Malam yang Na'as

633 72 3
                                    

Qarira memutuskan untuk pulang sendiri malam itu, karena Akbar dan Christian menawarkan jasa untuk mengantarnya sampai rumah. Tak mungkin ia menerima tawaran dari salah satu cowok-cowok itu. Demi menjaga perasaan mereka berdua, ditolaknya tawaran itu.

Angin bertiup menambah suasana dingin malam itu. Hujan turun sejak beberapa jam yang lalu sesekali dibarengi suara petir. Qarira merapatkan jaketnya, tubuhnya sudah basah kuyup. Dia tak menyangka bakalan turun hujan selebat ini.

Jalan sempit  itu terlihat berantakan. Terlihat beberapa tong sampah yang sudah dipenuhi sampah dan isinya sedikit berhamburan keluar.  Beberapa perbaikan jalan di area itu menambah sempitnya ruang untuk bergerak.  Ada juga sudut kota Berlin yang terlihat kotor. Rumah-rumah yang dipenuhi dengan grafitti tak beraturan. Terkesan kumuh dan sedikit horor.

Qarira mempercepat langkahnya  kala ia melihat sekelebat bayangan di belakangnya. Dia berharap dia segera sampai dirumah.

DUARR

Suara petir menyambar lagi, Qarira terkesiap saat seseorang sudah menghadangnya beberapa meter jauh di depannya. Qarira tak bisa melihat dengan jelas wajah orang itu. Jalan  kecil itu terkesan gelap dan suram, hanya sesekali ketika petir menyambar satu-satunya penerangan. Qarira merutuki dirinya sendiri, kenapa dia memilih jalan kecil yang gelap dan suram ini. Qarira mundur selangkah, maksud hati ia berbalik dan berlari tapi seseorang yang lain sudah menunggu di belakangnya. Tak mungkin lagi Qarira melarikan diri di jalan yang sempit itu.

Qarira bergidik ngeri, ketakutan setengah mati karena dia sendirian. Tak terlihat satu orangpun yang lewat di jalan selain dirinya. Tubuhnya mulai gemetar, bukan karena hujan yang mengguyur deras tapi karena rasa takutnya. Ya Allah ya Rabbi, lindungi hambamu ini ya Allah. Aku mohon.

Dua lelaki itu berjalan mendekati Qarira pelan.

"Apa yang kalian inginkan dariku?" Qarira berusaha kelihatan tenang namun sebenarnya dia gemetar ketakutan.

Dua lelaki itu tak menyahut, mereka meringsek pelan. Baju sweater warna hitam kebesaran yang mereka kenakan dengan tudung kepala yang menutupi hampir sebagian wajah mereka sudah basah kuyup. Qarira menajamkan penglihatannya namun sayang wajah mereka masih susah dikenali dan air hujan yang mengguyur menambah kabur pandangan matanya.

"Kami sudah lama menunggu saat ini, mengincarmu sejak dulu," laki-laki di depan Qarira menyeringai buas seakan menemukan mangsa empuk di depannya.

"Tolong, kalau kalian mau uang silahkan ambil tasku. Tapi tolong lepaskan aku!" Qarira berteriak dan mengiba sambil menyodorkan tas kecilnya. Kakinya sudah terasa lemas tapi ia tetap berusaha tegak berdiri.

"Kami tidak butuh uang. Kami menginginkan dirimu!" lelaki di belakang Qarira tertawa menyeramkan.

Qarira mundur selangkah bergidik ngeri, tubuhnya sudah membentur tembok di belakangnya. Tak mungkin lagi dia untuk menghindar.

"Vla, kau dulu!"

Tak peduli dengan keadaan Qarira yang sudah basah kuyup, lelaki itu mendekat setelah aba-aba dari temannya. Qarira merasakan tangannya ditarik dengan kencang. Qarira terjungkal. Dia berusaha melepaskan diri, meronta.

"Lepaskan!" jeritnya. Namun suara hujan dan petir menelan teriakannya.

"Tak mungkin kau lepas dari kami sekarang!"

Lelaki itu benar-benar mencekal bahu Qarira sekarang. Qarira memberontak. Memukul-mukul dan menendang-nendang sejadinya.

"Toloong ... tolong!"

Lelaki itu mendekap tubuh Qarira dan membekap mulutnya. Qarira mengejang. Tangannya menggapai-gapai. Berusaha mengambil sesuatu apa saja yang ada di dekatnya. Beruntung sebuah balok kayu berada tak jauh di dekatnya. Diambilnya balok kayu itu dan tanpa ampun dengan sisa kekuatan yang ada dalam dirinya diayunkannya balok kayu itu kearah kepala lelaki yang mendekapnya.

SUJUD CINTA DI KOTA BERLIN (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang