Thoughts, pictures of him would come to me just a second after waking, shocking me from the forgetfulness of sleep, striking blows that were almost physical. And even in sleep I was not completely free. So often sleep brought dreams of him.
-Bernard Taylor
...
Gerimis terus merintik bahkan ketika pagi menyapa, udara dingin pagi itu membangunkan Fajar dari lelapnya. Ia bangun, terduduk diatas ranjang seraya mengumpulkan nyawanya yang masih timbul tenggelam, melihat ranjang samping sudah tidak ada mama disampingnya. Beringsut menuruni ranjang ia merapikan bantal dan selimut kemudian tangan-tangan mungilnya bergerak secara refleks memunguti boneka yang berserakan dilantai, mengumpulkannya ditengah-tengah ranjang. Masih dengan mata setengah tertutup ia membuka pintu kamar.
Ia tidak mengerti ini pukul berapa, tapi matahari dari balik jendela yang tertutup korden memang masih redup dan hujan menyebabkan mendung yang bertahan. Tapi nalurinya mengatakan ini sudah pagi, namun anehnya rumah itu sepi. Tidak ada mama yang biasanya sibuk didapur, lampu dapur tidak menyala sehingga tempat itu terlihat sedikit gelap karena mendung. Begitupun ruangan yang ia pijak saat ini. Karena memiliki hasrat alamiah untuk buang air kecil ia terlebih dulu beranjak ke kamar mandi samping kamarnya, menyelesaikan hasratnya dan tidak lupa menyiram closet.
Kembali keruang tengah, apartemen mama yang tidak seberapa luas ini sangat sepi. Apa mungkin mama pergi belanja? Menyeret langkah menuju deretan sofa didepan televise ia menemukan buntalan manusia meringkuk disofa panjang.
Ia mendekat, merasa mengenali raut polos yang lelap itu lantas ia mengerutkan keningnya. Kenapa ada Om Dimas tidur disofa rumahnya?
"Om.." Panggilnya lirih.
"Om.." Panggilnya lagi.
"Mama dimana hiks.."
Ia hampir terisak namun kelopak mata bulat itu kemudian mengerjap lembut, membuatnya urung untuk menangis. Ia beringsut naik ke atas sofa lalu menduduki bagian perut lelaki yang masih menggumam belum tersadar sepenuhnya dari lelap.
"Om.. Mama mana?" Tanyanya lagi.
"Eng? Mama?" Gumamnya masih terpejam.
Tanpa sadar lengan itu justru merangkuh di buntalan itu dan membiarkan si bocah berada di posisi tengkurap diatas perutnya.
"Om.. bangun.."
Pipinya dimainkan, dicolek colek, dicubit-cubit sampai si empu akhirnya risih dan membuka mata dengan kerutan sebal di kening.
"Fajar.." Gumamnya.
"Om Dimas.. mama mana?"
Lelaki yang ditanyai itu mengerjap beberapa kali kemudian menepuk jidatnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
{✔️Complete} NEURON II
RomanceAdimas masih lelaki yang sama, ia tetap seorang lelaki sederhana yang mudah memberikan ketulusan bagi orang orang disekitarnya.. Nyatanya, sepuluh tahun adalah waktu yang lama untuk dijalani, namun bagi Adimas itu hanya seperti kerjapan mata, dia ma...