkecuali dengan Galan. Meski secara fisik kehidupan mereka jauh dari kata layak, namun---mereka menjalani semuanya dengan baik. Tidak ada sedikitpun keluhan yang terucap di bibir mereka.

Selepas sholat isya', Galan beserta Ayah dan adiknya berkumpul, melakukan makan malam seperti penduduk kota pada umumnya. Ayah berhasil membawa tiga buah nasi bungkus dari hasil keringatnya. Tidak mengapa, setidaknya ada yang dimakan untuk malam ini.

Galan membuka bungkus nasi perlahan, sementara itu---Eji berinisiatif untuk mengambil air minum dan sendok makan di dapur.

Galan Melirik ayahnya, air mukanya tampak pucat malam ini. Guratan wajahnya tambah banyak, semakin menua.

"Ayah sakit?" Tanya-nya, sedikit cemas.

Ayah tersenyum kecil, senyum yang dipaksakan. "Ayah tidak sakit. Jangan khawatir. Mungkin ayah terlalu lelah."

Eji datang membawa sendok, gelas dan juga air minum dalam cerek. Ia sudah tidak sabar menyantap hidangan malam ini.

"Wah, ayam goreng!" Seru Eji ketika membuka bungkusan miliknya. Jarang sekali dia bisa makan ayam.

Ayah ikut senang melihat wajah anaknya senang. "Sudah, ayo kita makan. Eji, kau pimpin do'a. Biar tambah berkah makanannya."

Eji mengangguk, segera membaca do'a yang ayah pinta. Setelah itu, mereka makan dengan syahdu.

Lima belas menit berlalu, makan malam kecil itu usai. Galan beranjak membersihkan peralatan makan yang kotor, sedangkan Ayah dan adiknya beranjak tidur. Ia sudah terbiasa dengan ini. Sebagai anak yang paling besar, ia harus mengerti keadaan. Bahwa, adanya keluarga itu saling membantu-bukan saling mengandalkan.

Barulah setelah semuanya beres, Galan mematikan lampu, kemudian ikut merebahkan badan---berdampingan dengan Ayah dan juga Eji.

Sebelum Galan memejamkan mata, Eji membalikkan badan---tampaknya ia ingin bicara sesuatu padanya.

"Kenapa belum tidur, Ji? Kau kedinginan lagi?" Tanya Galan, sembari menarik selimutnya.

"Kak ...,"

Galan menoleh. "Ada apa?"

Eji diam. Sebetulnya ia ingin bicara sesuatu, tapi entah kenapa mendadak lidahnya kelu.

"Baju sekolahku rusak ...," Eji mengecilkan suaranya. Ia tidak mau ayah mendengar ucapannya. "Eh, sobek maksudnya," tambahnya.

"Sudah, tidurlah. Besok pagi 'kan bisa di jahit sebelum sekolah." Galan mengacak rambut adiknya. Menyuruh tidur. Kalau hanya sobek besok-besok juga bisa dijahit sebelum sekolah.

Mendengar tanggapan kakaknya, Eji hanya menghembuskan nafas berat. Lalu kembali berbalik arah.

Galan menutup kantung matanya, mulai menikmati tidurnya.

***

Di luar gelap, ini masih pukul setengah enam pagi---namun Galan sudah mandi, memakai seragam lengkapnya---bersiap untuk berangkat.

Tapi urung, saat ia mengetahui ayah masih berdiri dengan sholatnya, belum membuatkan sarapan.

Galan bergegas membuka lemari kayu yang telah di makan usia itu. Biasanya Ayah selalu menyediakan mie instan di sana.

Dan benar, ketika daun pintunya terbuka-ada lima bungkus mie yang masih dalam kemasan.

Galan menyalakan kompor, merebus mie adalah cara agar dia bisa mempercepat waktunya.

"Kak?"

Seseorang menyebut lembut namanya, Galan menoleh sekilas. "Ada apa, Ji?"

Sepasang tangannya sedang berkutat memasak mie di atas kompor minyak tanah yang menyala---jadi tidak terlalu menghiraukan ucapan adiknya.

"Baju putih-ku ...," Eji mengusap wajahnya, ia baru bangun.

"Di lemari Kakak ada benang sama jarum, ambilah!" Galan menyuruh Eji sembari mengangkat mie yang sudah masak.

Galan tidak bisa lama-lama, sebab jam enam bolong-bolong latihannya telah dimulai. Dengan cepat ia menghabiskan sarapannya, bergegas mengambil tas. Keluar.

"Kak?"

Eji memanggilnya sekali lagi, saat tubuhnya di depan ambang pintu.

"Ada apa lagi, Eji?!" Galan menghentikan kakinya. "Kau jahitlah sendiri itu pakaianmu. Kakak tidak bisa membantumu---kakak buru-buru."

Galan meneruskan langkahnya, meninggalkan gubuk reyot kayunya. Ada Rino yang tengah berdiri menunggunya sedari tadi.

"Ayo, berangkat. Lima belas menit lagi latihan dimulai." Rino mengingatkan agar Galan berjalan cepat, tidak membaca buku-karena waktunya mendesak.

Eji mematung. Tatapannya sendu. Ia membuka perlahan seragam putihnya yang sejak tadi digenggamnya erat-erat.

"Andai saja kakak tahu."

Kedua bola matanya berkaca-kaca memandangi seragam putih yang sobek menjadi dua bagian.

***






Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang