63. Pertaruhan

1K 528 12
                                    

Kalo ada typo—tolong kasih tahu🙏

***

"Keparat!" Satu kata itu tersembur dari mulut Raka ketika tahu Agat tidak ada di rumah. Ia memukul stir berkali-kali, mendengkus laksana banteng yang ngamuk.

"Kendalikan dirimu kawan. Emosimu itu tidak akan membuat keadaan semakin membaik. Kau hanya menyiksa pikiranmu." Galan menenangkan sehalus mungkin. Ia duduk di sebelah kemudi. Ia juga jengkel sebetulnya, tapi mau bagaimana lagi? 

"Lebih baik kita pulang," usul Dito. "Mau ngapain lagi di sini?"

Oscar menatap teman-temannya dengan malas. "Apa kita jemput saja Agat ke rumah Rey?"

Galan menggeleng. "Itu ide buruk."

"Kita tidak tahu permainan apa yang sedang mereka mainkan," tambah Galan.

Oscar dan Dito menghempaskan badannya. Sekarang terserah, mau pulang atau tidak. Mereka ikut.

Beberapa menit yang lalu, ketika sampai di gerbang rumah Agat, mereka berlompatan—turun dari mobil.

Raka melangkah lebih dulu. Ia mencari-cari sesuatu di pojok kiri gerbang. Ia sudah berpengalaman ke rumah Agat. Sebelum masuk—alangkah baiknya menekan bel gerbang—agar terlihat lebih sopan.

Galan mengekori tubuh Raka. Ia belum pernah ke rumah Agat. Meski Agat sering mengantarnya pulang, tapi belum pernah Agat mengajaknya main ke rumah. Mungkin malu, ya? Bisa jadi.

Galan memandangi kagum setiap jengkal rumah Agat yang tergolong mewah. Aliran air selokan tidak sekotor kebanyakan rumah penduduk. Ini luar biasa. Jarang-jarang ada aliran air yang tidak tersumbat. Pasti Ibu Agat rajin bersih-bersih. Pikirnya.

Rumah Agat terbilang unik, jika biasanya bel diletakkan di depan pintu—maka di rumah Agat di depan gerbang. Pun air mancur, jika biasanya ditempatkan di dalam rumah, ini diluar-dalam ada.

"Hello, ada orang di sana?" Oscar mengintip ke sela-sela gerbang. Dito yang berjalan dibelakangnya, ikutan.

"Sepertinya tidak ada orang," gumam Dito.

Raka menekan bel untuk kedua kalinya. Tetap tidak ada orang. Ia menggaruk kepala, mulai gelisah.

"Coba telepon Agat, siapa tahu dia sedang di kamar," ujar Galan.

Raka mengangguk. Ide bagus. Segera ia menekan nomor Agat, kemudian meletakkannya di samping telinga.

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau tidak dapat menerima panggilan. Cobalah beberapa saat lagi.

Raka berdecak. Tidak aktif? Kemana dia? Ia mencoba menekan nomornya sekali lagi.

"Huh," Raka ber-huh keras, membuat ketiga temannya tertoleh.

"Ada apa?" Galan yang tidak tahu apa-apa bertanya polos. Maklumlah, ia tidak pernah pegang handphone.

"Tidak bisa dihubungi," jawab Raka. Wajahnya berubah pias.

"Awas!" Oscar menggeser tubuh Raka. Ia jadi kesal lihat sifat Agat yang semakin kesini semakin ngelunjak.

Saking jengkelnya, tangan Oscar menekan bel gerbang berkali-kali. Ia yakin, pasti ada orang di dalam sana. Tidak mungkin rumah sebesar ini tidak ada orangnya.

"Keluarlah! Wahai penghuni rumah!" Oscar berteriak kalap. Ia tidak terlihat seperti memanggil orang, tapi memanggil hantu.

Tangannya terus menekan bel gerbang lebih keras lagi dengan sengit. Berulang kali, hingga akhirnya ada seseorang yang keluar dari belakang rumah.

"Iya, iya. Sebentar!" Seru orang di dalam rumah.

Seorang perempuan mengenakan celemek hitam, keluar. Raka tahu perempuan itu, dia adalah pembantu Agat.

Perempuan itu membukakan pintu gerbang, membawa sotil stainless di tangannya. Kelihatannya ia sedang memasak.

"Ada apa?!" wanita itu bertanya menyentak.

Wajah Oscar langsung terlipat. Kikuk. Padahal  tadi—ia paling bersemangat berteriak-teriak penghuni rumah.

"Agat ada?" tanya Galan.

"Tidak ada!" jawab wanita itu ketus. "Kalian kalah cepat. Tadi, ada yang menjemputnya."

Menjemputnya? Mereka saling pandang. Siapa yang menjemputnya? Bukankah dia yang meminta untuk bertemu?

"Temannya. Teman sekolah yang sering ke sini," jelas pembantu itu.

"Ada yang mau ditanyakan lagi?" Tanya pembantu itu. "Kalau tidak ada. Aku mau masak lagi." Belum juga dijawab, ia sudah menutup gerbang rumah. Berlarian menuju dapur.

***

Esok hari, tepatnya dalam rangka pemilu OSIS tahun ini. Mereka di jajarkan kembali ke depan podium auditorium.

Kali ini tidak seperti debat proker waktu itu. Auditorium hanya menampilkan dua orang dari setiap kubu. Di kubu satu, ada Rey dan Agat yang duduk sebagai calon ketua dan wakilnya, di kubu dua—ada Raka dan juga Galan. Dan mereka sekarang sedang berhadap-hadapan.

Perseteruan antar dua kubu tengah berada di puncaknya, bukan sebuah pertarungan—akan tetapi, pertaruhan.

"Siapkan kekalahan kalian." Rey memincingkan matanya, tersenyum licik pada lawan.

"Kau akan menang?" Raka berdecak. "Jangan bermimpi!"

Raka membenahi dasi, kerah bajunya. Sedangkan Galan dan Agat—sebagai wakil, mereka tetap tenang—tidak akan terkecoh oleh pancingan emosi yang dibuat Rey.

Pemilu ini jauh berbeda dengan kampanye. Tidak ada perkumpulan seluruh murid, tidak ada panggung, tidak ada penonton—yang ada hanya tempat berbentuk kotak yang berjejeran di depan sana. Jika kalian pernah menjadi peserta pemilu Presiden—yah, begitulah gambarannya.

Setiap kelas bergantian masuk ke auditorium untuk mengambil hak suara. Jika sudah, gantian dengan kelas lain. Begitu seterusnya.

"Ketua OSIS Rey!" Rey tersenyum lebar, lalu tepuk tangan kecil. "Uh ... Cocok sekali bukan?" Rey sengaja memanasi suasana.

"Apalagi ... Presiden--Reynanda--Dinata!" Rey mengeja namanya, tergelak. Memuja-muja dirinya sendiri, dengan senyuman super menyebalkan.

Raka dan Galan tidak menanggapi, mereka membiarkan Rey sedang tertawa bak orang gila.

***

Saat perhitungan cepat, Kepala Sekolah beserta guru-guru lainnya masuk ke auditorium. Mereka juga ingin melihat langsung perhitungan suara. Dan tentu saja mereka mendukung penuh Raka dan Galan dalam pemilu ini—meskipun tidak terlihat secara langsung.

Tidak ada yang menyaksikan perhitungan suara, kecuali para guru dan anggota OSIS.

Dua anggota OSIS maju, di sana sudah tersedia papan tulis penghitung suara juga kotak-kotak suaranya.

Dua pemuda itu saling berbagi tugas, yang satu membacakan suara, sedangkan yang satunya bertugas mencatat perolehan suara.

Cara penghitungan suara pun dilakukan dengan cara menghitung pagar, jika kalian pernah melihat perhitungan Pemilu Presiden—nah, seperti itulah mekanisme penghitungan suara OSIS ini.

"Tidak perlu diragukan, nomor dua yang akan menang!" Seorang guru berbisik dengan guru lainnya sembari melihat perhitungan cepat di depannya.

Guru-guru dengan antusiasnya melihat satu persatu angka. Berharap kalau Galan dan Raka-lah yang menang.

Tiga puluh menit.

Suasana semakin mencekam, jantung pun ikut berdetak tak karuan. Membuat para guru perempuan menggigit bibir dengan perasaan tegang.

***

Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang