Pinar menatap tajam manik Qarira, "Hallo Qarira, sayang sekali pesta pernikahanmu yang meriah ini harus berakhir tragis," katanya mencetak senyum miring. Ada sorot kemarahan di balik senyum gadis itu.
"Apa maksudmu, Pinar? Kenapa kamu menodongkan pistol itu padaku? Apa kesalahanku padamu?" Qarira bertanya tak mengerti. Pinar yang ia kenal dulu adalah gadis yang baik dan santun, juga rajin di sekolah, lain sekali dengan yang ia lihat sekarang.
"Ini bukan salahmu, TAPI DIA!" Pinar memberi tekanan pada suaranya dan menunjuk dengan geram Christian yang berdiri terpaku tak jauh dari mereka.
"Apa maksudmu, Nona? Aku tak mengerti. Aku baru pertama kali ini melihatmu." Christian menelan ludahnya. Baru pertama kali dalam hidupnya ia merasa takut, takut akan kehilangan Qarira. Sementara itu Christopher yang melihat dari kejauhan diam diam menelepon polisi.
"Tentu saja kamu tak akan pernah mengingatnya, Herr(Tuan) Christian Martin!"
"Jangan kau sakiti istriku, lebih baik kau bunuh aku saja!" bentak Christian menahan amarah.
"Aku tak akan membunuhmu, Christian. Tapi kamu akan merasakan betapa sakitnya saat melihat orang yang kamu cintai meregang nyawa di depan matamu!" butir-butir airmata menetes dari kelopak mata Pinar. Bibir gadis itu bergetar seraya mengelus perutnya.
Flashback on
Malam saat kecelakaan menimpa Christian
"Umar, banyak sekali makanan yang kamu pesan." Pinar menatap makanan di atas meja yang barusan di pesan Umar, calon suaminya. Ayam Tandoori, Naan (penganan berbentuk roti yang terbuat dari bahan dasar tepung ragi), dua piring Biryani (nasi yang dimasak dengan rempah-rempah India dan dikombinasikan dengan daging dan sayuran) serta beberapa menu lain yang memanjakan mata sudah tersaji di atas meja.
Pinar dan Umar sedang menikmati makan malam mereka di sebuah restauran India mewah di sebuah jalan besar di Potsdamer Platz. Sepasang muda-mudi ini terlihat begitu bahagia.
"Kamu sekarang kan nggak sendirian, jadi kamu harus makan yang banyak, sayang," ucap Umar sambil mengecup kening Pinar dan membelai perut gadis itu dengan sayang. lalu lelaki itu duduk berhadapan dengan Pinar. "Ayo dimakan, jangan bengong aja."
Keduanya pun menyantap hidangan itu, sesekali mereka tertawa bersama.
"Tinggal satu minggu lagi kamu akan menjadi istriku. Aku sangat berbahagia sekali, sayang." Umar menumpu dagunya menatap Pinar sang kekasih dengan intens. Lalu diambilnya sesendok Biryani dan menyuapkan pada gadis itu.
Pinar mengulas senyum menawan di wajah cantiknya. "Akupun begitu Umar. Setelah sekian lama kita memperjuangkan cinta kita, akhirnya kedua orangtua kita merestuinya. Hanya tinggal satu minggu lagi dan aku akan resmi menjadi istrimu."
"Aku sudah tidak sabar untuk membawamu pulang ke rumahku, sayang. Melihatmu setiap hari bersama anak-anak kita nanti."
"Kamu mau berapa anak, sayang?" tanya Pinar memperhatikan sosok pria di depannya dengan tatapan sayang.
"Aku mau--tiga!"
"Berarti kita masih harus bikin dua lagi dong!" Pinar tertawa renyah sembari menyuapkan sendoknya ke mulut Umar.
Setelah makan malam selesai, kedua orang ini pun meninggalkan restauran dan berjalan bergandengan tangan menyusuri Potsdamer Platz. Suasana jalan yang sudah terlihat sedikit lengang, sinar rembulan yang mengintip malu-malu dari balik awan hitam dan pantualan sinar lampu jalan menambah suasana begitu romantis.
"Sayang, tolong foto aku di sana ya!" Umar menunjuk sisa tembok Berlin yang berdiri kokoh di sebelah bangunan U-Bahnhof (stasiun kereta) Potsdamer Platz. Pria itu lalu melangkah ke arah tembok Berlin.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUJUD CINTA DI KOTA BERLIN (Completed)
RandomSiapkan hati untuk merenung, apa arti cinta dan keluarga. Qarira, gadis pengungsi dari Syria ingin menata dan memulai hidup baru di kota Berlin, Jerman. Akbar, pemuda rupawan blasteran Indonesia yang sekaligus seorang dokter kepala di RS terkenal di...