Tanda Tanya

318 37 13
                                    

"Silahkan duduk, Herr Martin." Akbar mempersilahkan Stefan duduk ketika mereka sudah sampai di ruang kerja dokter muda itu.

"Terima kasih, Dok. Begini, apa benar yang dikatakan dokter tadi kalau keadaan anak saya sudah makin membaik?" tanya Stefan menatap manik pemuda didepannya.

"Benar, Herr Martin. Keadaan Christian sudah jauh lebih baik. Kami berharap dia akan cepat sadar dari komanya. Namun kami tidak menjanjikan apa dia akan sadar dengan normal atau tidak."

"Bagaimana maksud Dokter? Saya sedikit kurang mengerti."

"Begini--" Akbar membetulkan letak duduknya, "cedera yang dialami Christian di bagian kepalanya sangatlah parah. Kami tim dokter belum bisa memastikan apakah nanti itu bisa difungsikan lagi secara normal. Kami bukan mau menakut-nakuti, kami hanya ingin memberi sekedar informasi saja agar Herr Martin dan keluarga yang lain tahu jika hal paling buruk terjadi pada anak Bapak."

"Hal buruk seperti apa misalnya, Dok?" tanya Stefan lagi sambil menelan salivanya.

"Banyak pasien yang mengalami cedera parah di kepala biasanya akan kehilangan ingatan mereka," kata Akbar menatap lurus Stefan.

"Ya Tuhan!" Stefan terperanjat, membekap mulut dengan kedua tangannya.

"Tapi itu tergantung pada kondisi pasien. Terkadang mereka bisa sehat seperti biasa, ada yang mengalami amnesia yang berat, kadang juga ada yang ringan. Kita berharap tidak akan terjadi apa-apa dengan Christian," lanjut Akbar lagi.

"Mudah-mudahan anak saya akan--" suara Stefan terpotong saat ponsel Akbar tiba-tiba berdering.

KRING KRING

Akbar mengambil ponselnya yang tergeletak diatas meja.

"Maaf sebentar, Herr Martin," katanya melirik Stefan. "Ya Ma?"

"Nak, Mama lupa lagi jalan menuju ruang kerjamu. Mama sudah ada di depan sini," suara seorang wanita menyapa Akbar dari ponsel.

"Mama selalu saja lupa. Sudah Akbar katakan, tak perlu Mama repot-repot membawakan makan siang buatku. Di sini kan sudah ada kantin, Ma." Akbar menyunggingkan senyum.

"Mama tahu, Nak. Tapi ini kan makanan kesukaan kamu. Semur jengkol dengan ikan goreng dan sambal terasinya. Emang di kantin ada makanan seperti ini?" wanita itu terkekeh pelan.

"Mama bisa saja." Akbar geleng-geleng kepala. "Dari depan Mama jalan lurus saja sampai di perempatan. Di sana ada papan nama, Mama ambil jalan ke kanan dimana Blok B berada. Gedung nomer dua dimana aku sekarang."

"Baiklah, Nak. Mama segera kesana," ucap Mama Akbar lalu menutup telponnya.

"Maaf sedikit terpotong pembicaraan kita tadi, Herr Martin. Mama saya selalu saja begitu, kadang-kadang dia terlalu memberi perhatian yang lebih."

"Anda beruntung punya mama seperti itu, Dok. Orang tua yang selalu memberi perhatian pada anaknya. Anda semestinya harus bersyukur," ucap Stefan pelan.

"Anda benar, Herr Martin. Saya sangat bersyukur sekali punya Mama seperti beliau. Beliau sangat perhatian. Ibu yang sangat baik. Oh iya, sampai dimana kita tadi?" Akbar berkata sambil mengecek buku pasien di sebelahnya.

"Tadi Dokter menjelaskan soal pasien yang hilang ingatan dan kemungkinan itu bisa terjadi pada anak saya. Lalu apa yang harus saya lakukan selanjutnya, Dok?"

"Kita lihat dulu perkembangan Christian. Kita tunggu sampai dia benar-benar bangun dari komanya. Saya berharap semua akan baik-baik saja."

TOK TOK TOK

"Itu pasti Mama saya," kata Akbar lagi. "Masuklah, Ma. Pintunya tidak dikunci!"

Pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya berdiri di ambang pintu membawa sebuah tentengan dan tersenyum hangat. Stefan membalikkan badan dan menatap nanar wanita itu.

"LENA!" Stefan memekik, kedua matanya langsung berkaca-kaca.


❤❤❤❤


"DIA MENGHILANG!" Marco membuang nafas dengan kasar lalu mengelap keringat yang membasahi dahinya.

"Apa maksudmu, Marco?" suara Sarah di seberang telpon penuh nada amarah terdengar jelas di telinga Marco.

"Aku sudah berusaha menelponnya, namun tak ada yang mengangkat. Aku coba mengiriminya Whatsapp tapi masih belom dia baca dan di respon sama sekali. Sekarang aku berada di apartemennya, sepertinya apartemen Dinda kosong."

"KURANG AJAR! Kamu harus temukan pacar bodohmu itu, Marco. Dobrak pintu apartemennya dan geledah semua rungan di sana. AKU MAU PISTOLKU KEMBALI!" Sarah membentak Marco dan pria itu hanya mengangguk pelan.

Marco berusaha membuka paksa pintu apartemen Dinda, namun usahanya sia-sia. Kini dia sudah berancang-ancang untuk mendobrak pintu itu.

BRAK BRAAK

Marco menendang pintu itu berkali-kali dan akhirnya terbuka. Marco segera menghambur masuk dan memeriksa apartemen itu.

"NIHIL! Aku tak menemukan apa-apa," ucap Marco sembari memeriksa setiap sudut ruangan itu.

"Terus cari sampai dapat, Marco! Aku tak mau tahu, ini semua kesalahanmu, bangsat!"

Marco tak menjawab. Dia masih sibuk mencari kesana-kemari. Marco lalu menuju kamar Dinda. Dibukanya lemari pakaian Dinda. Kosong! ucapnya dalam hati.

"Dia sudah pergi! Dinda sudah pergi! Dia sudah meninggalkan apartemennya. Lemarinya kosong," kata Marco agak sedikit gugup.

"APA? Dinda pergi meninggalkan apartemen? ANJING!" umpat Sarah terdengar jelas di telinga Marco.

"Sarah sayang, apa yang telah terjadi?" suara Christian ikut terdengar. Marco memasang telinganya lekat di ponsel.

"Tak ada apa-apa, Chris. Hanya ada sedikit kesalahpahaman saja," ucap Sarah. "Aku harus pergi sekarang. Pokoknya kamu harus cari perempuan sialan itu atau aku sendiri yang harus turun tangan.Bye!" Sarah memutus telpon.

Marco menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan-pelan. "Dinda ... Dinda, dimana kamu?"

-----

Semburat jingga menghias langit dengan indah. Beberapa burung terbang lepas seakan menari di bawah sinar mentari dari ufuk barat. Udara musim panas yang memberikan kesegaran berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan oleh Dinda. Gadis itu berjalan gontai menyusuri sebuah jalan. Hatinya benar-benar hancur setelah mengetahui apa yang menjadi keputusan Marco. Dia tak tahu harus kemana dia berjalan. Pikirannya hanya satu, pergi meninggalkan kota Berlin. Dengan mata sembab penuh  airmata, Dinda menyeret dua koper dan menenteng sebuah tas besar. Dia tahu ini adalah sebuah keputusan besar dalam hidupnya, akan membesarkan seorang bayi yang ada dalam kandungannya tanpa kehadiran seorang ayah. Menjadi seorang single parent yang mana itu tak pernah ada dalam pikiran Dinda. Mungkin ini adalah hal tersulit yang harus dilakukannya tapi Dinda tak ada pilihan lain. Dia harus menjalaninya.

Tinggal di tempat yang baru mungkin akan membantu memulihkan hatinya yang terluka saat ini, mengubur semua kenangan indah yang pernah ada disini, menghapus semua kejadian buruk yang sudah pernah ia alami bersama Marco di kota ini dan pergi meninggalkan itu semua.

"Aku akan pergi. Aku akan pergi," desis gadis itu dalam hati sembari memgusap bulir-bulir bening yang terus jatuh menetes tiada henti.

Dinda melangkahkan kaki pelan menyebrangi jalan tanpa memperhatikan lampu lintas yang menyala merah untuk para pejalan kaki. Sebuah mobil BMW hitam melintas dengan kecepatan tinggi dan menabrak tubuh gadis cantik itu.

"AARRGGHH!"

Dinda menjerit sesaat sebelum akhirnya tubuhnya terpental beberapa meter dan terkulai lemah bersimbah darah. Beberapa pejalan kaki yang ada di sana sontak berhamburan mendekat dan berusaha memberikan pertolongan.


❤❤❤❤

Herr= tuan/bapak

Assalamualaikum

Kira-kira bagaimana part selanjutnya ya?
Tungguin dan jangan lupa di Voment ya❤

Wassalam

DS. Yadi

SUJUD CINTA DI KOTA BERLIN (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang