48. Ultimatum satu

1.1K 550 29
                                    

Meski latihan full time, tapi kewajiban upacara tidak boleh ditinggalkan---seperti halnya kewajiban sholat.

Walaupun kewajiban upacara memiliki arti yang berbeda---namun, pada hakikatnya sama. Semata-mata untuk patuh pada peraturan yang sudah ada.

Para pelajar beranjak ke lapangan upacara, pun Galan dengan pasukannya. Mereka telah berganti seragam putih abu-abu, bersiap untuk mengikuti upacara rutinitas mingguan.

"Hei!" Galan berseru---menjejari langkah Tania. Mereka baru keluar dari kelas.

Sejak menghilangnya Rey dari kehidupan mereka, Galan dan Tania mulai dekat. Entah karena teman, entah karena rasa.

"Mana teman-temanmu, Lan?" tanya Tania, biasanya memang Galan selalu bareng teman-temannya.

"Mereka duluan," jawab Galan singkat.

"Oh." Tania mengangguk kecil, ber-oh pelan. Merasa canggung.

"Tanya boleh?" Galan memajukan wajah.

"Tanya apa?"

Galan menggaruk kepala, kenapa dia jadi ikut canggung seperti ini? Dalam pikirannya selalu saja muncul, 'tanya enggak, tanya enggak, tanya enggak' sambil menghitung jari.

"Mau tanya apa?" kali ini Tania berhenti, membuatnya terkesiap.

Baiklah. Agat menarik napasnya dalam-dalam. Bersiap bertanya. "Alasan kamu ikut Paski---?"

"Memang kenapa?" Tania memotong, berbalik bertanya.

"Cuma mau tanya." Galan memperbaiki wajahnya, agar tidak terlihat gugup. "Maksudku, biasanya orang-orang ingin ikut Paskib—biar kelihatan gagah, keren, bukankah begitu?"

Tenggorokan Tania seakan tercekat mendengar pertanyaan Agat. Itu pertanyaan atau sindiran?

Meski kebanyakan orang berpikir seperti itu---tetapi, tidak semua orang punya niat serupa dengan apa yang barusan Galan katakan.

"Aku hanya ingin membuat negriku bangga," jawab Tania mantap.

"Tak peduli, wajahku jadi hitam, gosong kayak arang. Itu tidak masalah. Aku sudah berkomitmen jauh-jauh hari untuk ikut. Apapun yang terjadi—itulah resiko yang harus kuambil." Tania menatap ke depan. Tatapannya benar-benar berbeda.

"Setiap langkah yang kita ambil, pasti punya resikonya, Lan. Kau mau jadi pemimpin, berarti siap dicaci-maki. Kau mau jadi penegak keadilan yang jujur, kau harus siap dibenci. Begitulah hidup."

"Jika tidak mau ambil resiko, maka diamlah. Tidak usah lakukan apa-apa. Dan lihatlah, jika kita malas di masa muda, maka kita tidak akan mendapatkan pengalaman apa-apa nantinya. Di masa tua—kita tidak lebih dari seekor cicak yang hanya bergerak di titik itu-itu saja, tanpa perubahan."

Galan tercenung. Tidak disangka olehnya, ternyata Tania sedewasa ini. Dia bahkan sampai memikirkan masa tua, yang Galan sendiri belum tahu bagaimana masa tuanya.

"Benar katamu, kita hanya bisa menikmati kemerdekaan ini---tanpa berperan melawan penjajah." Tania tersenyum.

Mendengar ungkapan Tania, Galan jadi salah tingkah. Tapi, buru-buru Galan memperbaiki air mukanya—agar tidak terlihat salah tingkah.

"Tania!!"

Tahu-tahu Rey sudah disamping Tania dan siap merangkul pundaknya. Tapi batal, lantaran tangan Tania berkelit, menangkisnya.

Tania berjalan cepat---ia tidak mau digoda. Ia lantas bergabung dengan Chi dan Che yang tengah berdiri tidak jauh darinya.

Rey yang merasa seolah dirinya tidak ada harganya, sontak mengumpati Tania---sok jual mahalah, sok suci dan kata-kata yang tidak senonoh bila ditulis di sini.

Galan tersenyum geli melihat kekanak-kanakan Rey, sudah tau Tania tidak mau---terus saja dikejar. Pikirnya.

"Hei, Lan." Rey menoleh, tersenyum kecut.

"Hah," Rey menghembuskan nafas lewat mulut. "Sudah lama kita tidak berbincang," katanya, seakan tengah bertemu teman lama.

Galan diam, ia membuang muka. Tidak peduli—dengan omongannya. Tidak lama, seseorang menepuk pundak Rey dari belakang.

Rey terkekeh, "ini menarik sekali," ucap Rey sambil menjejari langkah orang yang menepuk pundaknya. Ia tidak merangkul Galan dan Raka.

"Apa kabar Rey?" Raka balas menarik leher Rey gemas, ingin sekali mencekiknya. "Kau ingin merasakan tinjuku lagi?!" bisik Raka, hanya ingin mengetes nyalinya.

"Kau memang selalu begitu, Raka." Rey terkekeh. Sambil melepas kasar tangan Raka dari lehernya. Lalu merapikan kerah bajunya yang kusut karena dekapan Raka.

Galan terlepas dari rangkulan tangan Rey. Berjalan kecil masuk barisan.

"Kau ingin melawanku?" tantang Rey. Dia mengejar langkah Raka."Jika kau menang, aku tidak akan menganggu teman-temanmu lagi," lanjutnya.

Bola mata Raka membulat. Langsung menyetujuinya. "Ayo, di mana!" Raka bersemangat sekali.

Rey menyeringai lebar, terkekeh. "Melawan aku dalam pemilu OSIS mendatang."

Langkah Raka terhenti. Dia tidak salah dengar, bukan? Apa Rey sudah gila? Amna ada yang memilih berandalan seperti dia?

"Kenapa harus di pemilu OSIS? Kenapa tidak di ring tinju saja?" usul Raka.

"Aku hanya menantangmu, jika tidak mau, tidak masalah. Tapi, jangan menyesal jika aku—yang mengatur setiap pergerakan kalian."

Rey melangkah dulu.

Itu serius? Atau hanya lelucon? Raka menggerutu dalam hati. Kemudian segera menggeleng. "Itu tidak akan mungkin."

***

Upacara selesai. Rey dan para dedengkotnya bergegas masuk ke kelas---disusul ratusan murid lainnya yang segera berhamburan.

Untuk Galan dan pasukannya, mereka kembali ke lapangan melanjutkan latihannya seperti biasa.

Selama periode latihan---mereka tidak diperkenankan untuk mengikuti pembelajaran di kelas. Semua jam pelajaran diganti dengan jam latihan. Semua itu sudah diurus, dari surat-menyurat dan perizinan lainnya.

Rey dan antek-anteknya tengah memandangi sekumpulan anak Paskibra yang sedang latihan di belakang sekolah.

"Kita lihat saja nanti ... Apa Raka tetap bersikukuh dengan pilihannya?" Rey menyeringai. "Akan ku buat ... dia, tidak akan bisa menolaknya."

Rey membuka bukunya, mencoret salah satu tulisan yang telah dibuat.

"Ultimatum satu ... telah diluncurkan," Rey tersenyum miring. Teman-temannya ikut melihat.

"Akan ku pastikan, jika salah satu dari mereka maju dalam pemilu ketua OSIS---mereka pasti kalah." Yuri menyembul dari baik punggung, ikut bergabung dengan jajaran senyuman licik itu.

Karena, setuju tidak setuju---Rey akan tetap maju ke persaingan di pemilu OSIS mendatang. Dan kalian tahu rencana besar Rey? Lihat saja nanti.

***

Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang