Semenjak pemvalid-an anggota, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sebab, tidak akan ada yang terseleksi di hari selanjutnya. Pelatih sudah memilih yang benar-benar ingin masuk, dan menyisihkan mereka yang nantinya akan jadi benalu.
Tetapi, jangan salah. Kalian pikir mereka sudah ditempat yang nyaman? Tidak. Bahkan ini baru dimulai.
Latihan mereka diperpanjang. Beberapa hari yang lalu, jadwal yang biasanya hanya di pagi hari---diganti menjadi full time sembilan jam.
Dengan adanya perubahan ini, latihan mereka semakin memanas. Berangkat dari rumah sebelum jam enam kosong-kosong, pulang ke rumah jam tiga—sebelum ashar.
Terus-menerus seperti itu, tanpa ada jam masuk kelas, apa lagi istirahat. Terkecuali hanya untuk makan dan sholat. Semua itu dilakukan agar mereka fokus pada latihan.
Di Hari pertama, daya tahan tubuh mereka benar-benar diuji. Sembilan jam di tengah lapangan, di bawah teriknya panas matahari. Meski tidak ada satupun yang pingsan. Tapi, harus diakui—kelelahan mereka berubah sembilan kali lipat lebih besar dari latihan sebelumnya.
Hari kedua, tidak ada perubahan. Gemblengan pelatih semakin dahsyat. Sebisa mungkin tubuh harus bisa menyesuaikan diri. Seperti bunglon pada pohon, maka tubuh mereka harus menyesuaikan pada panas matahari.
Barulah di hari ketiga, rasa panas matahari mulai terbiasa. Tiga hari berturut-turut akhirnya mereka bisa menaklukkan perubahan iklim latihan.
***
Di sisi lain, di kehidupan yang sama. Dalam lingkup Sekolah.
Iri, dengki, meronta-ronta dalam benak Rey saat melihat atau sekedar berpapasan dengan kawanan Paskibra. Ya, wajah iri Rey tidak bisa disembunyikan lagi. Dari gelagatnya, semua juga tahu itu.
Setelah sekian lama ikut latihan, beberapa hari yang lalu---Rey, Yuri dan dedengkotnya akhirnya hengkang dari organisasi.
Kejadian itulah yang membuatnya naik darah jika bertemu atau sekedar melihat mereka.
Sebetulnya itu salah mereka sendiri, suruh siapa jadi pembangkang? Jika saja mereka tidak melakukan hal bodoh semacam itu---mungkin saja ia masih menjadi bagian dari organisasi.
Rey dan para dedengkotnya sedang duduk di sudut paling belakang, menunggu pesanan makanannya.
Rey termenung. Tangan kanannya memainkan gelas berisi es. Otaknya tengah berkelana—berpikir dalam-dalam untuk ganti rugi atas malu yang berimbas kepadanya.
"Pesanan datang!" Cak Mamat membawa nampan yang berisi empat mangkuk bakso. Lantas ia turunkan ke meja satu persatu agar tidak tumpah.
"Selamat menikmati," ucapnya sebelum kembali ke belakang dapur.
Mereka langsung berebut, menyerobot mangkuk-mangkuk itu. Kecuali Rey, ia hanya menatap tangan-tangan mereka—dengan tatapan tidak selera.
Teman-temannya melihat Rey dengan tatapan tidak mengerti. Akhir-akhir ini Rey bahkan nyaris tidak pernah bicara. Kadang emosinya naik, melamun, lalu tiba-tiba mendelik. Membentak-bentak mereka tanpa sebab.
Rey menyambut mangkuk terakhir dengan malas. Lalu mulai mengaduk baksonya, menyantap seperti yang lainnya.
"Bagaimana jika kita culik Tania?" celetuk salah satu diantara mereka.
Rey langsung tersedak mendengar ucapan itu. Buru-buru tangannya merampas gelas yang terisi air, kemudian meneguknya sampai habis.
Antek-anteknya melongo, menunggu jawaban dari pemimpin mereka.
Rey meremas gelas, mengggeram. Sejak kapan para pengikutnya jadi dungu seperti anak sinetron?
"Ahh!" Rey menghentakkan tangannya ke meja, berteriak kalap. "Kau terlalu banyak nonton film geng motor---otakmu itu hanya berisi rebutan wanita saja!" bentak Rey, matanya mendelik.
Satu kantin memandanginya, tidak mengerti.
"Bagaimana jika kau pacari saja Tania?" belum habis amarahnya, salah satu dari mereka---memberi usul lebih konyol lagi.
Ide macam apa ini? Tidak ada bedanya dengan perkataan konyol tadi.
Mendengar perkataan itu, Rey jadi sangat kesal. Saking kesalnya ia la langsung menimpuk pengikut konyolnya itu dengan pentol bakso di mangkuknya.
"Rasakan!" pekik Rey.
Saat Rey kembali menatap meja, dia baru sadar kalau mangkuk bakso milik mereka tumpak ruah.
Semua kembali memandangi Rey.
"Oke, oke." Rey mengangkat tangan, bingung mau marah atau minta maaf. Tapi nyatanya dia langsung duduk. Mana mau ia minta maaf.
"Tenang saja, akan ku ganti. Berapa sih harganya?!" ucapnya angkuh.
"Cak!" Rey berseru meminta Cak Mamat untuk membuatkan bakso lagi.
"Oke!" Tanpa banyak tanya Cak Mamat langsung mengacungkan jempolnya.
Rey memejamkan mata, menggaruk kasar kepala yang berbentuk batok kelapa itu.
"Kenapa kebencianku sampai berlarut-larut seperti ini?" pikirnya, sembari menenangkan amarahnya.
"Pesanan datang!" Seru Cak Mamat. Untuk kedua kalinya membawa nampan berisi empat mangkuk bakso.
"Wah, kalian ini lapar ya?" Tanya Cak Mamat saat melihat mangkuk yang tertumpuk di bawah. Namun, sedetik kemudian---ketika dirinya ingin mengambil mangkuknya---kedua bola matanya menemukan bakso yang berceceran di lantai.
"Kenapa baksonya pada jatuh?" tanyanya pada ke empat siswa yang sedang duduk di depannya.
"Tadi, Rey tidak sengaja menggebrak meja, Cak." salah satu dari mereka menjawab, gugup.
"Hah, kalian ini. Belum tahu rasanya cari uang." Cak Mamat menggeleng, prihatin dengan anak jaman sekarang. Dia berdiri, meninggalkan meja mereka.
Rey memonyongkan bibirnya, menirukan ucapan Cak Mamat. Dia paling tidak suka jika ada yang berkomentar akan dirinya.
"Rey," salah satu dari mereka memanggil, berbisik, memajukan wajahnya. "aku punya ide."
Rey menoleh. "Apa lagi?" Rey menanggapi dengan wajah kecut. Pasti ide anak alay lagi, pikirnya.
"Sini. Sini."
Empat kepala tuyul itu terjulur ke depan membentuk lingkaran, kemudian berbisik-bisik kecil layaknya penjahat yang sedang merencanakan sesuatu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)
General Fiction"Akan kubuktikan kalau aku, bukan orang yang lemah dan kalah!" ~Dari Galan, seorang anak miskin yang akan mengubah wajah Bangsa Indonesia. Langsung baca, pasti suka. Semoga kalian terinspirasi😊. Baca juga Sequelnya (Sang Pelopor) Follow jika berken...