61. Menahan Diri

5.6K 271 12
                                    

Hari ini adalah hari di mana kontes modelling diselenggarakan. Aliya dan teman-temannya yang lain tengah berada di belakang panggung, menunggu giliran mereka tampil.

Mereka semua terlihat sangat cantik dengan pakaian yang akan mereka peragakan. Sedangkan Aliya, dia hanya berharap semoga dia tidak lupa bagaimana caranya berjalan di atas catwalk. Wanita itu berdoa semoga dia tidak mengecewakan orang-orang yang sudah mendukungnya.

Satu per satu para gadis cantik itu naik ke atas panggung dan berlenggak-lenggok di sana saat giliran mereka tiba, begitu juga dengan Aliya yang berhasil memukau orang-orang dengan busana yang dia gunakan dan kepiawaiannya melangkah menyusuri setiap sudut panggung.

Kini tugas mereka semua telah selesai, dan mereka tinggal menunggu pengumuman pemenang dari kontes itu.

"Alhamdulillah, aku lega banget udah bisa membawakan ini dengan baik," ucap Aliya.

Tiba-tiba seorang wanita bertubuh proporsional bak model profesional berjalan ke arahnya dengan mata yang merah dan air mata yang telah menggenang di pelupuk matanya.

Aliya yang melihat wanita itu tidak bisa membendung keterkejutannya. Kenapa dia bisa bertemu dengannya di sini? Apa ini yang namanya takdir?

Aliya ingin pergi dan menjauh dari wanita yang tak lain adalah Dhea, tetapi gadis itu menahannya.

"Tunggu, Aliya! Ada yang mau aku bicarain sama kamu," ucap Dhea.

Mereka berdua kemudian pergi ke sebuah cafe yang ada di dalam gedung yang sama dan duduk berhadapan. Dhea menatap lekat ke arah Aliya, sedangkan gadis itu duduk dengan menundukkan kepalanya.

"Kamu kenapa bisa ada di sini?" tanya Aliya dengan suara pelan bahkan nyaris tak terdengar.

"Kenapa kamu pergi dan ngilang gitu aja, Aliya?" tanya Dhea.

Aliya menghela napasnya mendengar pertanyaan Dhea, dia sudah menduga bahwa Dhea pasti akan menanyakan hal itu.

"Maaf, maafin aku," ucap Aliya dengan senantiasa menundukkan kepalanya.

"Kenapa kamu minta maaf? Karena udah ninggalin anak kamu? Atau karena udah bikin Agra hancur?"

"Semuanya. Maaf atas semuanya."

"Kalo kamu terus minta maaf sama aku, apa yang bisa aku lakuin? Kamu seharusnya minta maaf langsung sama Agra. Tapi kenapa kamu minta maaf mulu?" tanya Dhea.

Aliya mengangkat kepalanya dan memberanikan diri untuk menatap mata Dhea kemudian menarik napasnya dalam-dalam.

"Karena aku bersyukur, aku berterima kasih buat semuanya. Karena itu aku cuma pengen diam-diam ngeliat Abidzar dan pergi," ucap Aliya.

"Kamu cuma pengen ngeliat Abidzar? Apa itu mungkin? Apa itu cukup?" tanya Dhea.

"Buat aku, bisa ngeliat dia aja itu udah cukup."

"Aliya, kalo kamu menahan diri karena aku ... Kamu buang-buang waktu. Karena aku nggak pernah ada dalam kisah cinta Agra. Kisah cinta dia bakal selalu jadi milik Aliya dan cuma jadi milik Aliya," ucap Dhea berusaha menyunggingkan senyum dari bibirnya.

"Aku menahan diri bukan karena kamu, Dhea. Ini karena Abidzar yang bikin aku berhenti. Setiap hari aku pengen ngelanggar janji aku dan menemui anakku. Tapi gimana kalo sesuatu yang lebih berbahaya terjadi sama dia lagi? Itu yang menakuti aku dan bikin aku berhenti. Setiap hari aku berdoa buat hidup dia dan setiap hari aku hancur sedikit demi sedikit ...," lirih Aliya.

"Maksud kamu apa?"

"Ada janji yang harus aku tepati. Aku berjanji sama Tuhan kalo aku nggak akan pernah muncul di hadapan Abidzar, tapi waktu itu setelah aku keluar dari penjara aku sama sekali nggak bisa menahan itu. Aku muncul di hadapannya, menemui dia, memeluk dia, dan main sama dia. Tapi dia hampir celaka gara-gara aku. Karena kesalahan aku, anakku yang harus menanggung hukumannya. Dan aku nggak sanggup kalo harus melihat itu terjadi lagi."

"Jadi, kamu ninggalin dia supaya dia bisa tetap hidup dengan bahagia?"

Aliya mengangguk. "Jujur aku juga nggak tahan ngeliat Agra terus diselimuti rasa bersalah dan menderita gara-gara aku, jadi aku pengen ngelakuin apa pun yang aku bisa. Tapi ada satu hal yang pengen aku kasih tau sama kamu. I love Agra, Dhea. Aku akan tetap selalu mencintai dia. Tapi aku nggak akan pernah bisa jadi milik dia lagi."

"Kenapa nggak bisa? Kalian tinggal menikah lagi dan semuanya selesai, nggak usah pikirin aku," ucap Dhea.

"Sebagai seorang Muslim, ketika aku udah berpisah dengan suami aku maka aku nggak bisa rujuk lagi sama dia. Kecuali aku menikah sama orang lain dulu."

"Kalo gitu kamu tinggal bayar orang buat nikah sama kamu, right?"

"Sayangnya pernikahan itu bukan sesuatu yang bisa dipermainkan. Sebagai manusia kita nggak bisa menikah lalu cerai gitu aja tanpa ada alasan yang signifikan apalagi cuma supaya kita bisa rujuk sama mantan suami kita. Kalo kita kayak gitu, nggak ada bedanya kita sama binatang."

Dhea berusaha menahan air matanya agar tidak terjatuh. "It's not fair. Ini nggak adil buat kamu, Aliya."

"Dhea, kita semua di sini sama-sama terluka. Aku, kamu, Agra, bahkan Abidzar juga. Aku udah melukai Agra sampai bikin dia jadi kaktus berduri. Di satu sisi kamu memeluk dia dan tanpa sadar kamu terluka. Tapi, kamu adalah seseorang yang paling Abidzar sayang. Aku lega banget, sekaligus berterima kasih karena kamu sudah hadir sebagai seorang ibu buat Abidzar. Itu yang aku pikirin setiap hari."

Tanpa sadar air mata Dhea menetes begitu saja saat mendengar penuturan Aliya.

"Apa kamu bisa kembali? Apa ada cara lain supaya kamu bisa tetap memeluk Abidzar?" tanya Dhea.

"Nggak ada. Setelah tau semua ini ... Apa yang harus dilakukan tergantung sama kamu," ucap Aliya.

Dhea langsung memeluk Aliya dan menangis di pelukannya.

"Makasih karena selama ini kamu nggak pernah benci sama aku. Aku seneng banget karena kamu adalah ibu kandungnya Abidzar, aku juga seneng ketemu sama kamu. Kamu boleh menikmati hidup kamu, Aliya. Jangan terlalu mengkhawatirkan Abidzar, aku bakal ngelindungin dia dengan sepenuh hati aku," ucapnya di dalam pelukan Aliya.

Aliya mengelus pundak Dhea. "Terima kasih, Dhea. Terima kasih banyak. Tolong kamu jaga mereka demi aku, ya."

Dhea mengangguk, setelah itu dia dan Aliya pergi dari sana karena tim sudah memanggil mereka untuk segera pergi mendekat ke arah panggung karena pengumuman pemenang akan segera dilaksanakan.

Semua orang menanti pengumuman itu dengan dada berdebar, termasuk Aliya. Hingga akhirnya, dia dan teman-temannya merasa sangat bahagia dan lega karena bisa menyabet tiga penghargaan sekaligus dari ajang itu. Tentunya itu adalah pencapaian terbesar bagi Aliya dalam karirnya selama ini.

Gadis itu pergi tanpa membawa uang sepeser pun dan meminta sedikit modal pada Sandy untuk memulai usahanya, tetapi benar kata orang bahwa rezeki tidak akan pernah tertukar dan roda kehidupan akan selalu berputar.

Aliya pernah berada pada titik terendah kehidupannya, itu dia alami saat dirinya menjadi seorang tahanan. Saat itu, Aliya merasa bahwa dia sudah tidak punya harga diri sama sekali dan namanya telah dicap buruk oleh orang-orang. Tetapi sekarang, Allah memberikan kejutan yang tidak diduga-duga kepadanya.

Tetapi walaupun seperti itu, Aliya tidak benar-benar bahagia. Karena kebahagiaannya yang sesungguhnya ada pada sang putra. Seumur hidup dia tidak akan pernah bisa bertemu dengan putranya lagi, dan harus bisa merelakan bahwa Abidzar tidak tahu bahwa ibu kandungnya itu hidup dan pernah ada di dalam hidup putranya. Meskipun kehadirannya saat itu malah membuat Abidzar celaka, tetapi Aliya bersyukur karena pernah menyentuh putranya.

Setelah acara itu berakhir, Aliya dan teman-temannya langsung pergi ke villa untuk mengemas barang-barang mereka. Karena besok subuh, mereka harus kembali ke Indonesia.

***

Bersambung...

Kiblat Cinta [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang