67. Berdamai dengan waktu

1K 546 11
                                    

Kalau ada typo, tolong kasih tau 🙏

***

Jam tiga sore, matahari tidak sepanas jam dua belas. Udara pun mulai teduh, jalanan tidak macet. Sangat menyenangkan.

Raka menginjak pedal gas, memacu mobilnya dengan kecepatan sedang. Sejak tadi yang ia inginkan hanyalah sebuah kedamaian. Hidup tanpa pikiran, tanpa masalah, bebas sebebas-bebasnya. Namun, Sepertinya tidak—hidup menuntutnya untuk selalu menghadapi masalah.

Di samping kemudinya, dua bola basket terdiam, membisu. Jujur, ia tadi hendak bermain basket, tapi karena keadaan sedang tidak memungkinkan, jadi ia batalkan. Dan entah kenapa nalurinya ingin bermain ke rumah Galan.

Lima belas menit mengemudi, mobil sedan hitam itu telah memasuki gerbang kampung pemulung. Ia berhenti tepat di depan rumah Galan. Ini aneh, biasanya kalau ia ke sini—pasti para penduduk mengerumuni mobilnya. Tetapi, kali ini tidak.

Dari kaca mobil terlihat sang pemilik rumah sedang mengeluarkan barang-barang yang ada di dalam rumah. Galan dan adiknya mengeluarkan buku-buku kumuh, kayu-kayu bekas dan perabotan rumah lainnya. Raka turun, menutup pintu mobil. Ia sendirian. Sengaja tidak mengajak Oscar dan Dito.

"Hei, Lan. Sedang apa kalian? Apa kalian akan pindah rumah?" Raka langsung menyemburkan pertanyaan—yang sebetulnya itu tidak baik untuk ditanyakan.

"Tidak," jawab Galan sembari mengangkat buku-buku di kardus. Ia meringis, tampak keberatan. "Kami tidak akan pindah, kami hanya ingin membersihkan dalam rumah." Ia menurunkan kardus itu, lalu menghempaskan debunya.

"Setidaknya rumah kami bersih walaupun kelihatan jelek," ujar Galan. Ia kembali masuk ke rumah.

Raka memandangi satu persatu perumahan yang ada di depan matanya. Terlihat kumuh, kotor—hanya rumah Galan yang kelihatan sejuk dipandang.

Selintas ia berpikir, "sampai kapan ... negeri ini bisa bebas dari kemiskinan?" Raka bedecak kecil. "Ini benar-benar buruk."

Melihat Galan kewalahan, Raka menawarkan diri. "Bolehkah aku membantumu?"

Galan meringis, otot-otot lehernya terihat. Kelihatan sekali kalau ia tengah menahan beban berat ditangannya. "Ti-dak per-lu." Ia menurunkan kardus. "Sebentar lagi juga selesai."

Raka mengelus leher belakang. Ia jadi tidak enak, bagaimana mungkin dirinya cuma berdiri memandangi orang yang sedang sibuk? Tetapi, mau bagaimana lagi? Galan menolak untuk dibantu.

Raka kembali mengedarkan pandangannya. Dari ujung sana, tampak segerombolan anak-anak seumuran Eji tengah main bola—tanpa sepatu, tanpa sendal. Meskipun begitu, tidak ada kesedihan yang yang tergambar di sana.

Senyum riang dari setiap anak tercetak jelas dari wajahnya. Apalagi kalau ada yang bisa membobol gawang lawan, mereka berteriak histeris.

Terbesit keinginan untuk mendekat, tapi khawatir kalau-kalau kehadirannya justru merusak suasana. Cepat-cepat Raka menggeleng. Ia membalikkan wajah ke rumah Galan.

Tidak disangka-sangka, entah kebetulan atau memang karena Tuhan mengerti akan keinginannya. Tiba-tiba bola yang tengah dimainkan itu terlempar jauh, mendekati Raka.

Awalnya Raka tidak mengerti. "Apa mereka mengajakku untuk bermain?" Lantas mengambil bolanya, mendongak mereka yang sedang berseru-seru agar Raka segera melempar bolanya.

"Ayolah, Kak. Lempar bolanya!" Bocah berkulit hitam penjaga gawang berseru, memohon.

Raka berjalan mendekat, sambil memantulkan bola yang ada di tangan. Banyak dari mereka tercenung ketika melihat bola plastik itu bisa dimainkan layaknya bola basket.

Raka pun berinisiatif, sepertinya bola ini bisa juga kalau dipakai buat main basket.

"Kalian bisa main basket?" tanya Raka. Ia menghentikan pantulannya. Menatap mereka satu persatu.

Mereka menggeleng serempak, tidak ada satupun yang mengangguk.

Raka tersenyum kecil, kembali memantul-mantulkan bola tersebut. Namun, kali ini lebih bervariasi. Dengan berbagai macam gaya—tangannya men-drible bola ke samping kanan, kiri,  depan, belakang. Lalu men-shoting-nya, meraihnya lagi. Membuat mereka tepuk tangan, terkesima.

"Kalian mau belajar basket?" tawar Raka sembari men-drible bola. "Kalau mau, kakak bisa ajarin kalian."

Anak-anak itu saling pandang, menunggu persetujuan antar mata. Raka masih menunggu. Lucu sekali melihat mereka saling lempar pandang.

Sepersekian detik kemudian, entah apa yang dibicarakan lewat mata—akhirnya semua mengangguk.

"Mau, tapi di sini tidak ada ring basket, Kak?" ucap salah satu dari mereka.

"Iya, juga," gumam Raka. Ia menggaruk kepala, berfikir, "kalau buat ring basket, pasti kelamaan." Raka mengelus rambut cepaknya, berpikir keras.

Sedetik kemudian, akhirnya ia punya ide. Kenapa tidak menyuruh pembantu rumah untuk mengirim ring basket ke sini? Ring basket itu 'kan manual, bisa dipindahkan kapan saja.

Tanpa banyak pikir, Raka segera menelepon salah satu pembantu rumah, meminta agar salah satu ring basketnya dikirim ke sini.

"Bagaimana caranya, Tuan? Ring basket itu besar sekali," ucap orang di sebrang sana.

"Kan bisa pakai mobil pick up, Pak!" tegas Raka. Ia tidak mau tahu.

"Pokoknya kirim ke sini ya, Pak. Saya tunggu!" Raka menutup teleponnya. Ia tahu, pembantunya pasti akan menuruti keinginannya. Apapun caranya.

Selanjutnya, Raka menelepon Oscar dan Dito, bergantian. Ia juga meminta mereka agar cepat ke sini.

"Oke, ditunggu!" Raka mengepalkan tangannya. Bersorak, "yes!" Ia jadi tidak sabar untuk mengajari anak-anak ini.

Raka menutup telepon. Sebetulnya ia tadi tidak mau mengajak Oscar dan Dito untuk ke sini. Akan tetapi, untuk mengajari dua puluh anak, bukanlah perkara gampang.

"Boleh aku bergabung? Sepertinya main basket seru juga." Entah sejak kapan Galan ke sini. Tapi, itu membuat Raka semakin bersemangat—tidak hanya mengajari anak-anak kampung—tapi juga Galan.

Apakah Galan bisa main basket?

***

Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang