44. Deklarasi Validasi

1.2K 599 7
                                    

Sungai keruh Ibu kota mengalir deras di depan mata, bergerak maju mengikuti arus. Demikian juga dengan sampah-sampah limbah industri, berjalan beriringan---meramaikan indahnya ibu kota.

Saban hari, pemandangan seperti inilah yang Galan nikmati. Orang-orang kira, Ibu kota adalah surganya duniawi. Mereka salah.

Galan duduk termangu di kursi kayu lapuk, tangan kanannya mengalunkan batu kerikil ke sungai---membuat percikan air.

"Kau mau ikut denganku?" Rino keluar dari pintu kayunya, ia telah berganti seragam pemulung.

"Tidak." Galan menjawab pendek.

"Kau mau menunggu pekerjaan mendatangimu?" Salah satu tetangga Galan berceloteh. "Itu tidak akan mungkin." lalu menyeringai, sembari melangkah pergi bersama Rino---meninggalkan halaman rumah.

Galan tidak menanggapi, dia tengah mereleks kan sejenak pikirannya. Setelah sekian hari tidak bekerja, rasanya dia mulai betah dengan kondisi ini. Sebagai pengangguran, yang tidak berguna.

Tidak lama setelah Rino pergi. Dua mobil hitam masuk ke perkampungan---membuat geger warga sekitar.

Saat mobil berhenti, sontak seluruh penduduk kampung berhamburan---bersicepat meninggalkan rumah---berlari menyemuti mobil itu.

Sepertinya ada tamu, atau orang kaya pemberi sembako.

Demi menghormati kedatangan orang kaya itu, Galan bangun dari tempat duduk. Berdiri memandangi dari depan rumah.

Para penduduk berseru-seru tidak sabaran. Satu dua dari mereka tersenyum riang. Berharap, mobil ini adalah mobil pemberi sembako yang sudah lama tidak pernah ke sini.

Seseorang keluar dari dalam mobil.

"Galan!" orang itu berteriak, melambaikan tangan. Tapi, tertutup kerumunan manusia.

Seluruh warga menoleh ke arah Galan. Berbisik-bisik kecil. "Ah, ini bukan pemberi sembako. Mereka teman Galan."

"Hei!" Galan balas berseru, rupanya Agat sama Raka.

Galan mendekat, membuat wajah-wajah para penduduk memandanginya lesu.

Ia langsung meraih tangan Agat yang mengajaknya 'tos'.

"Berdua saja?" tanya Galan.

"Tuh," Agat mengernyitkan bibirnya, menunjuk mobil di belakangnya dengan ibu jari, tanpa berbalik badan.

"Berapa orang?" tanya Galan lagi. Apa mereka membawa pasukan Paskibra?

"Banyak," Sambut Raka. "Aku membawa pasukan khusus ke sini... Kau tidak keberatan?"

Galan menggeleng. "Jelas tidak. Kapan aku pernah keberatan." Dalam hati Galan bertanya, apa mereka membawa pasukan Paskibra?

Melihat sekerumunan orang yang sejak tadi melongo, Agat menepuk jidatnya pelan---dia melupakan sesuatu.

"Baiklah, Ibu-ibu, bapak-bapak. Ikuti aku!" Agat yang sudah beberapa kali ke sini, tahu persis penduduk kampung Galan. Ia dan Raka telah menyiapkan beberapa bungkusan dari rumah.

Para warga langsung sumringah saat Agat menyuruh mengikutinya. Harapan mereka terjadi.

Agat membuka bagasi mobil. Terdapat puluhan bungkusan plastik yang tertata rapi disana. Raka segera mendekat, membantunya agar lebih cepat.

Adalah Oscar dan Dito yang masih di dalam mobil. Mereka berdua tidak berani keluar saat penduduk mengepung mobil. Entah mengapa, melihat orang-orang mengerumuni mobil seakan melihat massa.

Dito yang baru pertama kali menginjakkan kakinya, tersenyum kikuk. "Hei, Lan." Ia melambaikan tangan kecil, tampak lega sekarang.

"Tidak seperti biasanya kalian ke sini?" Galan sebetulnya ingin menanyakan, 'ada apa sebetulnya mereka kesini?' tapi urung.

"Mainlah. Apa kami tidak boleh ke sini?" celetuk Oscar, sudah kebiasaan. Tangannya bersidekap, mengenakan kaca mata hitam. Seakan mau bermain ke kolam renang.

"Ada-ada saja kau ini!" Galan meraih punggung Oscar, selalu lucu mendengar gaya bicaranya yang kayak anak kecil.

Sembako tandas. Agat dan Raka segera bergabung bersama yang lain.

"Ini, spesial!" Agat berseru, seraya menyerahkan satu kardus yang sengaja disisihkan.

Galan meraihnya, kemudian mengucap terima kasih.

"Ayo, masuk gubuk kecilku. Kalian belum pernah mampir bukan?" Galan mengajak teman-temannya tanpa ragu. Toh, mereka juga tidak pernah gengsi punya teman seperti dirinya.

Raka dan lainnya mengangguk, berjalan membuntuti Galan.

Dito memandangi kanan-kirinya. Ada banyak sampah bertumpuk diujung sana. Juga perumahan yang berderet di depannya. Kumuh, tidak ada wajah bersihnya.

"Kalian mau minum? Aku ambilkan. Tapi, maaf. Tidak ada jus buah dirumahku."

"Ah, tidak usah repot-repot, Lan. Kami tidak bisa lama-lama di sini. Langsung saja, ada sesuatu yang hendak kuberitahukan." Raka menjelaskan kedatangan mereka.

Raka merogoh handphone-nya, meraba saku celana. Tidak ada. "Ah, sial! Handphone-ku tertinggal di mobil."

"Coba lihat handphone-mu, To."

Dito mengeluarkan handphone-nya. Membuka pola sandi. Lalu membuka isi pesan singkat Rangkas.

Galan melongok, ikut melihat.

"Itu adalah nama-nama orang yang lolos seleksi. Rangkas baru saja membuatnya. Dan itu sudah di sebarkan." Raka menunjukan daftar nama-nama itu. Sebagai Danton, Galan harus tahu daftar pasukannya.

"Karena kau tidak punya handphone, jadi kami ke sini," tambah Raka.

"Dan satu lagi." Raka menggeser ke bawah, ada pengumuman lagi.

"Kenapa tidak besok saja diberitahukan ketika latihan? Lagian, besok juga bisa, 'kan?" ujar Galan.

"Eh, aku belum selesai menjelaskan. Lihat ini." Raka menyodorkan ke muka Galan.

Ada pengumuman lain ternyata. Galan melongok lagi. Di situ tertera 'Deklarasi Validasi' yang berisi tentang perubahan jadwal latihan. Ada lima poin penting di dalamnya. Poin-poin itu antara lain:

Deklarasi Validasi.

•Jadwal pagi akan diubah menjadi latihan delapan jam.
•Latihan dimulai dari pukul 06:00–14:00.
•Tidak ada jadwal pembelajaran untuk sementara waktu.
•Jangan cemaskan tentang perizinan. Semua itu sudah diurus oleh para senior.
•Dan jadwal ini akan diberlakukan esok hari.

Galan mematung. Ini gila. Benar-benar gila. Latihan delapan jam? Apakah pasukan mereka mampu? Keliling lapangan bola lima kali saja sudah ngos-ngosan.

"Ini sungguhan?" Tanya Galan. Tidak percaya.

Mereka mengangguk.

"Tolong beritahu Rino juga soal pengumuman ini. Jangan sampai, dia tidak tahu." Raka memperingati.

Galan meng-iya 'kan. Dia pasti memberitahukan Rino tentang perubahan jadwal ini.

"Kita mulai, latihan kita yang sesungguhnya." Agat menyeringai, merangkul teman-temannya.

Galan terdiam beberapa saat. Dengan adanya pengumuman ini, dia tidak bisa protes. Siap atau tidak, latihan besar itu akan segera dimulai.

***

Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang