"SARAH!"
Sarah buru-buru menyelipkan pistol kecilnya ke dalam tas lalu menoleh. "CHRISTOPHER!"
"Apa yang sedang kamu lakukan disini?" tanya Christopher pada Sarah yang terlihat gugup.
Gadis itu mendelik. "Oh ak--aku salah masuk kamar. Aku sebenarnya mau menjenguk kakakmu!" Sarah berucap sambil menelan salivanya. Hampir saja ketauan, pikirnya. Buru-buru dia melempar senyum, senyum yang hambar dan dipaksa.
Christopher masih menatap tajam Sarah. "Aku pergi kalau begitu," pungkas Sarah seraya melangkah keluar kamar, tak mau kalau kehadirannya di kamar ini menciptakan sebuah kecurigaan.
Christopher hanya memandang kepergian Sarah tanpa berkata apa-apa, lalu menatap gadis yang terbaring di atas ranjang pasien itu. Tangan Christopher menjulur hendak menyentuh kepala Dinda saat gadis itu menggerakkan bibirnya dan mengerjap-ngerjapkan mata pelan.
"Dimana aku?" ucap Dinda lemah mencoba mengingat-ingat. Sinar matahari yang menerobos masuk melalui celah-celah retina memaksanya untuk memicingkan mata. Sebuah bayangan samar-samar dilihat Dinda. "Siapa kamu?" tanyanya lagi.
"Aku--," belum selesai Christopher berucap, kata-katanya sudah dipotong Dinda.
"KAMU LAGI!" pekik Dinda. Dia masih ingat wajah laki-laki tampan yang pernah menyelamatkan nyawanya dari tangan dua orang berandalan beberapa minggu yang lalu, apalagi ketika Dinda memandang tangan kekar penuh tatoo milik lelaki itu yang mengingatkan dia akan sosok Marco.
Pria rupawan yang memakai Polo shirt dan celana panjang dengan warna coklat muda itu tersenyum hangat menampilkan sederet gigi putihnya. "Maafkan aku sudah hampir membuatmu celaka," katanya pelan.
"Kenapa kamu selalu menyelamatkan nyawaku? Kenapa tak kamu biarkan aku mati saja?" ucap Dinda ketus memalingkan wajah. Matanya sudah berkaca-kaca.
"Apa maksudmu?" Christopher duduk disamping ranjang dan bertanya tak mengerti.
"Kamu masih ingat ketika kamu menyelamatkan aku beberapa minggu yang lalu dari dua orang berandal yang merampokku? Dan kini kamu menyelamatkan aku lagi."
Christopher mengernyitkan dahi, bagai terbangun dari tidur, kini dia mengingatnya kembali. Gadis dihadapannya kali ini adalah gadis yang sama yang diselamatkannya waktu itu.
"Tapi kali ini aku tidak menyelamatkanmu tapi aku menabrakmu."
"Sama saja! Aku berharap aku mati saja sekarang. Aku berharap ketika aku membuka mata, aku sudah jauh pergi dari dunia ini dan meninggalkan semua kesialan dalam hidupku! AKU MAU MATI SAJA!" Dinda mulai terisak. Tangisnya pecah tak terbendung. Beban yang dirasakan terasa semakin berat.
"Apa maksudmu, Nona? Kamu semestinya berterima kasih pada Tuhan karena dia masih memberimu kesempatan untuk hidup!"
"Aku sudah capek! Aku sudah lelah dengan hidupku! Aku mau mati saja!" kedua bibir pucat Dinda bergetar. Butir-butir airmata itu jatuh luruh di kedua pipinya.
Christopher mengambil sebuah tisu dari atas nakas lalu mengelap pipi Dinda pelan. "Maafkan aku dan tolong jangan menangis. Aku bisa menjelaskan semua yang sudah menimpamu."
"Kamu tidak perlu minta maaf. Aku tidak butuh penjelasanmu. Aku memang tak selayaknya untuk hidup! Aku pantas mati! Aku sudah tak berguna lagi. Hidupku sudah hancur!"
"Hey, jangan bicara seperti itu! Kamu masih diberi kesempatan untuk hidup. Itu artinya Tuhan masih sayang padamu. Kamu harus menggunakan kesempatan itu." Christopher menggenggam tangan Dinda erat, gadis itu malah menarik tangannya dan mengubah posisi tidur membelakangi Christopher.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUJUD CINTA DI KOTA BERLIN (Completed)
RandomSiapkan hati untuk merenung, apa arti cinta dan keluarga. Qarira, gadis pengungsi dari Syria ingin menata dan memulai hidup baru di kota Berlin, Jerman. Akbar, pemuda rupawan blasteran Indonesia yang sekaligus seorang dokter kepala di RS terkenal di...