Akbar's POV
Aku terpekur termangu melihat sosok gadis yang berdiri tak jauh dariku. Qarira sedang menangis terisak menyaksikan Christian yang terbaring tak berdaya di dalam ruang gawat darurat. Aku lihat dia benar-benar syok berat sampai-sampai tubuhnya bergetar. Sungguh aku tak ingin melihatnya menangis. Hatiku pedih menyaksikan ini semua. Siapa yang tak akan bersedih melihat gadis yang dicintainya menangis pilu? Termasuk aku sendiri.
Qarira ... gadis yang aku cintai lebih memilih pria lain. Pria yang mungkin mempunyai segalanya bagi seorang gadis seperti Qarira. Kejadian di depan Brandenburger Tor itu sudah mengatakan segalanya, bahwa Qarira mencintai Christian, bahwa Qarira dan Christian sudah mengikat janji untuk selalu bersama. Dan kini? Pria itu terbaring tak berdaya melawan maut. Haruskah aku senang? Atau haruskah aku ikut bersedih? Sungguh aku tak mengerti apa yang aku rasakan sekarang. Tapi yang jelas rasa sendu itu kembali menjalar dalam hatiku, di setiap centimeter tubuhku.
Aku berjalan perlahan mendekati Qarira, "Qarira--" sapaku pelan dan sangat hati-hati. Aku menyentuh bahunya dari belakang dengan lembut. Qarira sepertinya sedikit kaget. Dia mengusap kedua pipinya yang sudah basah dengan airmata. Sungguh aku tak sanggup menyaksikan Qarira menangis. Rasanya ingin kupeluk dia dan mengatakan bahwa masih ada aku disampingnya. Aku yang siap menjaganya jikalau sesuatu yang tak diinginkan terjadi pada Christian dan aku yang siap untuk mencintainya. Namun lidahku kelu dan tak mampu untuk mengatakannya.
"Es tut mir sehr leid, Qarira," ucapku sambil memegang erat tangannya, memberi sedikit kekuatan untuk Qarira, hanya itu yang sanggup aku katakan. Gadis itu menangis lagi. Oh Tuhan, sungguh hal seperti ini membuatku sakit. Hatiku bagai tertusuk sembilu melihat airmata yang mengalir dari kedua kelopak matanya.
"Aku sudah berusaha memberikan pertolongan yang terbaik pada Christian. Mungkin dia tidak akan bisa bertahan lagi. Kepalanya mengalami benturan yang keras dan pendarahannya terlalu banyak. Tim kami akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk memulihkannya. Mudah-mudahan Allah SWT bersama kita semua," lirihku sebenarnya tak sanggup untuk mengatakan ini semua pada Qarira.
Kesempatan hidup Christian sekarang ini sangatlah kecil. Dia mempunyai luka kepala yang sangat parah dan sudah terlalu banyak kehilangan darah. Hanya dengan mukjizat Tuhan saja dia mampu diselamatkan. Kami para dokter yang ada di sini sebenarnya sudah sangat pesimis dengan kondisinya. Tapi aku harus tetap terlihat normal agar Qarira tak menjadi panik. Melihatnya menangis saja sudah sangat membuat hatiku sedih tak tertahan, apalagi kalau sampai harus mengatakan kalau Christian sudah tak bisa ditolong lagi ... sungguh aku tak sanggup.
"Christian--" ucap Qarira pelan membekap mulut dengan kedua tangannya. Tangisnya makin kencang. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan untuk menguatkannya? Beri aku petunjuk-Mu ya Allah!
Tubuh Qarira bergetar lebih hebat karena tangisan dan oleng beberapa saat kemudian namun aku berhasil menahannya. Kudekap tubuh mungil gadis itu. Hatiku benar-benar tersayat melihatnya bersedih.
"Menangislah kalau itu membuatmu lebih baik," suaraku ikut bergetar. Perasaan yang aku tahan sepertinya tak lama lagi akan luruh juga. Airmata sudah menggenang di kedua kelopak mataku. Sungguh aku sudah tak mampu lagi menahannya.
"Bagaimana kalau Christian tak dapat diselamatkan, Akbar?" Qarira berkata sambil menangis di dadaku. Kurasakan detak jantungnya yang tak beraturan dan isaknya yang terkadang tertahan. Sungguh aku takut jika Qarira menanyakan sesuatu yang lebih buruk lagi, apa yang mesti aku jawab?
"Jangan ngomong seperti itu. Hidup mati manusia semua ada di tangan-Nya. Kita sebagai hamba-Nya hanya mampu berpasrah dan memohon yang terbaik. Mudah-mudahan Christian bisa melewatinya dengan baik. Kita harus berdoa sama-sama," aku berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan Qarira meski dalam hati gemuruh pilu melanda.
"Ya Allah ya Rabbi, tolong selamatkan nyawa Christian. Aku tak mau kehilangan dia. Aku mencintainya, ya Allah. Aku mohon pada-Mu."
Ucapan Qarira itu benar-benar seperti pisau yang menancap tepat ke arah jantungku. Perih rasanya mendengar dia mengatakan kalau dia mencintai Christian. Seperti karang es aku diam termangu dan tak terasa air mataku pun jatuh menetes, di depan gadis yang aku cintai. Hatiku bukan patah menjadi dua lagi tapi hancur berkeping-keping. Kenyataan yang harus aku terima sangatlah menyakitkan ... gadis yang aku cintai mengatakan cintanya pada pria lain di depanku untuk yang kedua kalinya.
"Berdoa dan bersabarlah. Semoga ada mukjizat dari Allah," kataku pelan menahan tangis sambil membelai kepala Qarira beberapa kali dan menciumnya.
Pikiranku terbang jauh melayang membayangkan seandainya Qarira adalah kekasih hatiku. Tak akan mungkin dia merasakan kesedihan yang teramat menyakitkan seperti hari ini, harus menyaksikan kekasihnya terbaring tak berdaya di ruang gawat darurat. Seandainya aku lebih cepat mengenalnya dan lebih cepat mengatakan perasaan cintaku padanya, pasti semua ini tak akan menimpanya. Tak mungkin ada airmata yang harus ia keluarkan, dan tak mungkin hatiku juga tersakiti karenanya. Kesedihan Qarira adalah juga kesedihanku tapi kesedihanku menjadi jauh lebih besar dan berlipat ganda karena dia mencintai pria lain, pria yang kini harus aku selamatkan nyawanya. Pria penyebab awal luka di hatiku. Pria yang seharusnya menjadi pesaingku. Pria yang seharusnya tak perlu aku tolong ... pria yang seharusnya aku biarkan mati.
BIIP ... BIIPP
Suara bazzer itu membuyarkan segala lamunan gilaku. Beberapa dokter sudah berlarian ke arah ruang gawat darurat dimana Christian berada. Akupun berlari meninggalkan Qarira yang masih menangis tanpa sempat mengatakan apa-apa lagi.
❤❤❤❤
Qarira masih bersimpuh dan bersimbah airmata. Matanya sudah sembab. Tubuhnya lemas tak bertenaga. Bibirnya kering seperti tak minum seharian. Wajahnya benar-benar pucat. Perasaan takut kehilangan menyeruak kembali dalam pikirannya. Yusuf suaminya yang menjadi korban peperangan dan tak tahu bagaimana nasibnya bagai hilang ditelan bumi dan kini Christian yang terbaring terbujur tak berdaya meregang nyawa di depan matanya. Sungguh Qarira belum sanggup untuk menghadapi semua ini. Peristiwa demi peristiwa datang silih berganti begitu cepat dan kini ia harus menghadapi kenyataan kalau Christian benar-benar di ujung maut. Qarira masih mengharapkan sebuah keajaiban terjadi meski itu mungkin jarang terjadi. Tapi apa salahnya menggantungkan setitik harapan kecil daripada harus menyerah begitu saja. Benar kata Akbar, hidup mati manusia ada di tangan Allah SWT, siapapun tak akan tahu apa yang bakalan terjadi pada hari ini, esok dan masa yang akan datang. Setiap harapan adalah sebuah doa.
"Allahumma rabban naasi, adzhibil ba'sa. Isyfi. Antas syaafi. Laa syaafifa illaa anta syifaa'an laa yughaadiru saqaman," lirih Qarira sambil memejamkan mata, berdoa dengan khusyu' meminta kesembuhan Christian pada sang Illahi.
Seorang wanita memakai jubah putih yang terlihat kotor oleh beberapa bercak merah pekat berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Qarira. Dia berhenti tepat di depan Qarira, berjongkok lalu menentuh pundak Qarira pelan. Qarira membuka matanya.
"Apa yang terjadi, Dok?" tanya Qarira tak sabar dengan membulatkan matanya sempurna.
"Anda diharap untuk datang ke kamar jenazah sekarang!"
Qarira tercekat tak mengeluarkan suara. Dunia seolah runtuh seketika. Hanya airmatanya saja yang mampu menjelaskan apa yang dia rasakan sekarang.
❤❤❤❤
Assalamualaikum
Kira-kira apa yang terjadi berikutnya?
Yang penasaran tunggu part berikutnya yaa...Yang udah baca sampai part ini, tolong kasi komen, masukan dan kritik dong disini! Aku tunggu ya soalnya ceritanya udah separuh jalan❤ jadi aku tahu siapa saja yang baca ceritaku ini❤
Wassalam
DS. Yadi
KAMU SEDANG MEMBACA
SUJUD CINTA DI KOTA BERLIN (Completed)
DiversosSiapkan hati untuk merenung, apa arti cinta dan keluarga. Qarira, gadis pengungsi dari Syria ingin menata dan memulai hidup baru di kota Berlin, Jerman. Akbar, pemuda rupawan blasteran Indonesia yang sekaligus seorang dokter kepala di RS terkenal di...