Di bawah selimut tebal Jae terbaring. Netranya terbuka perlahan, langit kamar berwarna putih menyambut padangan Jae di pagi hari. Jae menghela nafas sembari mengumpulkan nyawa. Entah bagaimana rasanya. Entah kenapa terasa kosong. Isi hatinya terasa kosong membentuk sebuah kegelapan di dalamnya.
Ketukan pintu membuat Jae menoleh. Jae menyipitkan mata ketika pintu terbuka karena cahaya dari luar langsung menyerangnya untuk segera bangun.
"Gue mau berangkat," kata Wildan membawa nampan berisi bubur dan segelas air kemudian menaruh di atas meja samping kasur Jae.
Sudah tiga hari Jae tidak nafsu makan dan tidak memiliki minat melakukan apapun. Jika di jabarkan, kegiatan Jae selama tiga hari hanya tidur, main ponsel, termenung, ulangi ke awal. Jae makan tapi hanya sesekali, mulutnya terasa berat untuk terbuka dan menelan.
"Awas kalau nggak di makan, nanti makin kerempeng," kata Wildan yang sudah kembali berjalan menuju pintu.
"Gue mau ajuin cuti beberapa hari, Wil."
Wildan menoleh, "Yakin?"
Sebenarnya Jae juga tidak tahu, asal bicara aja. Jae sama sekali tidak memiliki minat untuk turun dari kasur, apalagi untuk bergerak mandi, bersiap-siap dan berangkat ke kantor. Jae bahkan tidak memikirkan itu selama tiga hari ini.
Wildan menghampiri, duduk di pinggir kasur Jae, "Jangan jadikan cuti sebagai alasan buat lo galau di kamar. Adanya makin membuat diri lo kelihatan buluk."
Jae terkekeh, "Sialan lo."
"Tapi kalau lo mau cuti terus jalan-jalan untuk hilangin beban ya gapapa, nanti gue sama yang lain bisa temenin kalau lo butuh."
"Pengennya gitu tapi niat turun dari kasur aja gue nggak ada."
"Kerja kalau gitu."
"Mager."
"Kerja, cari duit."
"Udah banyak."
Wildan berdecak, "Lo tuh belagu tapi ya emang bener sih jadi gue nggak bisa marah, tapi lo harus cari kesibukan untuk lupain hal yang nggak penting."
Jae melihat Wildan, "Tapi dia penting, Wil."
"Dulu."
"Iya sih. Ah lo mah ngeselin."
Satu alis Wildan terangkat, "Dih, kok gue?"
"Nggak tau ah," balas Jae kemudian menutup seluruh tubuh dengan selimut.
Wildan tertawa kemudian menarik selimut membuat Jae jadi melihat Wildan.
"You look pitiful, don't look at me."
"Sialan."
"Punya banyak duit tapi jomblo, cih," cibir Wildan kemudian berdiri untuk keluar kamar.
"Gue denger ya." teriak Jae.
"Berangkat dulu, Mas. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
.
Wildan kembali ke ruangan setelah rapat sembari sesekali memijit kening. Wildan mendudukkan diri kemudian menghela nafas panjang. Pekerjaan hari ini sangat banyak, sepertinya minggu ini akan menjadi minggu yang sibuk bagi Wildan. Wildan menatap beberapa tumpuk berkas dan laptop yang menyala, tangannya sibuk mengetuk-ngetuk meja sembari berpikir. Wildan kembali menghela nafas panjang, kali ini terasa berat membuat Wildan mengalihkan pandangan melihat keluar jendela.
Wildan kesal, kenapa saat dirinya merasa lelah pikirannya malah teringat masa di mana dirinya masih bersama Milena dulu.
Di antara teman-temannya bisa dibilang Wildan adalah yang paling tenang tentang wanita. Di saat yang lain sudah memiliki pacar atau gebetan, Wildan masih saja sibuk dengan kegiatan perkuliahan tanpa satupun chat wanita di ponsel dengan niat untuk di dekati. Wildan bukannya tidak tertarik sama perempuan tapi bisa di bilang Wildan masih cukup trauma. Wildan juga termasuk orang yang takut untuk memulai hal cinta-cintaan, apalagi dirinya belum bisa move on.
KAMU SEDANG MEMBACA
Time of Our Life - DAY6 ✔️
FanficKisah mereka yang tak sabar untuk menikmati dan membuat kenangan baru di masa muda. Tapi masa muda itu tidak selalu punya sisi yang indah, tidak selalu hanya berisi kebahagiaan. Tapi setiap manusia pasti ingin mempunyai kenangan yang menyenangkan da...