30. Sahabatku Hatersku🍂

518 61 4
                                    

—Salam Literasi—

-&-

Jangan pernah berdalih menyampaikan pendapat jika niat sebenarnya menjatuhkan.

-&-


   "Maaf, Nay. Kemarin gue lupa," ujar Lian di ruang OSIS. Mendengar hal itu gadis itu menganga kecewa, terlihat dari sudut bibirnya yang ditarik ke bawah.

   "Lo sih, udah gue bilangin juga," pasrah Naya menjadikan tangan sebagai tumpuan wajah.

   "Namanya juga orang lupa, Nay," sahut Bian tanpa mengalihkan perhatian dari gadget dalam genggamannya itu.

   Naya pun mengangguk, dia tidak ingin menyalahkan Lian sepenuhnya. Benar kata Bian manusia juga bisa lupa, bukan?!

   "Kak ...! Kak ...!" teriak Setya sudah terdengar sebelum ia masuk ke ruangan.

   Anggota OSIS yang lagi nyantai itu pun berkesigap, mereka langsung menatap Setya yang masih mengatur napas ngos-ngosan.

   Cowok itu memberitahu ada kejadian yang sangat memprihatinkan di mading sekolah. "Apaan, Set. Ngomong yang jelas!!"

   "Lo lihat sendiri aja, Bang. Gue nggak berani ngomong takut salah kata," jawabnya mengembuskan napas gusar.

   Mereka langsung ke lantai dua untuk memeriksa mading yang tadi disebutkan Setya.

   Gerombolan murid SMA Dewantara memenuhi kerumunan di depan mading, saat mereka menuju ke sini hampit setiap koridor yang mereka lalui pasti ada tatapan nyalang dari murid lain.

   Lian langsung sampai di depan mading, begitu juga dengan OSIS yang lain. Betapa kagetnya saat melihat sebuah berita dan foto salah satu anggotanya sedang menegak sebotol minuman keras.

    "OMG! Rian ....," lirih Resha tidak bisa berkata-kata, gadis dengan rambut pirang itu mundur.

    "Njir, pantes tuh anak kagak nongol batang idungnya," celetuk Bian diangguki Lian.

   Lian segera mencari keberadaan Rian, tapi hasilnya nihil. Rian tidak masuk sekolah.

   "Rian membuat OSIS semakin buruk di mata mereka, wahh siap nambah haters nih," bisik Naya. "Ini bukan saatnya menyalahkan, Nay."

   "Iya, Bellova Syakila," katanya kemudian kembali ke kelas masing-masing setelah pak Rangga mengobrak semua anak agar masuk kelas kembali.

   "Jasnya cuman kebanggaan palsu."

   "Ikrar mereka pas pelantikan OSIS menjaga nama baik almamater, eh sekarang mereka sendiri yang merusaknya."

   "Fuck to OSIS SMA Dewantara."

   "Jika tidak bisa mengharumkan, setidaknya jangan mencemarkan."

   Cacian demi cacian itu terus terlontar dari mulut mereka, bahkan tanpa ragu mereka terus menyalahkan OSIS untuk semua yang terjadi. Ibarat satu salah, semua yang kena.

   Mental mereka sudah terlatih, seluruh OSIS mengabaikan ujaran-ujaran itu. Lebih memilih fokus menyelesaikan masalah daripada meladeni ucapan mereka.

   Sesampainya di ruang kelas, Naya melihat semua diam. Ternyata teman-teman OSIS yang sekelas dengannya belum masuk, Naya langsung menuju tempat duduknya seakan tidak terjadi apa-apa.

   "Nyali lo kuat juga! Udah dimusuhin seantero sekolah, tanggapan lo malah biasa aja." Terdengar suara cemohan dari belakang bangkunya, Naya masih mendiamkan. Ingat kata teman-teman OSIS-nya mari kita bungkam mereka dengan tindakan, sampai riuh suara tepuk tangan terdengar.

   "Temennya aja gitu, masak dia enggak? Percuma lo pada masuk OSIS, tujuan kalian buat nyari popularitas doang!" serunya lagi dari anak kelas di ujung sana.

   "OSIS kita terlalu bangsat, sesat! Sesat."

    Telinga Naya mulai panas, mereka didiamkan malah ngelunjak. Naya memejamkan mata sejenak berusaha untuk menyabarkan diri, katanya kelas ini kelasnya anak emas. Namun, apa? Akhlaknya minim mudah menelan kabar mentah-mentah.

   "Lo pada ada masalah apa sebenarnya? Kita itu manusia bukan malaikat, wajar jika kita melakukan kesalahan dan lo pada udah kayak iblis tahu nggak! Bukan malah nyari kebenaran malah nyari celah untuk menjatuhkan," tukas Naya dengan wajah yang merah padam. "Kalau ada yang salah sama diri kita tolong salahkan aja kita! Jangan bawa-bawa nama OSIS," tambahnya lagi.

   "Bagus, bagus! Lanjutkan pembelaan lo dan gue dengan cacian, gitu, 'kan yang lo maksud. Padahal anak-anak cuman mempertanyakan pelajaran apa yang lo dapet di OSIS sampai salah satu dari kalian mencemarkan nama sekolah," sahut Faira, sepertinya dia menjadi pelopor haters di kelas ini. Terlihat sejak tadi dia yang memulai dan memanas-manasi kelas.

   "Lo anggap kita salah, 'kan? Makanya lihat diri lo dulu sebelum menyalahkan orang lain. Anak-anak hanya menyampaikan unek-uneknya dan OSIS nganggep itu cacian?" Kini Bening juga ikut nimbrung.

   "Jangan pernah berdalih menyampaikan pendapat jika niat sebenarnya menjatuhkan," sahut Naya dengan suara tinggi membuat semuanya terkejut.

   "Enak, ya jadi OSIS dia bisa melanggar dan melakukan apapun yang ia suka, sedangkan kita bro ... kita bagaikan rakyat jelata di bawah pemerintahan OSIS. OSIS selalu benar dan kita selalu salah!!" sahut Angkasa berdiri.

   "Ckck, gue nggak pernah berpikir kalian akan jadi seperti ini!" seru Naya seakan jijik dengan tindakan anak kelas.

   "Dan kita juga nggak pernah berpikir kalau OSIS yang kata guru jadikan panutan, malah mencemarkan nama sekolah."

   "Lo ...." Ucapan Naya berhenti ketika mendengar suara tegas milik Lian.

    "Udah, stop, Naya. Ikut gue ke ruang OSIS ada bu Cahya di sana," kata Lian berhasil menghentikan perdebatan itu. Naya mengangguk, tapi masih menatap mereka dengan tatapan tajam. Bisa-bisanya sebuah kelas yang seperti keluarga baginya malah menjatuhkan dengan sangat dalam.

    Setiap koridor, mereka masih mendapat tatapan yang kurang mengenakan.

   "Apa lo liat-liat! Mau mata lo bintitan?" tanya Naya jengah dengan mereka semua, sangat menyebalkan.

   "Anaya," panggilan Lian membuatnya mengembuskan napas kasar, Lian sama sekali tidak mempedulikan mereka. "Udah jangan respon mereka."

   "Gue sebel sama mereka, pengen gue colok matanya," kesal Naya seakan ingin meremas dan memasukkan mereka ke kaleng. "Sabar."

   "Mana bisa sabar kalau mereka udah kelewat batas!" Naya berjalan sedikit di belakang Lian.
.
.
.
.

—Next—

AULIANAYA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang