Kalau ada typo, tolong kasih tahu 🙏
***
Sembari menunggu ring datang. Raka mengajak mereka untuk latihan fisik terlebih dahulu. Lima belas menit, cukup. Kemudian ia mengambil dua buah bola basket yang ia bawa tadi.
Sebenarnya latihan fisik basket butuh waktu lama, tapi karena ini hanya untuk sekedar hiburan—jadi tidak perlu lama-lama.
Kebetulan Oscar dan Dito sudah datang. Jadi tidak berat untuk mengajari banyak orang. Meskipun Oscar dan Dito tidak masuk ke tim basket sekolah, tapi jangan salah—jangan remehkan bakat basketnya.
Pertama-tama, Raka mengajari mereka teknik dasar dari basket, lalu taktiknya, juga strategi. Ia mengajarkan perlahan, tapi pasti. Dari men-drible, men-shoting, dan teknik-teknik lainnya.
Galan dan anak-anak kampung mencobanya satu persatu. Ia langsung mempraktekkan apa yang diajarkan oleh Raka, Dito, dan Oscar.
Ternyata tidak sesulit apa yang dibayangkan. Galan cepat sekali menangkap apa yang diajarkan. Termasuk cara paling dasar basket.
Raka, Oscar dan Dito saling pandang—mereka bahkan tidak menyangka kalau Galan bisa paham secepat itu.
Setiap orang beda-beda, ada yang beruntung—punya sifat cepat tanggap terhadap hal baru. Ada juga yang harus diasah baru bisa. Dan sepertinya, Galan adalah salah satu dari orang yang beruntung.
Seandainya ada Agat, sudah barang tentu latihan ini akan lebih baik. Karena hanya dia dari kawanan ini yang bisa masuk ke tim basket sekolah. Sayangnya Tuhan berkehendak lain. Ia tidak diizinkan untuk melatih anak-anak ini.
Sekitar empat puluh lima menit, anak-anak itu menyerap latihan dasar yang Raka berikan. Mereka juga mulai membuat teknik-tekniknya sendiri, bagaimana cara mengelabuhi musuh, lalu men-shoting bola—meski dengan badan pendek. Itu bukan omong kosong.
Satu jam, akhirnya ring datang. Pembantu Raka benar-benar mematuhi perintah tuannya. Ia membawa ring itu dengan mobil pick up, tanpa banyak tanya. Meski ring manual bentuknya cukup aneh, tapi fungsinya sama saja. Sama-sama untuk basket.
Raka, Oscar dan Dito langsung membuat lapangan basket ala kadarnya. Bertempat di pinggir sungai, garis pembatas hanya sebuah garis yang dibuat dengan kayu, tanpa alas kaki—dan yang terakhir, lapangan ini banyak krikilnya.
Sebelum memulai, mereka membersihkan krikil-krikil yang berserakan. Lalu membuangnya ke sungai sampai benar-benar bersih. Jika tidak bisa lecet kaki mereka.
Karena ring cuma satu saja, jadi aturan mainnya—tidak sama dengan aturan basket sesungguhnya. Ini hanya untuk hiburan, siapa yang bisa memasukkan bola—maka dia yang akan dapat poin.
Raka juga memberitahukan kepada mereka—kalau bola kaki dengan basket berbeda perolehan poinnya. Berbeda dengan sepak bola, basket lebih mengandalkan teknik. Jika tekniknya begitu apik—misalnya memasukan bola dari kejauhan—maka perolehan poin juga akan berbeda.
Lapangan pinggir sungai itu sudah jadi, berjarak dua meter dari sungai membuat lapangan ini tidak terlalu bahaya.
Berkat pertemuan sore itu, Raka punya aktivitas baru, yakni—melatih anak-anak kampung pemulung ini untuk menjadi pemain hebat nantinya. Sejenak ia lupakan masalahnya, tidak lupa Raka juga mengajak Oscar ikut bermain. Galan yang tidak pernah menyentuh bola basket akhirnya ikut juga. Meski masih pemula, tapi kemampuannya tidak boleh diremehkan. Sementara Dito, ia jadi wasit sekaligus pencatat poin.
Raka memang ikut bermain, tapi tidak untuk mencetak poin. Ia hanya ingin mengajari anak-anak yang belum bisa.
"Lempar bolanya!" Oscar berseru lantang kepada bocah berumur sembilan tahun itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)
General Fiction"Akan kubuktikan kalau aku, bukan orang yang lemah dan kalah!" ~Dari Galan, seorang anak miskin yang akan mengubah wajah Bangsa Indonesia. Langsung baca, pasti suka. Semoga kalian terinspirasi😊. Baca juga Sequelnya (Sang Pelopor) Follow jika berken...