NEURON III - 4

628 45 8
                                    

One day in a lifetime – Broken as always

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

One day in a lifetime – Broken as always

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Sebulan ini semua seolah berjalan dengan semestinya, seolah Asyifa tidak pernah menoreh luka pada sulungnya, seolah Kenzie hanya adik kecil nakal biasa yang suka usil pada kakaknya dan Adimas akan selalu memeluk kedua putranya dengan cinta dan kasih yang sama rata.

Fajar tidak yakin, hatinya gundah saat melihat mamanya yang terlihat lebih banyak tersenyum daripada berwajah kesal. Entah kenapa ia berpikir mama seperti berusaha bersikap baik sedangkan dalam dirinya menyimpan kesalnya sendiri dan itu terlihat menyakitinya. Entah kenapa.

Ia lantas sadar kalau papa dan mama tidak berpelukan saat berangkat ke tempat kerja masing-masing, papa yang tidak meninggalkan kecup dikening mama, hanya padanya dan Kenzie. Lalu Kenzie yang berubah lebih diam. Ini salah kan? Lalu dimana letak kesalahannya? Ia sungguh tidak mengerti. Apa yang terjadi pada Asyifa dan Adimas?

"Jar.."

"Fajar!"

Pemuda itu tersentak kaget, ia menoleh saat teman sebangkunya menyentaknya dari lamunan, Gerdavi Candra, namanya. Teman pertama Fajar disekolah ini sejak kelas sepuluh.

"Ngelamun ae, ayo makan gak?"

Lalu Fajar sadar sudah tiba jam istirahat. Ia mengangguk lalu membereskan bukunya baru dia mengikuti Gerda yang sudah duluan.

Diperjalanan, Aurora menunggunya dilorong kelas rupanya. Gadis cantik keturunan Ferdian dan Kamilia Yundi itu selalu terlihat secantik namanya.

"Lha ini saya jadi obat nyamuk dong jadinya. Udah ahh minggat duluan aja. Bai.."

Gerda kabur, berlari. Tidak ingin menganggu sejoli. Padahal bukan, anak anak sepenjuru sekolah yang kenal mereka saja yang sok tahu.

"Mau makan apa?" Tanya Aurora, seperti biasa.

"Apa aja.."

Gadis itu sedikit mengerutkan kening. Tapi kemudian membiarkan Fajar duduk disalah satu bangku kosong, duduk bertopang dagu. Kenapa lagi anak itu?

Saat Aurora kembali dengan dua piring siomay, barulah Fajar membuka suara. Katakanlah Aurora adalah tempat terbaik baginya untuk berkeluh kesah. Gadis itu selalu mendengarkan tanpa menyela, tidak memberinya kata-kata penenang pun pelipuran. Hanya mendengar. Lalu usai ia bercerita pasti ia akan dihibur dengan curhatan Aurora yang selalu konyol.

Dia benar benar tumbuh selayaknya Ferdian yang memancarkan kebahagiaan.

Mungkin itu alasan Fajar betah bersama gadis itu.

"Mama sama papa aneh. Kayak..."

Aurora menghentikan suapannya, mengunyah pelan sambil memandangi Fajar yang berwajah lesu. Makanannya hanya diaduk saja.

{✔️Complete} NEURON IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang