58. Berniat Untuk Pergi

6.1K 313 15
                                    

Setelah insiden sesak napas Abidzar, Aliya yang pergi dari rumah sakit tempat sang anak dirawat datang ke rumah keluarga Agra untuk menemui Raisa. Dia tidak peduli jika dia harus bertemu dengan Rani, karena dia sangat butuh berbicara dengan Raisa sekarang.

Aliya memencet bel rumah mewah itu seraya mengucapkan salam.

Tak lama kemudian, Bi Asri membukakan pintu untuknya. Dan betapa terkejutnya wanita paruh baya itu saat melihat Aliya telah berdiri di hadapannya.

"Waalaikumsalam. Masya Allah, Non Aliya? Ini beneran Non Aliya, kan?" tanya Bi Asri.

Aliya mengangguk dan memaksakan diri untuk tersenyum. "Iya, Bi."

Bi Asri kemudian mempersilakan Aliya untuk masuk dan Aliya memberitahukan kalau dia ingin bertemu dengan Raisa. Dengan cepat Bi Asri memanggil Raisa lalu pergi ke dapur untuk membuatkan minuman dan cemilan.

Tak lama kemudian, Raisa datang dan duduk di sofa.

"Tante Rani mana, Kak? Kok nggak keliatan?" tanya Aliya.

"Oh itu, mama lagi liburan sama temen-temennya," ucap Raisa.

Aliya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai respon ucapan Raisa.

"Astaghfirullah, kenapa muka kamu pucat kayak gitu?" tanya Raisa saat dia melihat wajah Aliya yang sudah sangat tidak karuan.

"Kalo tetep di penjara, aku nggak bakal kayak gini," ucap Aliya yang mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.

"Jangan ngomong kayak gitu. Tapi, kenapa kamu nggak pulang ke rumah kamu dan malah ke sini?"

"Kalo aku pulang dengan keadaan kayak gini, Bunda pasti bakal khawatir." Aliya masih menundukkan kepalanya.

Setelah itu, hening sejenak tanpa ada obrolan apa-apa di antara mereka. Sampai akhirnya, Aliya mengangkat kepalanya dan kembali berbicara. Mata gadis itu juga telah berkaca-kaca.

"Kak Raisa, kayaknya aku bebas dari penjara bukan suatu penghargaan. Ini hukuman buat aku. Karena aku kembali, semuanya jadi menderita dan keadaan jadi kacau," ucap Aliya.

Selama ini memang dia sangat tegar, tetapi di balik ketegarannya itu tersimpan kerapuhan. Dan saat ini Aliya sudah sampai di titik batas kekuatannya yang paling akhir. Selama ini dia mengikhlaskan semua penderitaan yang terjadi padanya, tapi hari ini dia menyadari kalau cobaannya itu sangatlah berat. Untuk pertama kalinya dia merasa tak terima atas segala sesuatu yang sudah menimpa dirinya.

"Ada masalah apa lagi?" tanya Raisa.

Aliya menghela napasnya. Lalu menceritakan semua sudah yang terjadi.

"Seharusnya aku nggak usah keluar dari penjara," ucap Aliya mengakhiri ceritanya.

"Ini bukan kehendak kamu. Kamu juga ketahuan gara-gara nggak sengaja," ucap Raisa.

"Setiap orang-orang ngeliat aku, mereka selalu aja nangis, khawatir, dan menghela napas. Nggak ada yang ketawa ngeliat aku, semuanya menderita gara-gara aku," ucap Aliya. Sekarang dia sampai pada fase di mana dia menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang telah terjadi.

"Semua manusia pasti kayak gitu. Mereka lebih mikirin besok daripada hari ini, banyak pikiran, selalu menghela napas, dan banyak penyesalan. Kita semua cuma perlu menjalani hidup ini, seolah-olah ini hari terakhir kita," ucap Raisa.

"Itu sebabnya aku datang ke sini buat pamit sama Kakak."

"Kamu pamit ... Emangnya kamu mau pergi kemana?"

"Ke tempat di mana aku nggak bakal ketemu sama Abidzar lagi."

Raisa tiba-tiba sangat frustasi mendengar itu. "Apa maksud kamu? Kamu bakal pergi? Nggak boleh, Aliya. Kamu baru aja mulai hidup baru dan mulai ngerasa bahagia ... Nggak. Kamu nggak boleh pergi."

Kiblat Cinta [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang