One day in a lifetime – Fade
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Kabar baik yang disampaikan tim dokter hanya berhenti pada bahwasannya saat ini Fajar masih bernapas.
Karena tiga jam setelah operasi itu didalam ICU berangsur-angsur kondisi kesadarannya mulai menurun terus turun hingga tibanya pagi ini Dimas nyaris menggila dan memaki dokter sebab mereka tak dapat mempertahankan kabar baik tentang sang putra.
Fajar akhirnya dinyatakan koma setelah pupil dan kornea nya tiada lagi merespon.
Dimas nyaris memaki tim dokter, mengapa? Mengapa uang dan teknologi medis era ini masih tidak mampu mengembalikan Fajar? Kenapa akhirnya tetap harus dia dengar vonis yang menyakitkan?
Memangnya bisa apa? Mau menyalahkan siapa? Ini musibah, kecelakaan, menyalahkan pengendara mobil yang menabrak pun tiada berguna karena Fajar tetap akan terbaring dengan kondisi antara hidup dan mati.
Rasanya seluruh kesabaran yang dia miliki habis tertelan oleh kenyataan. Dimas kehabisan akal untuk tetap terkendali. Pagi tadi bahkan ia berucap ketus pada Kenzie tanpa sengaja sebab putra bungsunya itu tidak mau mengisi perutnya yang hanya terisi susu cokelat tadi malam.
Ia lelah dan kehabisan kesabaran.
Kini ia hanya terduduk didepan ruang ICU, menunduk, menahan segala resah, menyendiri dalam nestapa. Mengadu sekali lagi pada Tuhannya, meminta dan memohon agar sang putra dikembalikan padanya, sebab ia tak mampu menanggung rasa yang menghimpit erat batinnya. Dunianya serasa tak berputar dan berhenti disana, didalam ruang berlapis kaca tebal, terbujur lemah dengan raga yang seolah terombang ambing dan dipermainkan oleh takdir.
Baru sehari, bagaimana jika berhari hari?
Rasanya seperti akan gila.
“Dimas..”
Lelaki itu tergerak, ia tolehkan kepalanya ke arah suara lembut yang memanggilnya. Disaat itulah kedua mata mereka dipertemukan.
Beban yang ada dipundak Dimas rasanya mencencang kuat rasa dalam hatinya, melihatnya membuat gejolak kepedihan terasa semakin menyeruak seolah sedang berlomba lomba ingin dikeluarkan, ingin ditumpahkan.
Wanita sepuh yang masih terlihat cantik di usia senjanya itu mendekati sang putra, tanpa berucap kata Widara merengkuh Adimas yang selalu menjadi putra kecilnya itu kedalam peluk.
Tubuh Dimas bergetar dalam rengkuhan, rematan kuat dapat Widara rasakan pada bagian punggungnya.
“Bunda…. Ya Allah Bunda….”
“Sstt istigfar sayang..”
Isak tangis lelaki empat puluh tahun itu tumpah ruah dalam pundak sang ibunda, penopang hidupnya, wanita yang paling bisa membuatnya tenang dalam posisi paling rapuh sekalipun.
KAMU SEDANG MEMBACA
{✔️Complete} NEURON II
RomanceAdimas masih lelaki yang sama, ia tetap seorang lelaki sederhana yang mudah memberikan ketulusan bagi orang orang disekitarnya.. Nyatanya, sepuluh tahun adalah waktu yang lama untuk dijalani, namun bagi Adimas itu hanya seperti kerjapan mata, dia ma...