Duka (2)

427 32 7
                                    

"JENNY! KENAPA KAMU PERGI SECEPAT INI? KENAPA?" tubuh pria paruh baya itu bergetar hebat. Tangisnya terdengar begitu memilukan. Tubuh Jenny yang sudah sebagian ditutup dengan kain berwarna putih diguncang-guncangkan. Jenny tak bergerak. Tubuh pucat pasi itu sudah tak bernyawa, meninggalkan jasadnya ketika dalam perjalanan ke rumah sakit.

"Maafkan aku, Jenny. Maafkan aku tak bisa berada di sampingmu! Maafkan aku tak bisa menjagamu!" pria itu seperti menyesali atas apa yang telah terjadi. Diciuminya wajah Jenny yang sudah mulai membiru berkali-kali.

"Aku tahu aku sudah membuat kesalahan padamu. Meninggalkanmu saat kau benar-benar sedang membutuhkan kehadiranku. Aku memang terlalu egois saat itu. Aku hanya memikirkan diriku sendiri. Aku tak pernah menghiraukan perasaanmu, perasaan anak-anak. Sungguh aku sangat menyesal, Jenny!" tangis pria itu semakin menjadi. Dipeluknya erat tubuh Jenny.

Pria paruh baya itu mengusap kasar wajahnya, "aku berjanji akan menjaga buah hati kita. Menjaganya untukmu, menebus dosa-dosaku padamu. Maafkan aku, Jenny--maafkan."

Matanya menatap lekat raut wajah Jenny, menerbangkan kembali ingatannya ke beberapa tahun yang lalu ...

Flashback on

TOK TOK TOK

Seorang wanita menggandeng dua anak laki-laki dengan wajah yang gelisah mengetuk pintu dengan pelan. Tak berapa lama seorang pria membukakan pintu dan menatap mereka dengan tatapan tak suka.

"Mau apa kamu kesini?" bentak pria itu dengan ketus.

"Hallo Papa," sapa kedua anak kecil itu bersamaan. Yang disapa hanya memandang datar tanpa ekspresi.

"Störe ich dich?"  (apa aku mengganggumu) Jenny menggengam erat tangan kedua anaknya.

"Ya, aku sedang sibuk!" pria itu sudah mau menutup pintu kembali tapi Jenny menahannya.

"Aku mohon, aku butuh pertolonganmu!" pinta Jenny menghiba.

"Bantuan apa lagi? Tak bisa kamu membiarkan aku hidup tenang? Kamu selalu merecoki hidupku!" jawab pria itu berang.

"Aku mohon sekali ini saja. Setelah itu aku tak akan datang lagi dalam kehidupanmu," kata Jenny dengan mata yang berkaca-kaca.

"Mama, Papa ... ist alles ok?"  (apa semua baik-baik saja) ucap salah satu anak kecil itu memandang papa dan mamanya bergantian. Jenny mengelus rambutnya, "alles gut, schatz,"  (semuanya baik-baik saja) lirih Jenny.

"Apa maumu, Jen?" sorot mata laki-laki itu menghujam tepat ke manik Jenny.

"Aku--aku mau menitipkan Christian padamu," kata Jenny terbata-bata.

"Apa katamu? Menitipkan Christian padaku? Yang benar saja?" pria itu membuang muka, menarik nafas dan membuangnya kasar.

"Aku mohon padamu, saat ini aku benar-benar sedang kesusahan. Aku baru saja kehilangan pekerjaan. Aku tak mampu membiayai semua kehidupan kami."

"Jika kamu tak punya pekerjaan, bukankah pemerintah akan membantumu? jangan suka mengada-ada kamu, Jen!"

"Aku tahu, tapi itu tak cukup. Aku mohon padamu, Christian juga anakmu!" kata Jenny yang kini membiarkan airmatanya luruh kebawah.

"Mama ... warum weinst du?" (kenapa kamu menangis) anak kecil yang satunya memeluk pinggang Jenny.

"Kau kan masih punya orang tua dan mereka punya uang!" nada tinggi pria itu membuat Jenny merapatkan pelukannya pada kedua putranya.

"Kamu belum tahu, ayah dan ibuku sudah meninggal beberapa tahun yang lalu dan mereka tak meninggalkan apa-apa untukku. Semuanya harus disita pihak kepolisian, mereka terlibat banyak hutang."

SUJUD CINTA DI KOTA BERLIN (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang