Pukul 16:00 Galan dan Rino pulang. Ini jadwal pulang paling lama yang pernah mereka lakukan. Mereka memilih sholat ashar terlebih dahulu, sambil melemaskan kaki.
Galan dan Rino jalan kaki, mereka berdua memutuskan untuk menolak ajakan siapapun yang menawarkan mobil. Lebih dari dua puluh mobil yang sudah mereka tola, termasuk mobil Raka, Agat dan Tania.
Galan menenteng sepatunya, berjalan kecil dengan kaki telanjang. Sebagai seorang sahabat yang baik—Rino tidak akan membiarkan Galan telanjang kaki sendiri—dia ikut melepas sepatu, menentengnya.
Wajah mereka terlihat lesu hari-hari ini, lantaran gempuran jam latihan yang berubah non-stop.
"Kalau kau punya uang, aku peringatkan agar segera mengganti sepatu, Lan. Kasihan kakimu itu—bisa lecet jika terus-terusan tidak pakai sepatu." Rino mengusulkan. Dia kasihan melihat sahabatnya yang berjalan sedikit pincang.
Galan mengangguk. "Aku tidak tahu nanti. Jika ayah punya uang. Aku akan membeli sepatu malam ini juga, jika tidak--" Galan mengangkat pundak. "Entahlah. Boleh jadi besok latihan dengan kaus kaki saja."
Rino tidak bisa mengusulkan lagi. Mengingat keluarga Galan memang punya ekonomi rendah. Dia tidak bisa apa-apa. Ia hanya berdo'a semoga Galan mendapatkan pengganti sepatunya.
Semburat cahaya jingga menyiram wajah, dua remaja itu menambah kecepatan jalan kaki. Tidak mengobrol adalah salah satu cara agar sampai di rumah lebih cepat.
Dalam durasi empat puluh lima menit, mereka berdua akhirnya tiba. Ia bergegas masuk, mengucap salam. Tidak lupa ia membawa sepatunya masuk ke dalam kamar.
"Yah, ayah?" Galan memanggil ayah.
"Ji, Eji?"
Rumah sepi, tidak ada orang di rumah.
Meski sepatu ini sudah rusak dimakan usia. Akan tetapi, Galan tidak punya pilihan lain---ia akan memperbaikinya, bagaimana pun caranya.
Ia tidak akan memberitahu ayah. Itu, yang tadi dikatakan sama Rino—hanyalah sekedar alasan. Sesungguhnya Galan paling tidak mau membebani pikiran ayah. Bulanan Eji yang nunggak saja sudah membebani. Masa iya dia harus menambah beban itu?
Kamar gelap. Ayah dan Eji tidak menjawab salamnya---sepertinya mereka sedang ke sumur, mandi.
Di ujung kampung ini, ada sumur untuk kebersamaan. Sumur yang sudah berumur sembilan tahun itu, adalah satu-satunya sumber kehidupan bagi kampung ini. Untuk minum, mencuci, mandi—semua dari sana.
Galan menyalakan lampu, meletakan sepatu di sebelah lemari. Kemudian melepas pakaian, menggantinya dengan handuk kecil.
Galan menjinjing baju bersih, lalu keluar rumah menuju sumur.
***
Kebersamaan saat makan malam adalah salah satu kebahagiaan yang tidak bisa ia lewatkan. Cuma inilah momentum agar dirinya bisa berkumpul dengan keluarga.
Meski jarang sekali bersenda gurau dengan Eji, atau sekedar mendengarkan cerita dari ayah, tapi kebersamaan satu atap rumah tetaplah menyenangkan.
Galan menantap guratan wajah Ayah yang tampak pucat, memandanginya penuh kasihan. Andai saja dia sudah bisa mencari uang sendiri, mungkin keadaan ekonominya tidak begitu buruk---dan yang pasti, Ayah bisa beristirahat di masa tuanya.
Namun, itu hanya sebuah angan---yang entah kapan bisa terwujud.
Setelah makan malam, ia bergegas meraih sepatunya. Membawanya keluar rumah---ia tidak ingin membuat Ayah bertambah beban jika melihat sepatunya.
Di luar, angin malam berhembus lembut, menerpa wajah.
Sepintas Galan berpikir. "Bagaimana caranya?" Ia berdiri, menggaruk kepala—bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)
General Fiction"Akan kubuktikan kalau aku, bukan orang yang lemah dan kalah!" ~Dari Galan, seorang anak miskin yang akan mengubah wajah Bangsa Indonesia. Langsung baca, pasti suka. Semoga kalian terinspirasi😊. Baca juga Sequelnya (Sang Pelopor) Follow jika berken...