Qarira menyelinap pergi sebelum Tom memergokinya. Ia berlari sekencang mungkin dan sesekali menengok ke belakang untuk memastikan tidak ada orang yang melihat atau membuntutinya. Nafasnya tersengal turun naik dan keringat membasahi sekujur badan saat ia melompat masuk ke dalam lift yang membawanya ke stasiun U-Bahn. Tepat saat pintu lift terbuka, kereta datang dan Qarira langsung melesat ke dalam.
Qarira mengatur nafas, membetulkan letak hijabnya dan mengelap tetesan-tetesan bening di dahi. Dia tak menyangka sama sekali kalau Pak Richard, Pedro dan Sarah mempunyai sebuah hubungan, hubungan bisnis yang terlarang, pengedaran barang-barang narkotika. Dan mereka sepertinya sedang merencanakan sesuatu setelah kepergian Pedro. Terbukti Sarah sekarang mendapat kepercayaan oleh Pak Richard dengan diberikannya sebuah pistol. Ini sudah bukan main-main lagi, ini sudah sangat berbahaya, pikir Qarira dalam hati.
"Qarira!"
Qarira terhenyak sebentar sembari menahan nafas, dia takut kalau itu Pak Richard atau Pedro yang barusan memanggil namanya. Diputar kepalanya pelan-pelan menoleh, "Akbar!"
"Hi, maaf aku mengangetkanmu," sapa Akbar dengan sebuah senyum manisnya.
"Kamu kok tumben naik U-Bahn? Mobilmu dimana?" Qarira menatap lurus Akbar dengan heran.
"Oh--aku lagi malas nyetir. Kamu nampak seperti ketakutan tadi. Ist alles OK bei dir?" (apa semua baik-baik saja padamu)
"Ya tentu saja, aku tak apa-apa. Aku cuma nggak mau ketinggalan kereta saja, jadi aku sedikit berlari tadi dari tempat kerja," Qarira berusaha bersikap normal namun Akbar sepertinya tahu ada sesuatu yang tak biasa dengan Qarira.
"Sedikit olahraga malam, huh?" canda Akbar berusaha mencairkan suasana. Qarira melengkungkan kedua bibirnya. "Aku ikut berbela sungkawa atas kepergian Mama Christian, Qarira. Kadang-kadang hidup memang penuh dengan kejutan yang tak diinginkan kita. Tapi itulah, kita harus menerimanya dengan lapang dada," lanjutnya.
Qarira mengangguk pelan, memandangi wajah tampan. Akbar nampak gelisah. Wajahnya sedikit merah padam, beberapa kali ia menelan salivanya dan menatap tajam ke arah Qarira. Tak banyak penumpang di dalam gerbong itu, hanya beberapa anak muda dan seorang wanita paruh baya yang sedang sibuk berbicara di ponsel.
"Aku tahu ini bukan waktu dan tempat yang tepat untuk mengatakannya. Entah kenapa rasa itu mendorongku untuk mengatakannya padamu. Aku tak mau menahannya lagi. Aku mau kamu tahu tentang apa yang aku rasakan, Qarira. Dan aku berharap ini bukanlah mimpi semata kalau kau bertemu kamu malam ini."
"Kamu mau mengatakan apa, Akbar?" Qarira makin menatap Akbar lekat. Jantungnya berdetak lebih cepat, jauh lebih cepat daripada ketika ia berlari tadi.
"Saat pertama kali aku melihatmu pada waktu pameran itu, aku tahu aku sudah jatuh cinta padamu pada pandangan pertama. Aku berusaha menyangkalnya, tapi semakin lama aku menolak perasaan itu, maka semakin besar pula rasa itu datang. Setiap hari aku selalu mengingatmu. Mengingat saat pertama kita bertemu, mengingat bagaimana kamu tersenyum padaku, mengingat bagaimana kamu bertutur kata. Setiap hari aku merindukanmu. Aku pikir cinta pada pandangan pertama adalah mitos belaka. Tapi tidak, aku ternyata merasakannya terhadapmu. Mungkin aku hanya lelaki bodoh yang tidak punya pengalaman dengan apa yang namanya cinta, ya aku akui itu. Aku tak tahu bagaimana menarik seorang wanita, aku tak tahu bagaimana cara seorang pria mengungkapkan sebuah cinta. Aku nol tentang itu semua. Telah kulakukan berbagai cara untuk menarikmu, untuk mencari perhatianmu tapi sepertinya usahaku sia-sia belaka karena kamu sudah memiliki Christian."
"Akbar, kamu ngomong apa sih?" Qarira beringsut mendekat ke arah Akbar, ia merasa seperti ada yang tak beres dengan lelaki tampan di depannya ini.
"Mungkin kamu pikir aku cemburu pada Christian. Ya aku akui itu, aku cemburu padanya. Dia lelaki yang tampan, kaya dan pebisnis yang sukses. Sedang aku? Aku hanya seorang tenaga medis yang tak sebanding jika harus disandingkan dengan pekerjaan Christian. Christian punya segalanya, punya segala yang diidamkan wanita. Dia lelaki yang sempurna dan pasti dipuja banyak wanita. Kamu beruntung mendapatkannya, Qarira," Akbar mengatakan segala keresahan dalam hati dengan terbata-bata.
"Akbar, ini sepertinya bukan Akbar yang aku kenal sebelumnya. Dari mana kamu?" Qarira sedikit memajukan kepalanya dan mengendus-endus.
"Tak usah kamu pikirkan darimana aku. Yang jelas kamu harus tahu bahwa aku mencintaimu, Qarira. Aku merindukanmu!"
"Akbar, kamu terlalu banyak minum alkohol sepertinya!" Qarira melirik layar monitor kecil yang ada di ujung gerbong, tertera nama stasiun dimana ia harus turun. "Aku harus turun sekarang!" lanjutnya. Qarira berdiri dan melangkah pergi
"Maafkan aku, Qarira!" kata Akbar berusaha untuk menggapai Qarira yang berjalan menjauhinya yang berusaha berdiri dari tempat ia duduk dan sempoyongan.
Sebelum pintu kereta secara otomatis tertutup, Qarira masih mendengar Akbar meneriakinya, "AKU CINTA PADAMU, QARIRA!"
Qarira hanya menggeleng pelan dan memandangi kereta yang melaju pergi menjauh membawa Akbar yang sedang mabuk.
❤❤❤❤
"PEDRO MATI--PEDRO MATI, SAYANG!"
Sarah mengguncang-guncang tubuh setengah telanjang Marco pelan. Marco hanya menggeliat dan membuka satu matanya.
"Apa katamu?" Marco menyipitkan bola mata saat lampu kamar dinyalakan Sarah.
"Pedro sudah mati, sayang!" katanya lagi berbisik ke telinga Marco.
"Apa maksudmu?" Marco bangkit duduk lalu mengucek-ucek kedua matanya pelan dan menguap.
"Dia terbunuh tadi sore!" Sarah menyeringai memperhatikan dada bidang Marco yang penuh dengan tatoo.
"Bagaimana bisa, Sarah?" Marco membelalakkan mata sempurna.
"Ceritanya panjang, sayang," Sarah mengelus dada Marco lembut. "Insiden ini terjadi di sebuah cafe di pusat kota sore tadi, melibatkan kepolisian. Pedro melarikan diri dengan membawa seorang sandera dan terjadi insiden saling baku tembakyang menewaskan Pedro sendiri!"
"Lalu apa rencanamu sekarang?" tanya Marco sambil menelan ludah.
"Lihatlah ini!" Sarah mengambil pistol kecil pemberian Tom Richard padanya beberapa waktu lalu. Pistol itu berkilat diterpa sinar lampu.
"KAMU YANG MEMBUNUH PEDRO?"
"BUKAN BODOH! Pistol ini adalah pemberian Big Bossku. Tahu artinya itu?" Sarah mendekatkan bibirnya beberapa centi didepan wajah pria bertatoo itu. Marco hanya menggeleng pelan. "Artinya aku sekarang sudah menjadi tangan kanan Big Boss dan kita semakin dekat dengan tujuan!" seringainya penuh arti.
"Wow--selamat sayang!" Marco mendekap erat tubuh Sarah. Bau parfum langsung menyeruak masuk ke dalam hidugnya.
"TINGGAL BIG BOSS SAJA YANG HARUS KITA SINGKIRKAN!" Sarah menimang-nimang pistol di depan wajah Marco.
Marco meraih dagu Sarah. "Mari kita merayakan keberhasilan ini!" kata Marco sembari mengecup bibir merah wanita itu dan Sarah membalasnya dengan penuh nafsu.
Mereka melanjutkan malam itu dan merayakannya dengan minum minumal beralkohol serta menghisap serbuk putih yang dibakar di sebuah pipa sebelumnya.
Keesokan harinya tanpa disadari Sarah, Marco mengambil pistol itu dari dalam tas Sarah dan menyimpannya di bawah bantal tempat dimana ia tidur. "KAMU PUNYA RENCANA, AKUPUN MEMPUNYAI SEBUAH RENCANA!" desisnya pelan sambil memperhatikan tubuh polos Sarah yang sedang mandi dan sengaja membiarkan pintu kamar mandi terbuka.
❤❤❤❤
Assalamualaikum
Gimana kabar kalian? Mudah-mudahan semua baik-baik saja di PSBB ini.
Yang masih baca silahkan taburin bintang, komen dan boleh share cerita ini.
Wassalam
DS. Yadi
KAMU SEDANG MEMBACA
SUJUD CINTA DI KOTA BERLIN (Completed)
RandomSiapkan hati untuk merenung, apa arti cinta dan keluarga. Qarira, gadis pengungsi dari Syria ingin menata dan memulai hidup baru di kota Berlin, Jerman. Akbar, pemuda rupawan blasteran Indonesia yang sekaligus seorang dokter kepala di RS terkenal di...