36. Situasi genting

1.2K 586 10
                                    

Mereka berpindah ruangan. Masing-masing mata pelajaran punya ruangan tersediri. Ada jurusan kimia yang berada di ruangan paling ujung. Kemudian fisika, biologi, kebumian, dan lainnya.

Bersama-sama dengan ratusan orang yang mengadu nasib, Galan tidak mau kalah—begitu soal diberikan—ia langsung meraih bolpoin di saku, mengisi lembaran soal.

Tangan kanannya dengan tangkas menyerobot setiap jawaban setiap soal yang diberikan.

"Ini sangat mudah," Galan tersenyum. Dia telah menaklukkan tiga puluh soal tanpa berpikir pusing.

Diawal-awal soal, semua materi yang dipelajari keluar. Hanya modal melihat dan membaca sekilas saja, ia bisa tahu jawabannya.

Dengan santainya ia mencoret setiap soal, seperti anak kecil yang sedang bermain bolpoin.

Di soal nomor empat puluh lima mendadak tangannya terhenti.
Sepintas Galan meletakkan bolpoinnya, ada soal yang membuatnya bingung.

Ia mencoba berpikir, mengetuk-ngetuk mata bolpoin ke hidungnya---berharap jawaban yang tiba-tiba melintas di benak kepala.

Tiga menit berlalu. Tapi nyatanya jawaban itu tak kunjung nongol di benaknya.

Galan menggigit bibir. Ini tidak bisa. Ia terus beralih ke nomor lain. Ia tidak mau membuang-buang waktu untuk mengurusi satu soal yang belibet.

Galan berpindah. Satu soal terlewat begitu saja. Otak Galan buntu. Jadi ia putuskan untuk mengerjakan soal berikutnya, agar tidak ketinggalan.

Tiga puluh menit berlalu. Galan telah mengerjakan lima puluh soal. Itu artinya masih ada waktu lima belas menit untuk menyelesaikan lima puluh soal lainnya.

Galan terus memacu kinerja otak. Berpikir keras, tidak memberi luang istirahat sedetik pun. Semakin ke sini soal semakin rumit. Rumus-rumus mulai keluar. Tidak ada soal mudah seperti soal yang keluar diawal.

"Duh," Galan menepuk jidat. Ada soal yang belum dia kuasai. Dan soal itu muncul empat kali berturut-turut.

Galan mengerjap-ngerjap. "Teknologi hibridoma?" Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mencoba mengingat. Materi itu, sepertinya belum keluar di kelas dua. Ini sangat buruk. Mana dia belum tidak tahu secuilpun tentang teknologi hibridoma.

Situasi semakin genting. Lima menit terlewat begitu saja. Dan Galan masih stuck di angka tujuh puluh lima. Dengan kata lain masih ada dua puluh lima angka yang belum dia kerjakan.

Galan melirik jam dinding. Jarumnya terus berputar, tidak berhenti sedetikpun. Hembusan napas berat terdengar samar. Ia semakin gelisah. Rupanya Olimpiade ini tidak mudah.

Seiring berjalannya waktu, tetap tidak ketemu jawabannya. Bola matanya ikut berputar-putar bebas, ke dinding, ke para juri yang mengawasi mereka. Galan menggigit bibir.

Hingga akhirnya, bola matanya menangkap  jam yang tertempel di dinding---Galan tercengang.

Gaaln menelan ludah. Berdiri, meletakkan bolpoin di atas meja.

"Seiring berjalannya waktu, tetap tidak ketemu jawabannya. Bola matanya ikut berputar-putar bebas, ke dinding, ke para juri yang mengawasi mereka.

Hingga akhirnya, bola matanya menangkap jam yang tertempel di dinding---Galan tercengang.

Ia menelan ludah. Berdiri, meletakkan bolpoinnya.

"Apa yang telah kulakukan?" Galan mengerjap, mencari tubuh Mr. Kenny yang sedang menonton di balik jendela.

"Apa kau sudah selesai?" tanya salah satu pengawas. Galan tak menghiraukan pertanyaan itu. Ia seperti orang kebingungan.

Galan mendorong kursinya, bergegas keluar mencari Mr. Kenny.

Semua peserta menoleh, dibuat tambah bingung karena batas waktunya masih lima menit.

"Apa dia sudah selesai?"

"Entahlah."

Sekejab kebisingan antar peserta meluap. Mereka bertanya-tanya tidak mengerti.

Mr. Kenny yang bisa melihatnya lewat kaca, langsung bersicepat menuju pintu tempat keluar Galan.

"Hei, ada apa denganmu, Lan?!" Tanya Mr Kenny, wajahnya dipenuh tanda tanya.

"Aku harus pulang sekarang, Mr. Aku harus pulang!" Galan meremas rambut, tidak sadarkan diri. Seperti orang gila.

Kakinya menendang apapun yang di depannya. Tong sampah, vas bunga, semua yang ada di depannya.

"Hei, tenang dulu. Tenang!" Mr. Kenny berseru mencoba menenangkan. Meraih tangan Galan yang mengamuk.

"Ada apa?! ..." Mr. Kenny kembali bertanya. Kebingungan. Ia menatap anak didiknya yang bertingkah layaknya orang tidak waras.

Galan terus menendang apapun dengan buas. Seperti kesetanan. Para pengawas ikut keluar. Tidak mengerti.

Mr. Kenny mendatangi Galan yang sedang berdiri, menutup matanya rapat-rapat.

***

Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang