14. Puncak Kemurkaan

1.9K 748 28
                                    

Di dalam kelas, sebisa mungkin Raka tenang, mendinginkan emosinya perlahan. Duduk manis, memperhatikan guru, menulis pelajaran seperti yang lainnya.

Tapi, saat istirahat tiba, otaknya kembali panas—naik darah. Ratusan manusia berhamburan keluar dari kelas. Raka bergegas ke tempat tongkrongan para bedebah itu sendirian. Dia tidak mau melibatkan teman-temannya hnaya masalah sepele.

Raka melemaskan kepala, melenturkan pergelangan tangan, ia telah siap siaga di gudang sekolah menunggu para dedengkot itu datang.

Karena tidak mau membuat keributan di tengah keramaian, jadi ia putuskan untuk menghajarnya di sini. Raka berdiri—menunggu, ia yakin kalau bedebah itu akan ke mari saat istirahat.

Matanya menyalang, menyorot hasrat penuh kebencian.

Raka meremas jarinya seraya bergumam kecil, "aku tidak akan melepaskanmu Rey!"

Awalnya ia hanya ingin memberi pelajaran untuk Rey, tapi entah kenapa kebencian itu menjadi berlipat ganda lantaran dua kali tidak ada hasilnya.

Radius sepuluh meter, hidung Rey muncul. Ia berjalan sambil tertawa ria.

Rupanya Rey tidak takut sedikit pun, jalannya santai bak artis yang sedang dikawal oleh body guard-nya.

Tujuh meter.

Tinju Raka mengeras, rasanya semua darah berhenti di kepala membuat emosinya ingin meledak.

Karena telalu lama, kesabaran Raka telah habis. Kakinya langsung melesat.

Rey berhenti, bibirnya nyengir—angkuh. Dua anteknya segera membuat formasi pagar di depannya.

Raka terkesiap, ternyata Rey tidak sebodoh yang ia kira. Tapi tidak apa, Raka punya bela diri yang cukup handal untuk menyerang mereka.

Raka terlanjur memulai, tidak mungkin ia mundur. Melawan adalah satu-satunya cara, kalah menang urusan belakang—itulah kata-kata yang sering di dengarnya saat menonton film laga.

Dua antek Rey sudah siap dengan tinjunya, begitu pula dengan Raka.

Pertarungan meletus. Dua lawan satu.

Saat muka mereka hampir berpapasan, tinju Raka mendarat lebih dulu.

Dua musuhnya tidak tinggal diam, mereka juga mengirim tinju dengan arah yang sama.

Sedetik kemudian tubuh Raka menukik tajam ke samping kiri, membuat tinju mereka mengenai udara kosong.

Raka sengaja membuat tinju tipuan.

Sekarang gilirannya, ia mengirim mawashi geri--tendangan berputar ala taekwondo yang langsung telak menghantam muka mereka.

Karena saking kuat tendangan itu. Tubuh mereka terjengkang, jatuh.

Sebenarnya tidaklah sulit mengalahkan komplotan ini, mereka hanya berempat dan gayanya saja sok jagoan.

Kini tinggal Rey dan satu bedebah.

Tak mau buang waktu, belum sempat lawan memasang kuda-kuda Raka langsung meluncurkan dua tinju sekaligus—telak mengenai perut Rey dan satu anteknya yang masih tersisa.

Bugh! bugh!

Empat orang tumbang. Raka bergegas meraih kerah baju Rey--membawanya masuk ke ruang gudang.

Cekrek.

Raka mengunci pintu gudang dari dalam. Menyeret kasar kerah baju Rey, menyudutkannya di dinding.

"Lihat mataku!" Raka melotot.

"Sekali lagi kau berbuat ulah, aku tidak akan memaafkan mu!" Raka membentak Rey. Ia langsung to the point.

Rey tidak menjawab. Wajahnya pias, terlihat sangat kesakitan. Tangannya memegang erat bagian perut. Meski tidak menyebutkan nama Galan, Rey bisa tahu siapa yang dimaksud Raka.

"Kau mengerti?!" Melihat Rey meringis, Raka melonggarkan kerah bajunya.

Dorr ... dorr... dor ... dor....,

Suara pintu di gedor dari luar.

"Sekali lagi kau menganiaya orang, siapapun dia ... Aku akan menghajarmu tanpa ampun!"

Rey yang tadi angkuh, kini ia hanya mengangguk-angguk tak berdaya. Padahal hanya sebuah tinjuan yang tak seberapa.

"Satu lagi,"

Raka menghela napas berat, mengusap wajah.

Dorr ...dorr ... dorr ... dorr ... dorr ...

Kali ini gedoran--nya semakin menjadi-jadi.

"Raka!" seseorang berteriak memanggilnya dari luar.

"Raka, keluar kamu!" suaranya semakin keras.

Brukk ... brukk ... brukk.

Mereka mencoba mendobrak pintu. Tapi Raka tidak menghiraukannya.

"Ingat Raka! Kau hanya ingin memberinya pelajaran bukan perkelahian!" Raka memejamkan mata mengingatkan dirinya sendiri.

Raka menatap Rey dengan tatapan menyalang. "Jangan karena wanita, kau tidak punya harga diri!"

Satu fakta yang harus kalian ketahui, bukan Raka suka sama Tania—tapi, Raka adalah sepupunya Tania.

Brakk.

Raka terperangah, betapa terkejutnya mendapati orang yang mendobrak pintu gudang. Bukan antek-anteknya Rey, bukan—melainkan Pak Arman—si ketua BP. Raka melepas kerah baju Rey kasar.

Pak Arman mendekat, di dampingi dua guru BP.

"Sepertinya kalian benar-benar ingin bertemu denganku," Pak Arman berucap dengan nada bicara senormal mungkin. Tapi, tetap dengan dengan wajah mengerikan.

Raka mengerti sekarang, mengingat dua jam yang lalu mereka juga kepergok di toilet gara-gara masalah sepele. Kali ini pasti Pak Arman tidak main-main. Gelagatnya masalah ini akan serius jika masuk ke kantor.

"Baiklah, akan ku kabulkan permintaan kalian," ucap Pak Arman.

Tanpa basa-basi Pak Arman membalik badan, lalu menyuruh dua guru BP di sampingnya. "Bawa mereka!"

Tidak ada pilihan lain untuk ini. Mereka berdua akhirnya mengalah, melangkah keluar dari gudang—mengikuti Pak Arman.

Di luar, puluhan manusia memadati jalan dengan wajah bertanya-tanya.

"Ada apa?" Chi yang baru datang, bertanya ingin tahu.

"Mereka berkelahi."

"Ada apa mereka berdua sampai berkelahi? Rebutan wanita?" kali ini Che yang bertanya.

"Entahlah, aku juga baru datang. Aku tidak tahu apa yang terjadi."

Che memutar bola matanya, ia kira orang yang ditanya tahu—ternyata tidak.

Kejadian barusan cukup menghebohkan sekolah. Puluhan orang berbondong-bondong berlarian ikut berkerumun, bertanya 'ada apa' seperti Chi dan Che tadi.

Raka dan Rey melangkah, digiring oleh dua guru BP bak penjahat yang baru saja tertangkap oleh polisi.

Sekarang tidak ada yang bisa mereka harapkan, masuk ruang BP adalah satu-satunya jalan menyelesaikan masalah.

***

Bagaimana nasib Raka dan Rey?

Next chapter.

_____

Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang