Pulang dari pasar, Eji senang bukan kepalang. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Harapan membawa baju baru terlaksana. Ini ajaib, sungguh ajaib. Saat harapannya telah pupus—uangnya tidak mencukupi, tiba-tiba ada keajaiban datang. Lihatlah, bahkan pemilik toko itu memberi bajunya cuma-cuma.
Ia tak menyangka, kalau pedagang itu mendadak memberikan baju itu. Tanpa pikir panjang, Eji meraih bungkusan baju itu dengan tangan gemetar.
"Terima kasih, Bu. Semoga Tuhan bisa membalasnya." Eji berterima kasih. Wajahnya berseri-seri.
Ibu pedagang itu tersenyum simpul. "Sama-sama, Nak." Ia membalikkan badan. Sesuai dengan keinginan pembeli, ia tidak memberitahu kalau sebetulnya bukan dia yang memberikan baju itu.
Eji bergegas pulang. Hari sudah sore, sebentar lagi magrib datang. Di bawah mentari yang siap tumbang, ia menarik senyum, memeluk baju itu erat-erat.
***
Pagi harinya, tidak ada yang menyadari bahwa Eji punya baju baru. Galan tidak tahu, pun ayah juga.
Satu keluarga itu, kalau pagi hari—tidak punya waktu untuk berkumpul santai. Habis subuh, Galan langsung memasak sarapan. Apapun itu yang bisa dimasak, akan dia makan. Dan sebelum ayah turun dari sholatnya dia sudah makan, siap berangkat sekolah. Sedangkan ayah, akan pergi sebelum matahari menyapa.
Galan berangkat ke sekolah bersama Rino, karena tidak ada tumpangan. Mereka jalan kaki seperti biasa. Dalam waktu empat puluh lima menit—mereka berdua akhirnya sampai di sekolah.
Galan dan Rino telah memasuki Selasar kelas, tidak ada latihan hari ini. Semua waktu digunakan untuk persiapan upacara.
Nun jauh di sana, terlihat orang-orang berkerumun. Nampaknya Pak Arman tengah mengganti topik Mading.
Harus kalian ketahui. Di Sekolah ini, perubahan topik mading diganti satu minggu sekali. Itu pun di hari senin---sebelum penggelaran upacara bendera dilaksanakan.
Tapi tidak ada salahnya 'kan jika guru juga berhak mengisi---entah itu pengumuman ulangan semester atau yang lainnya?
Tentu saja tidak.
Saat Galan dan Rino tiba dilorong tempat mading tertempel, seperti yang bisa kalian tebak---mading itu dipenuhi oleh mereka para Penggila Mading.
Belum sempurna kacanya tertutup, puluhan manusia itu langsung merangsek ingin melihat. Alhasil, Pak Arman yang ingin menguncinya, kewalahan.
Galan dan Rino melewati sekilas---karena suasana sedang ramai jadi mereka tidak ikut nimbrung.
"Apa sih isinya?" tanya Rino. Dahinya berkerut, penasaran.
Galan mengangkat pundak, ia juga tidak tahu. "Mungkin berita pokemon lagi," jawab Galan sembarang. Mencoba bergurau.
Rino terkekeh pelan. Dia jadi teringat kejadian satu bulan yang lalu, bagaimana bisa mading sekolah isinya tentang berita tentang pemuda yang hampir tertabrak mobil gara-gara main game pokemon go. Itu tidak lucu. Lebih lucu lagi, jika semua koruptor dimasukkan ke penjara.
Bel berbunyi tiga kali—pertanda upacara akan segera dilaksanakan. Galan dan Rino bergerak cepat, meletakkan tasnya di kelas, kemudian bergegas menuju ke lapangan upacara bersama yang lainnya.
***
Upacara hanya berlangsung satu jam tiga puluh menit, tidak lebih dari dua jam yang pasti. Seperti biasa, selesai upacara semua murid bertebaran, masuk ke kelas—bersiap memulai pelajaran.
Pagi ini tidak ada latihan, Kepala Sekolah membuat peraturan—Setiap Senin pagi, tidak ada latihan—takutnya ada yang telat—malah merusak suasana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)
General Fiction"Akan kubuktikan kalau aku, bukan orang yang lemah dan kalah!" ~Dari Galan, seorang anak miskin yang akan mengubah wajah Bangsa Indonesia. Langsung baca, pasti suka. Semoga kalian terinspirasi😊. Baca juga Sequelnya (Sang Pelopor) Follow jika berken...