NEURON III - 9

519 55 19
                                    

One day in a lifetime – A Heart disease

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

One day in a lifetime – A Heart disease


.
.
.
.
.
.
.
.
.
.


“Kenzie..”

Anak lelaki itu menoleh pada sosok kakak sepupu yang memanggilnya. Abyan menduduki tempat kosong disampingnya, Kenzie tetap fokus pada layar besar didepannya. Ia sedang bermain game.

“Kamu gak kangen sama kakak?”

Diam diam anak itu mengeratkan genggamnya pada stik game.

“Kak Byan kangen banget.. pengen ke Semarang tapi kakak kamu gak mau jawab telepon kakak masa. Jahat banget dia..”

Anak itu hanya diam masih meneruskan permainannya.

“Kenzie sekarang bahagia nggak?”

Detik berlalu dengan keheningan, Kenzie membiarkan karakternya terjatuh dan kalah lalu layar disana menunjuk tulisan besar besar.

Game Over

Kalau ditanya apakah sekarang dia bahagia jawabannya tidak. Mau bahagia bagaimana kalau dia merasa begitu kosong, padahal mama dan papa memberinya perhatian penuh seperti yang dia inginkan. Hanya saja perasaan seperti dadanya tersumbat kerikil hingga serasa pengap itu terus hinggap bahkan setelah dua bulan berlalu sejak kepergian kakaknya.

Kenzie terlalu kecil untuk mengerti bahwa dia merasakan penyesalan, bahwa dia merasakan perasaan rindu pada sang kakak. Dia hanya tidak bisa menjabarkannya. Perasaan sakit yang diam diam dia pendam, membuatnya lebih diam dari biasanya, mengurung diri, murung dan tidak ingin berinteraksi dengan siapapun.

Asyifa dan Dimas khawatir tentu saja.

Itulah sebab kenapa kedua orangtua Kenzie itu membawanya kerumah sepupu mereka, barangkali dia jenuh dengan kegiatan yang itu itu saja. Tetapi dirumah besar keluarga Radhitya pun yang dia lakukan hanya menyendiri di sofa dengan stik game ditangannya, menolak siapapun yang menawarkan bermain dengannya.

Lovisa, anak bungsu Radhitya saja tidak berani dekat dekat. Kata anak perempuan sebelas tahun itu Kenzie seperti mengeluarkan aura gelap yang membuatnya enggan menyapa.

Padahal Lovisa dan Kenzie biasa main bersama.

“Kenzie kenapa?”

Anak itu tersentak, seperti habis tersadar dari lamun ketika Abyan hanya menyentuh pundaknya pelan.

“Nggak papa, mau pulang..”

Sejenak kemudian anak itu sudah turun dari sofa, kemudian mencari keberadaan orangtuanya yang mengobrol bersama Radhitya dan Adara di gazebo taman samping kediaman sepupu ayahnya itu.

{✔️Complete} NEURON IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang