12. Kejutan yang tak diharapkan (2)

2K 822 44
                                    

Rintikan hujan menyerbu langit malam, menyertakan angin dingin yang menyusup kulit, menghujam sampai ke tulang belulang.

Tidak ada suara serigala mengaung atau anjing yang menggonggong di sini. Sebab, perkampungan ini berada di pinggir sungai, bukan di tengah hutan.

Galan tiba di rumah sejak petang, sebelum hujan turun. Meski gerimis telah menyambutnya di jalan, namun tidak mengapa, setidaknya pakaiannya tidak basah kuyup.

Di luar gelap, suara air menggenang terdengar sayup-sayup. Gemercik air hujan menerpa genting, terjun bebas ke permukaan, bergulir ke sungai mengikuti arus.

Rasa dingin membalut tubuh Galan, udaranya mencuat, mencengkram kulit. Saking dinginnya sampai bulu kuduknya berdiri.

Tidak heran, karena memang papan dinding rumahnya tidak-lah rapat, jadi masih ada angin yang bisa menerobos ke dalam.

Galan belum bisa tidur, matanya masih mengerjap dengan pandangan kosong. Entah apa yang saat ini ia pikirkan.

Di depannya, sang ayah dan adiknya terpengkur dalam mimpinya, sesekali badan Eji mengeliat.

Galan curiga dengan Eji, di lihat dari gelagatnya sepertinya dia belum tidur juga. Galan melongok dengan hati-hati, saat wajah Galan tepat berhadapan dengan wajah adiknya---ternyata benar, seperti dugaannya-Eji belum tidur.

Eji menggelinjang, berlalih memeringkan badan, menekuk lutut, memeluknya dalam-dalam.

"Belum tidur, Ji?"

Eji menggeleng. Giginya terdengar gemeletuk-karena hawa dingin. Meski sudah ada selimut yang menutupi, tapi itu tidak bisa menghangatkan tubuhnya-terlalau tipis.

"Kau tidak bisa tidur?" Galan berbisik ke telinganya.

"Iya, kak." Eji menjawab sambil menahan dingin. Sebisa mungkin dia sembunyikan rasa dingin itu dari Kakaknya.

Melihat Eji kedinginan, Galan jadi kasihan. Ia membuka jaket, meletakannya di atas badan Eji secara perlahan.

Eji terkesiap. Ia menoleh ke belakang. "Bagaimana dengan Kakak, apa Kakak tidak dingin?"

"Kakak akan mencari kain atau baju rangkap agar bisa menghangatkan badan, kau tidak perlu khawatir." Galan beranjak berdiri, melangkah ke depan pintu lemari yang tidak jauh darinya.

Saat pintu lemari terbuka.

Drepp, drepp

Lampu listrik padam.

Hei, bukankah ini kota? Kenapa mati lampu?

Galan berjalan ke belakang dalam gelap, mencari lentera kecil yang mereka miliki. Karena cuma itulah pencahayaan satu-satunya ketika mati lampu.

Mungkin ada kabel yang konsleting, atau rusak. Sebab, tidak mungkin jantung Ibu Kota ada namanya mati listrik.

Galan menyalakan api, melangkah kembali ke lemari, mengambil sebuah kain lalu menutupnya kembali.

Tatkala ia melangkah ke tempat tidur.

Test ... test ... test.

Galan mendongak. Ada masalah baru sekarang, rupanya atap genting ada yang bocor. Yah, walaupun kecil, tetap saja namanya bocor.

Galan menghembuskan napas. Sempurna sekali, sudah mati lampu, hujan, atap rumah bocor pula.

Ia melangkah ke belakang, kali ini dirinya mencari sesuatu yang bisa menampung tetesan air hujan. Apa saja, yang terpenting bisa menampung tetesan air hujan sampai hujan reda.

Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang