33. Si Malaikat Kecil

1.2K 622 10
                                    

Announcement.

Scene ini, hanya bonus.
Alurnya di luar tokoh utama, cuma biar nyambung aja. Tapi, di jamin no kaleng-kaleng.

***

Eji punya kabar baik sekaligus kabar buruk sekarang. Kabar baiknya ia telah sampai di pasar. Sementara kabar buruknya adalah ia tidak tahu berapa ribu harga baju putih yang dicarinya. Jikalau harganya melebihi uang biru yang digenggamnya. Itu artinya, ia tidak bisa membawa baju putih yang diidamkannya.

Ia menarik langkah. Seruan dari pedagang sayur hingga pedagang buah langsung menyeruak masuk ke gendang telinga.

Belum lagi, pedagang mainan anak sama pedagang terompet---mereka seperti tidak mau kalah suara.

Hingar bingar pasar membuatnya harus menutup telinga---saking berisiknya. Eji berjalan cepat, mencari toko baju yang sejak tadi menjadi tujuan utama.

Pandangannya langsung menyoroti sederet baju yang menggelantung di depan salah satu pedagang.

Di sudut sebelah kanan, ada toko pakaian—Eji segera mendatangi toko itu.

"Mau nyari apa, nak?" Seseorang wanita dengan garis wajah berkeriput muncul di depannya, menyapa dengan senyum yang lebar.

"Nyari baju putih, seragam sekolah," ucap Eji sembari melihat-lihat baju yang ada di depannya.

"Ikuti aku."

Eji menoleh, Ibu-ibu itu menyuruhnya untuk mengikutinya. Eji mengangguk, membuntutinya.

"Mau yang mana?" Ibu pelayan toko menawarkan baju-baju yang masih terbungkus rapi di dalam plastik.

"Yang ini, seratus lima puluh ribu---kalau yang ini, seratus dua puluh ribu." Perempuan berambut sebahu itu menunjukkan semua koleksinya.

Wajah Eji terlipat, air mukanya berubah seketika mendengar harga baju yang selangit itu. Ia meremas uang yang di genggamnya. Dalam hati ia menggerutu. "Mana ada uang sebesar itu?"

"Bisa lebih murah, Bu?" Eji menawar. Berharap bisa kurang setengahnya.

"Kalau kurang harga, tidak bisa. Tapi, ada yang lebih murah. Tunggu dulu!" Sang penjaga toko membongkar pakaian yang tertumpuk di belakang punggungnya.

"Ini, coba lihat dulu." ia menyodorkan salah satu bungkusan. "Boleh dicoba, takutnya nanti  ukurannya kebesaran."

Eji meraihnya, membukanya penuh hati-hati. Ia meraba pakaian itu---bahannya kasar berbeda dengan yang pertama---bahannya halus, tapi harganya bikin sakit hati.

"Yang ini berapa?" tanya Eji.

"Murah yang itu, cuma delapan puluh ribu."

Eji menelan ludah, delapan puluh ribu murah? Pikirnya.

"Lima puluh ribu, boleh ti-da-k ..." mata Eji berkaca-kaca. Memohon.

Sebetulnya pelayan toko itu sudah bisa menebak dari pakaian lusuh anak kecil yang di depannya---dia bisa menebak bahwa anak kecil ini adalah anak miskin.

Perempuan berambut sebahu itu tercenung melihat Eji yang tampak sangat berharap.

"Oh, tidak, tidak!" hampir saja pelayan itu meng-iyakan, seorang pria menyembul di balik tumpukan baju.

"Itu sudah paling murah-lah." lelaki bermata sipit berkulit putih itu beringsut duduk.

Eji menunduk, meremas uangnya penuh pilu.

"Memangnya kau punya uang berapa?" tanya wanita yang sejak tadi melayani pelanggan nya dengan baik.

Eji membuka perlahan uang yang digenggamnya.

Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang