04. Pingsan

818 100 17
                                    

Suara ponsel membuat Jae mengerang, mengerjap beberapa kali merasa sinar matahari mulai menyerang. Jae mengambil ponsel yang berada di meja samping kasur.

"Hm?"

"Mas, udah berangkat?" tanya Wildan di seberang telfon.

Jae yang belum sadar sepenuhnya hanya mengangguk dengan suara helaan nafas.

"Kenapa?"

"Berkas gue buat meeting nanti siang ketinggalan. Nanti kalau lo berangkat boleh tolong sekalian bawain?"

Jae mengusap wajah, mencoba membuka seluruh mata yang masih terasa berat, sesekali masih menguap.

"Di mana?"

"Di meja kerja gue, arah kantor lo searah ini kan."

Jae melihat jam dinding, pukul 8 pagi. "Gue mandi dulu habis itu otw."

"Oke makasih, Mas. Hati-hati."

"Iya." Jae mematikan sambungan.

Jae mengerang untuk beberapa kali kemudian membuka selimut. Jae mendudukan diri sambil sesekali menguap, mencoba mengumpulkan semua kesadaran. Jae menoleh pada jendela yang gordennya sudah di buka lebar-lebar membuat matanya menyipit karena cahaya.

"Pasti Wildan nih," gumamnya kemudian bangkit untuk segera mandi.

.

Sesampainya di kantor Wildan, mata Jae mengitari lobby kemudian mendatangi receptionist.

"Permisi, saya mau bertemu dengan pak Wildan Pramudana."

"Baik, dengan pak Jaeenan Pradipta ya. Silahkan naik keatas pak, nanti akan di antar dengan rekan kami."

Jae mengangguk, "Terima kasih."

Jae memasuki lift, mengikuti petugas yang mengantarnya. Pintu lift terbuka di lantai 5, ruangan Wildan berada. Jae keluar dari lift, tidak lupa mengucapkan terima kasih pada petugas yang sudah mengantar.

Baru beberapa langkah, Jae terhenti, merasa perutnya tidak beres. Jae memegang perut, inilah akibat jika Jae minum teh di pagi hari, perutnya jadi mules. Sejak kecil, jika Jae minum teh pagi-pagi, pasti berakhir di toilet terdekat.



Suara ketukan membuat Wildan mendongak, "Masuk."

"Permisi, ini beberapa berkas buat meeting nanti siang. Bisa lo lihat dulu," kata Kalea, Sekretaris Wildan.

Wildan dan Kalea dulu satu kampus, satu kelas bahkan. Saat kuliah, Wildan dan Kalea sering satu kelompok kerja, bisa dibilang keduanya cukup dekat sampai sekarang. Walaupun Kalea bekerja sebagai sekretaris Wildan yang selalu mengurus tentang pekerjaan, tidak jarang keduanya pun bercerita tentang masalah pribadi. Kalau sudah berdua seperti ini, Wildan lebih suka berbicara santai daripada formal, tapi beda lagi jika sudah mulai bekerja dengan banyak karyawan, keduanya langsung merubah sikap menjadi sangat formal.

Sementara Wildan memeriksa berkas, Kalea mengepalkan tangan, sesekali tangan wanita itu menghapus keringat yang mulai keluar dari kening. Kalea menggigit bibir, memejamkan mata mencoba menahan sakit. Wildan menoleh, memperhatikan Kalea yang sudah pucat dan gelisah. Kalea merasa mual, sesekali memegang kepala. Wildan kembali menoleh, merasa Kalea makin gelisah.

"Kenapa?"

"S-sakit perut," jawab Kalea pelan.

Wildan melihat jam dinding, sadar sesuatu, "Udah sarapan?"

Kalea merapatkan bibir, menggelengkan kepala sebagai jawaban.

Wildan berdecak, "Kebiasaan banget sih, tau sendiri punya maag malah nggak makan."

Time of Our Life - DAY6 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang