69. Konspirasi di balik kemenangan

1.1K 553 13
                                    

Ini sudah sore, waktu ashar sebentar lagi habis. Galan bersicepat masuk, mengganti baju—siap melaksanakan shalat ashar.

Tidak ada waktu buat mandi, jika dia memilih untuk mandi terlebih dahulu—maka Galan akan kehilangan sholatnya.

Jadi, Galan putuskan untuk mandi sehabis sholat nanti.

Saat keluar rumah—hendak mengambil air wudhu, tiba-tiba mobil sedan hitam terparkir di depan rumah.

Seseorang yang amat Galan kenal menyembul dari balik pintu mobil. Betapa terkejutnya Galan melihat hal itu.

"Hei, Lan." Orang itu menyapa tanpa ekspresi. Siapa lagi kalau bukan, Agat.

"Maaf, jika kedatanganku mengganggumu." Agat melangkah kecil, lalu berhenti tepat di depan muka Galan.

"Ada perlu apa kau ke sini?" Galan langsung menyemburkan pertanyaanya. Waktu shalatnya sudah diujung tanduk, dia tidak bisa berlama-lama.

"Aku tahu, kau membenciku." Agat membalikkan badan, berjalan kecil—memandangi matahari yang tidak lama lagi akan hilang.

Galan mendengkus, sebetulnya kenapa tiba-tiba Agat ke sini? Ada perlu apa dia? Bukankah dua hari yang lalu dia selalu menghindar?

"Ayolah, katakan saja apa maumu ke sini. Aku tidak punya waktu untuk mendengarkan basa-basimu itu." Galan mendesak. Jika tidak tahu etika menghormati tamu, dia akan meninggalkan Agat sedari tadi.

Terdengar suara gemericik sungai mengalir dengan tenang. Juga helaan nafas Agat yang tampak dari punggungnya.

"Aku kemari cuma ingin memberitahukan tentang rahasia besar Rey, ini bukan lagi mengenai OSIS ataupun Paskibra," jelas Agat.

Kedua alis Galan bertemu. "Rahasia besar? Sebesar apa rahasia itu?" Galan membatin. Dengan terpaksa dia menunggu penjelasan yang sudah lama memenuhi pikirannya.

"Yeah, asal kau tahu. Aku tidak percaya kalau aku bisa menang di pemilu OSIS kemarin. Pasalnya, saat orasi saja—Rey bahkan hampir berkelahi di atas panggung. Belum lagi namanya—yang sudah jelas-jelas di cap sebagai seorang berandalan sekolah. Anak nakal, dan sebutan-sebutan lainnya."

"Lalu kenapa kau berpihak pada Rey?" Galan langsung to the poin.

"Karena aku ingin tahu rahasia besar Rey. Kenapa dia selalu ditakuti, disegani sama orang-orang. Sudah lama aku ingin tahu rahasia besarnya. Hingga akhirnya peluang itu datang. Aku tidak mungkin menyia-nyiakannya. Sekarang, aku tahu rahasia besar itu." Agat memaparkan alasannya.

"Kau tahu, kenapa kami bisa menang?" Agat bertanya santai.

Galan masih diam. Menjawab pun pasti salah.

"Ternyata ada konspirasi besar di balik semua itu," ungkap Agat membuat Galan semakin kebingungan. Apa hubungannya dengan konspirasi?

"Di dunia ini, konspirasi tidak hanya dipakai oleh Petinggi Negara, ilmuan terkemuka, ataupun hal-hal yang berbau rahasia umat manusia. Kau pasti tahu maksudku."

Galan melangkah mendekat. "Sebentar-sebentar, bisakah kau tidak berbelit-belit dalam menjelaskan teori konspirasi? Langsung saja ke poin apa yang ingin kau sampaikan."

Agat terkekeh, kemudian berbalik arah. "Oke, baiklah kawan. Aku tahu kau pasti sudah tidak sabar dengan apa yang kumaksud."

Agat menangkupkan kedua tangannya di dada, bersitatap muka langsung dengan Galan. Dia bersiap menjelaskan semuanya kepada Galan—apapun resikonya, kejahatan tidak boleh dibiarkan begitu saja.

"Rey menyuap penduduk sekolah."

Galan tertegun. "A-apa? Menyuap? Bagaimana bisa? Bukankah sebagian besar murid sekolah kita itu anak orang kaya?" Galan menggeleng tidak percaya. Mana mungkin orang kaya mau disuap hanya dengan beberapa uang kertas?

"Itu benar. Sekolah kita memang didominasi oleh orang kaya. Tetapi, apakah mereka tidak mau uang? hanya dipinta untuk memilih Rey," Agat mengangkat pundak. "bukanlah perkara sulit."

"Semua orang disuap?" Galan bertanya, masih tidak percaya.

"Tidak semua," jawab Agat. "Beberapa orang ada yang menolak, ada juga yang menentang. Jika ada yang menolak maupun menentang, maka orang itu akan diancam oleh suruhan Ayah Rey."

"Perlu kau ketahui, Ayah Rey adalah seorang bandit besar. Jadi tidak sulit untuk mewujudkan keinginan anaknya."

Galan tercenung, jadi—dugaannya selama ini benar?

Dulu Rey pernah menghadangnya, kemudian membawanya ke lorong. Rey tidak sendirian, dia bersama banyak orang yang berpakaian mirip preman. Apakah itu kaki tangan Ayah Rey juga?

Agat juga menceritakan ketika dia mengirim pesan kepada Raka. Saat itu dia ingin menceritakan hal ini, tapi Rey lebih dulu menjemputnya—jadi Agat tidak bisa mundur.

"Kau tidak sedang berbohong, bukan?" Galan hanya ingin memastikan sekali lagi. Jika hanya sebuah ucapan, ia tidak bisa mempercayai sepenuhnya.

Agat menggeleng, tersenyum kecil.

Mendadak dari arah gerbang seorang pemuda muncul dengan mengendarai motor KLX-nya dengan kecepatan tinggi. Knalpotnya sangat memekakkan telinga.

"Apakah dia anak orang kaya?" tanya Agat.

Galan mengangguk, pemuda itu memang anak orang kaya. Dia sering lewat sini karena rumahnya dibelakang kampung pemulung ini.

Sekonyong-konyong Agat berlari, menghadang pemuda itu. Galan mematung, apa yang sedang Agat lakukan? Pikirnya.

Dari jarak lima meter, Galan melihat Agat bercakap-cakap kecil dengan pemuda itu. Entah apa yang diucapkannya, tapi yang jelas—Galan melihat Agat mengeluarkan uang merah—foto soekarno dari sakunya.

Tidak lama setelah percakapan itu. Agat menyerahkan uang itu, kemudian membalik badan—melangkah menjauh. Juga pemuda itu, dia menyalakan mesin motornya. Lalu dengan kecepatan tinggi, mulutnya berteriak-teriak.

"Reynanda Dinata!"

"Reynanda Dinata adalah pemenang!"

Senyuman kecil tersungging di sudut bibir Agat. Dia sudah melakukan apa yang Galan mau. Membuatnya percaya, kalau itu bukanlah kebohongan. Orang kaya sekalipun, kalau dikasih uang juga akan diterima.

"Jadi, apakah kau percaya denganku?"

***

Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang