Kena marah, itu pasti. Gertakan Galan membuat Eji mengkerut. Walau bagaimanapun juga, yang dilakukan Eji tetap salah.
"Siapa yang menyuruhmu mencari uang, hah!" Galan mendelik, seperti inilah kalau dia marah.
"Lihat wajahku!" Tangannya mengangkat dagu Eji yang tertunduk.
"Apa kau mau jadi pemulung seperti Ayah?!"
Eji menunduk, bisu. "Jawab!" Galan membentak, mencubit perut Eji sampai meringis.
Eji cepat-cepat menjawab. "Maaf, Kak. Tapi, uang bulanan Eji sekolah-dua bulan belum dibayar." Eji berkelit, memelas. Dia memang tidak berbohong. Tapi, sebenarnya bukan itu penyebabnya-melainkan bajunya yang robek.
Ruangan berdinding papan nan gelap itu lengang.
Seketika Galan termangu. Apa yang dia lakukan? Kenapa malah memarahi Eji. Galan tertegun, emosinya memudar.
Galan memeluk wajah Eji. Mengelusnya. "Jangan dipikirkan, biarkan ayah dan kakak yang mencarinya. Kau cukup belajar, sekolah-tugasmu sekarang bukan mencari uang. Tapi, mencari ilmu." Galan masih berdiri, emosinya meleleh.
Bagaimana caranya dia membantu Eji? Sementara Galan sendiri, baru dipecat oleh Pak Dedi dua hari yang lalu.
Galan memikirkan cara lain, sebisa mungkin ayah tidak tahu soal ini.
Jika tahu, kasihan dia. Untuk soal perut saja mencarinya setengah mati. Apalagi uang tunggakan Eji yang sudah mencapai tiga bulan."Sekarang keluar, main sama teman-temanmu. Tenang saja. Bilang ke gurumu, tidak lama lagi uang tunggakan itu akan dibayar." Galan tersenyum kecil, mencubit kecil hidung anak kecil itu.
Begitulah cara Galan memberi pelajaran kepada adiknya. Setiap Eji melakukan kesalahan, Galan akan memarahinya---tapi tidak sampai memukul, apalagi menampar. Dia hanya memberi nasihat layaknya seorang kakak-karena Galan tahu, anak kecil tidak harus dikasari.
***
Ratusan kendaraan hilir mudik di bawah terik matahari. Panas, macet tampak jelas dipelupuk mata.
Eji menarik langkah, menggenggam erat uang kertas berwarna biru pemberian dari Raka---teman sekolah kakaknya.
Tadi, ketika Eji hendak keluar dari pintu mobil-Raka mencegahnya, menarik lengan Eji.
"Ambilah, kau belikan uang ini-baju putih sekolahmu." Agat menyelipkan uang kertas biru kedalam telapak tangan Eji. Lalu melepaskan lengannya.
Eji tidak sempat berterima kasih. Kakaknya terus menarik tangannya. Jadi ia hanya bisa mengangguk kecil sebagai pengganti ucapan terima kasih.
Uang inilah yang nantinya akan dibelikan baju putih---agar ia bisa masuk sekolah esok hari.
Jika saja bajunya hanya sobek sedikit, mungkin bisa dijahit tangan. Namun, robek di sini tidaklah seperti yang kalian kira. Karena kainnya yang memang lapuk. Jadi, mau dijahit seperti apapun---nantinya akan robek lagi.
Baju sobek adalah penyebab utama kenapa hari ini Eji tidak berangkat sekolah. Ia tidak mau memberi tahu kepada Sang Ayah, takutnya hanya membebani pikirannya.
Berbagai macam bentuk bangunan terlihat gagah di atas langit. Kalau saja pemiliknya tahu ada seongok anak miskin yang berjalan di bawahnya---barangkali mereka akan memberi belas kasih.
Tapi sepertinya tidak akan terjadi. Sebagian dari mereka telah dibutakan oleh dunia yang tidak ada habisnya.
Langkah Eji semakin loyo, jarak tempuh yang dilaluinya lumayan jauh. Perjalanan ini akan menghabiskan banyak waktu. Namun, jika ia berhenti untuk beristirahat---ia akan kehilangan waktunya.
Eji meneruskan langkah. Tidak peduli seberapa kilometer lagi jarak yang ditempuhnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)
General Fiction"Akan kubuktikan kalau aku, bukan orang yang lemah dan kalah!" ~Dari Galan, seorang anak miskin yang akan mengubah wajah Bangsa Indonesia. Langsung baca, pasti suka. Semoga kalian terinspirasi😊. Baca juga Sequelnya (Sang Pelopor) Follow jika berken...