Qarira memeluk erat Dinda. Gadis itu masih menangis tersedu. Tubuhnya berguncang, suaranya tertahan. "Aku hamil, Qarira. Aku hamil!" katanya sambil menangis di bahu Qarira.
Qarira mengerti perasaan Dinda. Memang tidak mudah untuk menerima kenyataan jika seorang wanita hamil di luar nikah, apalagi seorang muslimah seperti Dinda. Pasti sangat berat dan merasa tidak siap. "Sudahlah Din, jangan menangis. Kamu harus menghadapi dan menerimanya. Ini sebuah anugerah bagimu. Tak setiap wanita bisa mendapatkannya dengan mudah."
"Anugerah katamu, Qarira? Bagaimana mungkin ini sebuah anugerah? Ini aib bagiku!" Dinda terisak lagi.
"Din, dulu aku juga pernah hamil. Kujaga janin dalam kandunganku dengan sangat hati-hati. Tapi Allah harus mengatakan yang lain. Aku mengalami keguguran. Anakku mati saat peperangan bergolak di Aleppo, dimana aku tinggal dulu." Qarira menatap keatas langit biru, pikirannya kembali melayang-layang ke beberapa tahun silam. Tahun dimana semua mimpi indahnya harus ia kubur dalam-dalam. "Berbahagialah karena kamu sekarang sedang hamil," lanjutnya.
"Bagaimana aku harus berbahagia, Qarira? Sedangkan bapak anak ini saja begitu aku benci!" Dinda mengucap sambil meremas tangannya.
"Maksudmu--apa dia Marco?" tanya Qarira gusar.
"Ya siapa lagi kalau bukan dia. Aku tak berhubungan dengan lelaki lain selain dengannya." Dinda mengusap airmata dipipinya pelan.
"Maafkan aku, Din. Semuanya sudah terjadi. Kamu harus cepat-cepat memberitahukan padanya."
"Tapi bagaimana, Qarira? Aku baru saja mengusirnya. Melihatnya saja aku sudah muak, apalagi bertemu lagi dan memberitahukannya. Aku tak bisa membayangkan kalau aku sampai harus menikah dengannya--oh!" kedua mata Dinda sudah sembab dan masih berkaca-kaca. Dia masih belum siap menghadapi kenyataan kalau ayah dari anak yang dikandungnya sekarang adalah Marco. Lelaki yang selalu melukai hatinya, lelaki yang tak pernah mengerti perasaannya, lelaki yang dimata Dinda hanyalah seorang pengecut yang bisanya hanya menyakiti kaum wanita saja.
"Din, jangan menunggu sampai kehamilanmu sudah besar. Kamu harus memberitahu Marco. Katakan padanya kalau kamu hamil anaknya. Pasti dia akan mengerti dan menerimanya. Din--," Qarira menyentuh pelan puncak kepala Dinda.
Dinda terlihat melamun. Tatapan matanya kosong. "Kamu pikir semudah itu, Qarira? Kamu tahu Marco bukanlah pria yang baik. Kamu sendiri juga mengatakannya padaku. Bagaimana aku harus mengatakannya sedang hatiku sangat membenci laki-laki itu?" Dinda meloloskan lagi butiran-butiran airmata jatuh ke kedua pipinya.
"Maafkan aku, Dinda. Kini keadaannya sudah berbeda. Kamu hamil, kamu hamil anak Marco. Mau atau tidak mau, kamu harus mengatakan yang sebenarnya! Apa kamu mau anak ini tidak mempunyai ayah?" tanya Qarira tegas berusaha memberi dukungan agar Dinda mau mengatakannya pada Marco.
"Ya Allah! Apa yang harus aku lakukan, Qarira? Apa?"
"Katakan pada Marco semuanya. Dia harus bertanggungjawab atas semua yang sudah terjadi padamu!"
Dinda menangis lagi. "Din, airmata tak akan menyelasaikan masalahmu ini. Temui Marco dan katakan padanya," kata Qarira pelan di telinga Dinda.
"Bagaimana kalau dia menolaknya?" Dinda menatap manik Qarira lekat.
"Jangan berpikiran yang tidak-tidak dulu. Kamu saja belum mengatakannya."
"Bagaimana seandainya dia tak mau menerima anak ini sebagai anaknya, Qarira? Apa yang harus aku lakukan?"
"Berdoalah pada Allah SWT. Mohon kepada-Nya agar kamu bisa lewat dari semua ini. Minta petunjuk dan kekuatan pada-Nya agar kamu bisa menyampaikan semua ini pada Marco dan Marco bisa menerima keadaanmu."
"Tapi aku ragu, Qarira. Aku takut," Dinda berkata getir.
Qarira sedang membayangkan, seandainya dia saat ini adalah Dinda, mungkin dia juga akan merasakan hal sama seperti apa yang dirasakan Dinda sekarang. "Aku tahu perasaanmu, Din. Aku tahu. Memang ini bukan hal yang mudah, semudah kita membalikkan telapak tangan. Tapi kamu harus mencobanya terlebih dulu. Ingat, anak itu perlu figur seorang ayah. Bagaimana kalau dia terlahir tanpa seorang ayah? Apakah kamu mampu menghadapinya? Apa kamu mampu mengatakan yang sebenarnya pada anak ini? Lalu bagaimana dengan reaksi keluargamu kalau kamu hamil di luar nikah?"
"Aku tak tahu, Qarira. Terlalu banyak beban pikiran dan masalah yang harus aku tanggung sekarang. Kadang-kadang aku bingung, kenapa ini semua terjadi padaku? Seakan-akan rasa bahagia itu takut padaku, menjauh dariku!"
"Dinda, semua akan indah pada waktunya. Mungkin saat ini bukanlah waktu yang tepat buatmu, tapi yakinlah suatu saat nanti kamu pasti akan bahagia." Qarira memegang bahu Dinda, berusaha meyakinkan Dinda kalau semua akan baik-baik saja.
"Tapi kapan, Qarira? Berkali-kali aku menanyakan ini, tapi mana hasilnya? Hanya airmata yang selalu mendominasi dalam hidupku!" Dinda memalingkan wajahnya, menatap seekor kumbang dan bunga yang sedang indah bermekaran di taman. "Marco bagiku hanya seperti seekor kumbang. Dia hanya datang padaku saat dia membutuhkanku, selebihnya dia akan mencampakkanku!"
Hubungan yang dibangun Dinda dan Marco memang bukanlah hubungan yang sebentar. Selalu ada pasang surut dalam hubungan mereka. Marco yang terlalu casanova dan Dinda dengan segala kepolosannya. Dua sisi yang sangat berbeda. Sejak pertama kali Qarira mendengar cerita tentang Marco dari Dinda, Qarira sudah merasa kalau Marco bukanlah lelaki yang tepat untuk dijadikan calon pendamping, tapi Dinda masih bersikeras dan bersikukuh kalau Marcolah lelaki itu, lelaki yang mampu membuatnya bahagia. Hari berganti hari, bulan berganti bulan ... Marco tetaplah Marco, lelaki yang tak henti-hentinya membuat Dinda menangis bahkan sampai hari ini.
"Dinda--"
"Hmm--"
"Tatap aku," ucap Qarira pelan. "Kita tidak tahu dengan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Mungkin saja dengan ini Marco bisa berubah. Mungkin dengan kehadiran bayi ini nanti, akan merubah segalanya. Kita tidak pernah tahu tapi kita bisa berharap. Berharap Marco mau mengakui kalau bayi yang ada di dalam kandunganmu sekarang adalah anaknya. Berharap dia bisa menerimamu seperti dulu lagi. Berharap kalian bisa bersama lagi, bisa sampai ke jenjang pernikahan dan bahagia sampai kakek nenek. Sungguh aku akan sangat berbahagia jika itu semua menjadi kenyataan, Din. Lihatlah, kalian sebenarnya pasangan yang serasi. Kamu cantik dan Marco pria yang tampan dan sekarang ditambah dengan seorang buah hati. Sungguh pemandangan yang indah, Dinda."
Dinda menarik kedua ujung bibirnya getir, "itu hanya sebuah harapan, Qarira. Bagaimana kalau malah yang sebaliknya terjadi? Marco menolak mentah-mentah dan dia mencampakkanku lagi?"
"Jangan pernah berfikir seperti itu, Din! Ayolah, kamu bisa menghadapinya. Aku tahu kamu wanita yang kuat. Aku tahu kamu bukan wanita yang lemah. Kamu sudah banyak melalui cobaan hidup selama ini. Aku yakin kamu bisa, Din! Allah selalu bersamamu, bersama kita semua." Qarira mengguncang-guncangkan bahu Dinda.
"Aku sudah lelah, Qarira. Aku benar-benar capek. Aku tak sanggup lagi. Semuanya begitu berat dan datang silih berganti." Dinda terisak lagi, menumpahkan lagi airmata yang tak bisa dibendung ke kedua pipinya. "Seandainya Marco tak menerima semua ini, aku akan---" Dinda menelan salivanya pelan.
"Akan apa, Din?" Qarira membulatkan kedua matanya sempurna, menatap nanar Dinda.
"AKU AKAN GUGURKAN KANDUNGAN INI!"
❤❤❤❤
Assalamualaikum
Ada yang masih setia menunggu?
Mudah-mudahan makin penasaran ya.
Jgn lupa di Vote, komen dan share ya cerita ini. See you soon readersku.Wassalam
DS. Yadi
KAMU SEDANG MEMBACA
SUJUD CINTA DI KOTA BERLIN (Completed)
RandomSiapkan hati untuk merenung, apa arti cinta dan keluarga. Qarira, gadis pengungsi dari Syria ingin menata dan memulai hidup baru di kota Berlin, Jerman. Akbar, pemuda rupawan blasteran Indonesia yang sekaligus seorang dokter kepala di RS terkenal di...