07. Triple superior

3.1K 1K 98
                                    

Rino sudah berangkat duluan, jadi untuk pagi ini-Galan berangkat sendiri ke sekolah. Alasan mengapa Rino duluan, karena hari ini jadwal piketnya.

Dari arah belakang, mobil sedan hitam menyusuri jalanan ibu kota, membelah lautan kendaraan yang ada. Lalu lintas berjalan normal, tidak ada polusi ataupun kemacetan-yah karena ini masih pagi. Jika siang, beda cerita.

Lampu merah menyala, Agat menghentikan mobilnya. Sendirian termenung di dalam mobil, tidak ada teman atau kerabat.

Sembari menunggu lampu hijau, matanya menyorot setiap sudut kota. Sepagi ini banyak ia temui pekerja kantoran, anak-anak sekolah, hingga polisi lalu lintas yang baru berangkat.

Saat Agat sedang menyapu pandang, saat itulah kedua matanya melihat sesosok orang yang berjalan dengan seragam putih abu-abu yang lambangnya persis miliknya.

Dari jalannya, sepertinya orang itu tidak asing. Agat menepiskan mobilnya ke trotoar, menghampiri sosok itu.

"Oh, ternyata Galan." Agat bergumam. Ia membuka kaca mobil, mengeluarkan wajahnya.

"Hei, Lan, Kau jalan kaki?!" Agat berseru memanggil Galan. Untuk masalah Pak Riem, lupakan. Jangan diungkit-ungkit lagi.

Galan menghentikan langkahnya. "Setiap hari aku juga jalan kaki, Gat." Galan menjawab sesantai mungkin.

"Ikut naik mobilku, kau mau?" Agat menawarkan tumpangannya.

Galan mengangguk. "Boleh." Kemudian masuk ke mobil duduk di sebelah kursi kemudi.

***

Sampai di sekolah Galan turun dari mobil lebih dulu, mengucapkan terima kasih. Bilang bahwa ia akan ke kelas duluan.

"Aku duluan, Gat."

Agat hanya mengangguk, tidak keberatan. Sebenarnya ia tidak mau terus-terusan seperti ini. Tapi, yah-apa boleh buat.

Agat menarik langkah, memasuki gedung sekolah. Beberapa orang menyapa, memberikan ucapan selamat pagi kepadanya. Agat membalasnya-memberikan senyum tipis di bibirnya.

Masuk ke lorong sekolah, terlihat seseorang dengan badan kurus menungguinya. Siapa lagi kalau bukan Oscar.

"Kau sudah melihat Mading pagi ini, Gat?" Dito langsung menjejari langkahnya. Agat hafal betul Oscar, temannya satu ini adalah salah satu Penggila Mading.

"Belum. Aku baru saja tiba, mana mungkin aku sudah melihat mading." Agat menjawabnya setengah kesal. Lagian, sudah tahu baru berangkat-masih saja ditanya 'sudah atau belum?' ya, jelas belum lah.

"Kau harus lihat mading pagi, Gat!" Oscar mendesak. Seperti yang sudah-sudah-mungkin topik pagi ini tentang harga cabai yang melangit, atau koruptor kelas kakap yang hanya diberi hukuman penjara. Ah, bosan lihat berita seputar itu terus!

"Dimana Dito?" tanya Agat, sejak tadi ia belum melihat batang hidung anak itu.

"Tadi bilangnya mau ke toilet. Tapi, entahlah-kadang anak itu suka berbohong-bilang ke toilet, malah ke kantin." Oscar menjelaskan.

Melihat penggila mading memenuhi lorong, Agat melambatkan langkahnya.

"Ayo, buruan. Kau pasti suka lihat beritanya," ujar Oscar semakin tidak sabar.

"Baiklah." Agat akhirnya menurut, terus melangkah.

Persis saat Agat dan Oscar tiba di depan mading, bel berbunyi tiga kali. Semua penggila mading bubar-menuju ke kelasnya. Ada Galan juga di sana, ia ikut bubar bersama dengan yang lain. Jika ditilik dari wajahnya, kelihatan sekali kalau Galan masih depresi. Agat menghela napas, kasihan.

Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang