11. Kejutan yang tak diharapkan(1)

2K 853 20
                                    

Selepas dari sholat jum'at, Agat menuju ke rumah Galan untuk mengantarnya.

Galan terlihat lebih segar sekarang, seperti mendapat energi baru setelah sholat.

Karena memang Agat tidak pernah ke rumah Galan, jadi mau tidak mau Galan menjadi petunjuk arahnya.

Jika melihat google maps, perkampungan Galan tidak terlihat, sepertinya memang tidak terdaftar di satelit. Ya, mungkin saja benar. Apa harus pemerintah mencantumkan perkampungan para pemulung?

Pasti tidak, bukan?

Mobil sedan hitam itu telah masuk ke perkampungan kumuh ala pemulung.

Seperti yang kalian tahu, tidak ada secuil pun keindahan di sini. Rumah bertingkat, atau-pun apartement mewah. Tidak ada. Semua terlihat kusam, kotor, dan hal-hal menjijikan lainnya.

"Mana Rumahmu, Lan?" Agat bertanya heran, di depannya jelas-jelas bukan gedung, melainkan sungai dengan gubuk yang mungkin tidak pantas disebut dengan rumah.

"Yang benar saja, ini 'kan kampung pemulung," gumam Agat dalam hati, seraya menoleh ke arah Galan.

"Itu, yang kedua dari ujung." Galan menunjuk rumahnya, rumah ke dua paling pinggir.

"Itu?" Agat berkerut dahi, sedikit bingung. Ia melirik Galan yang hanya mengangguk pelan. Sepertinya dia sungguhan tinggal di sini.

Agat tertegun. "Bagaimana bisa Galan tinggal disini?" Ribuan pertanyaan segera berjibun memenuhi pikirannya.

Saat mobilnya tiba di depan perumahan, sekonyong-konyong para warga keluar dari rumahnya, berlari mengerumuni mobil Agat.

Anak-anak kecil tidak kalah heboh, mereka dengan tangkas menerobos puluhan orang tua, hanya ingin menyaksikan paling depan.

"Hei, hei, Ada apa dengan mereka, Lan?! Kenapa mereka mengerubungi mobilku?" Wajah Agat mendadak panik, ia tidak pernah menyaksikan hal semacam ini sebelumnya.

Galan tersenyum kecil, sembari melepaskan sabuk pengaman ia menjawab, "tenang saja, mungkin mereka kira—ini mobil orang yang sering ngasih sumbangan. Itu sudah biasa, biar aku yang ngurus."

Wajah-wajah penuh harap terpancar di sana, menunggu seseorang turun dari mobil dengan harapan ada sumbangan yang biasanya diberikan.

Galan turun dari mobil, membuat semua orang menoleh bingung.

"Eh, Aku kira mobil ibu-ibu yang sering ke sini ngasih sumbangan, ternyata kau, Lan," celetuk salah seorang Ibu.

Galan tersenyum, berdiri sesopan mungkin. "Maaf, Bapak-bapak Ibu-ibu, ini mobil teman saya, bukan mobil orang yang sering ke sini itu." Galan mencoba menjelaskan.

"Yah ...." seruan kesal segera tersembur dari mulut mereka. Dengan berat hati mereka langsung bubar, kembali ke rumah masing-masing.

Tampaknya mereka kecewa berat lantaran mendapati mobil mewah yang ternyata bukan ibu-ibu yang mereka harapkan.

Melihat itu, ada sedikit haru yang memercik di hati Agat. Tidak pernah terbayangkan, bahwa negeri ini memiliki segudang misteri kemiskinan yang tidak pernah tuntas. Ini sangat ironis.

"Kau tidak mampir rumahku dulu?" Galan memberi tawaran kepada Agat.

"Eh, kapan-kapan saja ya, Lan. Aku sudah tidak sabar ingin mandi terus ganti baju. Badanku bau sekali," tutur Agat, sambil mengibaskan ketiaknya yang memang bau.

"Hm, baiklah. Kalau begitu terima kasih banyak untuk hari ini." Galan tersenyum, penuh terima kasih.

"Tidak usah berterima kasih begitu, Itu bukan apa-apa kawan." Agat menimpali seraya tersenyum.

"Aku pulang dulu, Lan." Agat melambaikan tangan, pamit pulang.

Galan mengangguk tersenyum sebagai jawaban.

Agat memutar mobilnya, meninggalkan perkampungan pemulung itu.

***

Lagi-lagi Eji yang menyambutnya pulang dari sekolah. Galan melongok ke dalam, mencari ayah. Tidak ada ayah.

"Ayah belum pulang, Ji?" tanya Galan sedikit kuyu. Bekas lebam di pipinya membuatnya susah untuk bicara.

"Belum Kak, sepertinya ayah sholat jum'at sekalian." Eji menjelaskan dengan masygul.

"Kok pipi kakak biru?" Eji memandangi pipi Galan.

"Biasa." Galan mengusap kepala Eji lembut. "Sudah, tidak perlu dicemaskan. Kakak baik-baik saja."

"Kakak mau ganti baju dulu. Nanti kita makan siang Sama-sama." Galan mengacak-ngacak kepala Eji, lantas berjalan ke kamarnya.

***

Jum'at ini Galan bekerja untuk pertama kalinya di laundry milik Bu Ita. Meskipun badannya masih sedikit sakit, tetap ia paksakan untuk bisa bekerja.

Ia tidak mau selalu bergantung pada ayahnya. Lagi pula, Galan juga sudah besar, umurnya juga sudah matang. Jadi tidak ada alasan untuk mencegahnya.

"Bu, ini sudah selesai. Apalagi yang harus kulakukan?" Galan sudah selesai. Ia menunjukan pakaian yang sudah di bungkus rapi.

"Nih, cuci pakaianku!" Tahu-tahu seseorang melempar pakaiannya dari belakang tepat mengenai muka Galan.

Sontak ia menoleh ke belakang, jelas Galan tidak terima. Siapa gerangan yang berani tiba-tiba melemparnya pakaian kotor. Dasar tidak tahu adab!

Saat Galan menoleh sempurna, tidak pernah diduga olehnya, bahwa yang melempar pakaian itu tidak lain adalah Yuri.

"Kenapa Yuri tiba-tiba disini?" Gumamnya dalam hati.

"Apa?! Kau tidak terima, hah!" bentak Yuri, sambil berkacak pinggang.

Siapapun tidak heran dengan kelakuan Yuri, memang sudah tabiatnya seperti itu.

"Kenapa lagi, anak itu!" Bu Ita yang sedari tadi sibuk sendiri langsung menghentikan gerakannya, segera menghampiri mereka berdua.

"Yuri!"

Melihat wajah Bu Ita naik darah, Yuri segera melangkah pergi. Sebelum ceramah panjang lebar akan membekuknya di ruangan ini.

"Jangan diambil hati, Lan. memang dia seperti itu," jelas Bu Ita sedikit prihatin.

Galan mengangguk mengerti, ia sudah terbiasa melihat tingkat Yuri di sekolah.

Tetapi ada satu pertanyaan yang sedari tadi mengganjal di benaknya, membuat Galan mendadak bertanya, "Kenapa Yuri tiba-tiba ada disini, Bu?"

Bu ita menghela nafasnya, menilik wajah Galan yang sepertinya belum tahu siapa Yuri sebenarnya.

"Karena Yuri adalah anak saya."

Apa? Yuri anak Bu ita? Seketika Galan terdiam mendengar jawaban yang mengejutkan barusan.

Ini kejutan sekali.

Lebih tepatnya, kejutan yang tidak pernah ia harapkan.

***

Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang