55. Gebrakan baru

1.1K 573 9
                                    

Jika ada yang kurang pas, atau kesalahan—jangan segan-segan kasih tahu🙏.

____

Waktu silih berganti, empat hari terlampaui. Tidak ada kemajuan signifikan dari mereka.

Anggota tetap lima orang. Tidak ada yang mau diajak gabung. Setiap mereka menawarkan kepada adik kelas atau teman satu angkatan—pasti jawabannya, "iya, nanti dipikir-pikir dulu."

Galan, Raka dan Tania kewalahan menghadapi hal satu ini. Mana Pemilu OSIS tinggal tiga hari lagi, apa yang mesti mereka lakukan?

"Ferdy, kita harus bagaimana lagi? Tidak ada yang mau bergabung dengan kita?!" Tania langsung menumpahkan keluh kesahnya di depan Ferdy.

Ferdy diam. Terus melangkah, tidak menghiraukan Tania.

Tania tidak sendiri, ada Galan juga Raka yang ikut menghadang Ferdy. Tapi, nampaknya Ferdy tidak peduli akan itu.

"Apa kau tidak punya rasa peduli kepada kami?" Raka tidak akan membiarkan Ferdy pergi begitu saja. Ia akan terus memaksanya.

Wajah Ferdy pias. Dia masih banyak urusan yang harus diselesaikan. "Kau cari, teman-teman kalian. Tanyakan satu persatu---siapa tahu ada yang minat." Ferdy tetap berjalan, meninggalkan mereka.

Mereka bertiga saling pandang. Tidak adakah yang bisa membantu mereka? Mereka sedang buntu. Pemilu OSIS diadakan beberapa hari lagi.

"Hei! Jangan mentang-mentang kau akan lengser dari Ketua OSIS! Lalu kau tidak peduli lagi dengan kekacauan yang kami hadapi!" pekik Galan. Sebetulnya ada perasaan tidak enak---karena memang Ferdy pelatihnya sekaligus Ketua OSIS.

Namun, sedetik kemudian langkah Ferdy terhenti. Teriakan Galan sukses membuat  Ferdy berputar haluan ke arah mereka bertiga.

"Oke. Oke. Aku bantu kalian mencari anggota."

"Tapi, jangan sekarang. Aku sedang sibuk! Nanti sebelum pulang, temui aku di ruang OSIS."

"Puh," Tania ber-puh pelan. Ada perasaan lega setelah Ferdy menyatakan akan membantu kubu mereka. Itu artinya, ada kekuatan pendorong yang siap meringankan.

***

Selepas bel pulang berbunyi, Galan dan Raka beranjak dari kursi. Bergerak menuju ruang OSIS.

Jika tadi saat istirahat mereka bertiga. Kali ini, mereka hanya berdua. Raka memutuskan agar biar mereka saja yang mengurus ini. Tania dan lainnya tidak usah ikut.

Ruang OSIS sebetulnya ruang TU juga. Hanya saja, ruang OSIS disekat dengan dinding—di pojok ruangan.

Meskipun para murid sudah pulang, guru-guru TU masih sibuk sendiri. Merekap hasil absen, keterangan izin, dan perdata lainnya.

Galan dan Raka respek terhadap guru-guru ini.  Disaat yang lain pulang, mereka ditahan oleh pengabdian. Itulah mengapa sejak dulu—guru selalu digadang-gadang sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.

"Silahkan Duduk." Ferdy mempersilahkan mereka duduk. Sikap kepemimpinannya sudah tidak perlu diragukan.

Mereka mengangguk, lantas duduk. Ferdy menata kertas yang berceceran terlebih dahulu, menumpuknya di sudut meja. Ia sudah seperti orang kantoran, yang setiap hari harus berurusan dengan kertas juga pena.

Satu menit menunggu. Baru kemudian Ferdy bisa mengobrol dengan mereka.

"Aku tahu, kalian sebetulnya tidak berniat mencalonkan OSIS." Ferdy meletakkan penanya. "Benarkan?"

Galan dan Raka mengangguk bersamaan. Memang itulah faktanya.

"Aku punya resep spesial untuk kalian."

Galan dan Raka menggeser kursinya lebih dekat. Tampaknya Ferdy akan berbagi tips ampuh yang dimilikinya.

"Pertama, jadilah kadidat yang supel, mudah bergaul dengan banyak orang. Jika mereka memberikan aspirasi---tampung setiap aspirasi yang mereka berikan."

"Kedua, dikarenakan kalian masih dalam label calon kandidat. Tugas kalian harus benar-benar bisa meyakinkan orang. Mengap mereka harus memilih kalian? Apa jaminan jika kalian terpilih?"

"Nah, kalian bisa meyakinkan mereka saat kampanye mendatang. Entah itu memamerkan program kerja atau sinergi yang bisa dipercaya tanpa omong kosong."

"Ketiga, jadilah diri sendiri. Jangan terbuai dengan komentar orang. Berikan layanan atau program yang terbaik untuk kemajuan sekolah."

"Keempat, aku harap kalian bisa public speaking. Yah, itu pasti. Masa iya pemimpin tidak bisa public speaking?"

Meski mereka tidak membawa buku, keduanya mencatat semua resep spesial itu dalam benak.

"Jadi pemimpin tidaklah mudah." Ferdy menghela nafasnya. "Akan ada banyak sekali orang-orang yang membenci." Ia memberikan sedikit gambaran tentang apa yang dialaminya. "Dan yang pasti---tidak sedikit," imbuhnya.

"Kalian harus siap dengan itu semua."

"Tapi, jangan cemas---pengalaman kalian akan lebih banyak daripada mereka yang tidak pernah ikut organisasi."

Galan dan Raka hanya diam, tidak berkomentar. lebih tepatnya belum dapat celah untuk berkomentar.

"Dan satu lagi."

"Jangan mudah terpedaya dengan nyinyiran orang, tetap maju---meski banyak yang meludahi."

Bayangan-bayangan menyeramkan dari organisasi ini mulai terkuak. Meski itu bukan yang sebenarnya---hanya kata kiasan---namun, mengisyaratkan tentang kebencian yang tak terperikan.

"Sebaik apapun kita, di mata orang tidak ada harganya."

Lengang.

"Boleh aku bertanya?" Galan mengajukan pertanyaannya.

"Boleh."

"Jika Rey yang menang, mungkinkah Kepala Sekolah akan langsung menyetujuinya?"

Raka mendadak gelisah akan pertanyaan Galan. Helaan nafas berat terdengar.

"Nah, pertanyaan yang bagus kawan." Ferdy memperbaiki posisi duduknya.

"Itulah yang menjadi PR besar bagi diriku. Juga kalian. Kepala sekolah memerintahkan---agar itu tidak terjadi. Itulah mengapa malam-malam kalian dikumpulkan mendadak."

"Kalian pasti bisa membayangkan betapa kacaunya negeri ini." Ferdy mendongakkan kepala. Mengusap wajah.

Eh, kenapa malah nyasar ke kekacauan negeri ini? Rangkas dan Galan bertanya-tanya.

"Dari tatanan terendah sampai tatanan tertinggi, banyak sekali penjahat yang ingin memimpin negeri ini."

"Yang menjadi kegelisahan sekarang adalah, banyaknya orang yang tidak peduli---banyak dari kita yang hanya ingin hidup sendiri---alias apatis."

"Aku tidak tahu pasti jika Rey yang terpilih. Yang jelas, jika itu terjadi—nama sekolah tahun besok—tidak akan seharum tahun ini."

Lengang.

"Lalu, kau mau membantu kami dengan cara apa?" Raka terus terang, tidak sabaran. "Kami bahkan sudah menawarkan kepada anak kelas sepuluh, tapi tidak ada yang mau."

Ferdy menangkupkan tangannya. "Tidak sulit. Kalian saja yang belum dikenal oleh mereka," tuturnya. Tetap berusaha tenang. "Aku pastikan, besok pagi—banyak yang ikut kubu kalian. Lihat saja, aku akan membuat gebrakan baru."

***

Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang