46. Tidak boleh lemah

1.2K 582 29
                                    

Saban hari, mereka ditempa bak prajurit yang tak kenal lelah.

Pukul enam pagi mereka harus sudah tiba di sekolah---bersiap melangkah ke lapangan. Tidak peduli malam habis gerimis atau pun hujan sekalipun.

Lapangan seolah medan perang bagi mereka. Tak pelik lagi jika badan mereka tak terurus, hitam, gelap bak orang yang habis kebakaran rumahnya. Tidak hanya wajah, tetapi seluruh kulit.

Sengatan matahari ternyata juga membuat badan mereka bau dan kotor. Tapi tidak masalah—itu sudah menjadi keharusan bagi mereka.

Pukul enam pagi, sebelum orang-orang berdatangan---mereka melakukan sarapan pagi di tengah lapangan.

Adapun aturan dalam makan, tidak jauh berbeda dengan militer. Karena paskibra sendiri adalah salah satu organisasi Semi Militer, jadi apapun latihannya tidak jauh dari Militer.

Duduk dengan badan tegak, dan tatapan lurus adalah cara mereka melakukan makan. Ditambah dengan lauk pauk yang ditempatkan di atas kepala---membuat semua kepala tidak bisa menoleh sedikitpun.

Begitu uniknya mereka.

Tentang larangan ketika makan adalah, tidak boleh menoleh, tidak boleh ada nasi yang terjatuh---jika ada, nanti ada konsekuensi untuk itu. Dan satu lagi, tidak boleh ada yang berbicara.

Sarapan usai. Mereka beranjak berdiri, merapikan nasi yang bercecaran di mulut, bibir dan lainnya.

Sederet latihan yang sejak tadi menunggu mereka segera dimulai. Bermula dari jogging, melemaskan tangan, kepala, kaki dan anggota tubuh lainnya. Hal itu bertujuan agar tidak ada   yang keram nantinya.

Berbagai latihan yang mereka tempuh, tapi yang paling kerap adalah PBB, itu sudah jelas.

Ketika orang-orang duduk manis di kelas,  mereka harus bergulat dengan teriknya matahari---menaklukan panas yang selalu menyengat kulit. Berjam-jam terus saja begitu.

Namun, ada satu kejadian yang sangat menyentuh hati di pagi ini.

Saat Galan berdiri di depan barisan---bersiap untuk melakukan PBB statis---PBB yang dilakukan di tempat, tiba-tiba di ujung kedua sepatunya sobek, menganga laksana buaya kelaparan. Galan menunduk sekilas, jari-jarinya keluar. Sepertinya sepatunya yang telah berusia lima tahun ini harus segera diganti.

Kontan peristiwa ini mendatangkan seluruh perhatian teman-temannya. Mereka melirik ke bawah—dalam hati---mereka bisa merasakan apa yang sedang dirasa pemimpinnya ini.

Apa yang hendak Galan lakukan? Apakah latihan akan diberhentikan sejenak? Krikil-krikil di lapangan ini akan menyiksanya jika latihan ini tetap dilanjutkan. Pikir mereka.

Tapi Galan tidak ambil pusing. Dia langsung mencabut sepatunya dan melemparnya ke bibir lapangan. Untuk kesekian kalinya Galan membuat kagum mereka semua. Satu sifat yang selalu membuat mereka terkesan adalah, tidak pernah pikir panjang untuk kepentingan bersama.

Galan kembali berdiri tegap. Menatap langit. Melanjutkan aksinya, tanpa alas kaki.

***

Sepanjang latihan Galan tidak memakai sepatu. Hanya kaus kaki berwarna putih kumuh yang melindungi kakinya dari kerikil-krikil lapangan.

"Sepatumu kenapa, Lan?" Raka menghampiri Galan yang tengah berteduh di salah satu pohon.

Mereka baru saja melaksanakan shalat.

"Rusak," jawab Galan sambil mengelap sepatunya. "Mungkin sudah terlalu lama."

Satu persatu teman-temannya berdatangan---Ikut bersimpati adalah bentuk kepedulian mereka.

Mereka ikut berkumpul di bawah pohon. Satu dua berbisik-bisik kecil. Ada yang tertawa lebar—untuk mengobati rasa lelah.

"Apa kakimu baik-baik saja?" Rino bertanya. "Eh, maksudku—bukankah sakit jika tanpa alas kaki?"

"Baik-baik saja atau tidak. Kau pasti bisa menebaknya. Tapi aku sudah bertekad, tidak boleh lemah."

Lima menit berlalu, salah satu senior berseru. Latihan kembali dimulai.

Galan berdiri, dengan senyum mengembang penuh antusias—ia melangkah, diikuti oleh anggota lainnya.

Meskipun ia sendiri yang tidak memakai sepatu, tetapi semangatnya tidak akan redup hanya karena faktor sepatu. Rasa sakit ini akan terbayarkan oleh rasa bangga dan cintanya kepada tanah air.

Baginya, materi bisa dibeli di mana saja---tapi pengalaman, tidak akan bisa. Butuh pengorbanan untuk mendapatkannya.

***

Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang