09. Penggagas Reformasi

2.5K 999 78
                                    

"Jika ada kesalahan, mohon kasih tahu ya--"

Selamat menikmati.

***

Jam terahir telah usai, ratusan manusia berhamburan bak semut keluar dari sarangnya.

Parkiran penuh, satu dua orang berseru kesal karena mobilnya tidak dapat keluar.

"Hei, minggir! Aku dulu yang keluar!"

Itu suara Rey, dia memang terkenal tidak sabaran. Sudah tahu lagi pusing cari cara buat keluar mobil-eh, dianya langsung nyerobot duluan.

Galan dan Rino pulang jalan kaki, tidak ada yang bisa diharapkan tumpangan mobil.

Yang ada mereka akan diejek, lalu ditertawakan.

Terik matahari sudah seperti sahabat bagi mereka berdua. Tidak akan bisa terpisahkan, walaupun sebagian besar orang tidak menyukainya.

"Nanti siang kau mau kemana, Lan?" tanya Rino sambil menutupi wajahnya dari sinar matahari.

Galan mengelap peluh di dahinya, lalu menjawab, "sepertinya aku akan mencari kerja sampingan. Melihat Ayah semakin tua, aku jadi kasihan."

Ada penyesalan saat mendengar kalimat terakhir Galan, sepertinya pertanyaannya hanya membuat wajah Galan terlipat.

"Memang kau mau kerja apa?" tanya Rino lagi, terlanjur masuk dalam sebuah topik, jadi dia meneruskannya.

"Entahlah, aku bahkan akan keliling perkotaan jika itu jalan yang bisa kulakukan agar aku bisa kerja."

Rino hanya mengangguk, sebagai respon. Ia menatap Galan kasihan.

Berbeda dengannya yang masih punya orang tua lengkap dan masih bisa bekerja mencari nafkah.

Sedangkan Galan, ayahnya sudah tua, ibunya juga telah tiada. Ia juga punya adik yang masih kecil. Sungguh malang nasibnya.

Tiga puluh menit berlalu, mereka sampai ke gubuk kecilnya.

"Assalamualaikum," Galan mengucap salam.

"Wa'alaikum salam." Eji yang menjawab.

"Ayah belum pulang Ji?" Galan bertanya pada adiknya, seraya melangkah masuk.

"Itu, lagi nyiapin makan siang," ucap Eji sambil menujuk Ayahnya.

Galan masuk ke kamarnya. Meletakkan tas dan sepatunya ke sudut lemari.

Kamarnya gelap, dengan satu jendela kecil berukuran tidak lebih dari tiga puluh senti meter persegi, membuat cahaya yang masuk tidak leluasa.

Sebagai pengagum Presiden Habibie, Galan punya banyak foto tentang beliau. Buktinya, seluruh dinding kamarnya penuh dengan foto-foto Presiden itu.

Harus ia akui bahwa Sang Penggagas Reformasi itu banyak membuatnya berubah.

Baginya, Pak Habibie telah menginspirasinya sejak kecil. Sejak ia berumur sembilan tahun.

Koleksinya akan foto Pak Habibie tidak terkira banyaknya. Dari naik panggung, sampai duduk di kursi kayu-semua ada.

Ia memandangi salah satu foto Pak Habibie. Air muka keriputnya tidak pernah melunturkan kewibawaannya.

 Air muka keriputnya tidak pernah melunturkan kewibawaannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang