54. Bersatu🍂

555 64 2
                                    

—Salam Literasi—

-&-

Kamu itu istimewa, tanpa berbicara saja dapat memberikan harapan baru untukku.

-&-


"Assalamualaikum, YanYan eh Aulian," katanya terkekeh kemudian duduk di samping ranjang cowok itu. Dia datang bersama Feila dan Bian. "Waalaikum salam."

"Gimana kabar lo?" tanya Bian membuat Lian mengangguk seakan mengatakan dia baik-baik saja. "Besok lo ikut acara nggak?!"

Naya membulatkan mata, "woi! Jangan ngada-ngada lo." Gadis itu takut Lian nekad ikut acara.

"Kata dokter lo kenapa, Yan?" timbrung Feila mengalihkan pembicaraan.

Lian mengerjapkan mata, "Demam dan kecapekan doang."

"Jangan boong?!"

"Udah gue bilang Anaya Bestari gue nggak pernah boong sama lo."

Melihat tatapan gemas Lian, Feila dan Bian terkekeh sendiri. "Cie, udah mulai suka-sukaan nih!"

Mereka berdua terkekeh melihat Lian dan Naya salting sendiri, mereka mengalihkan pandangan satu sama lain. 

Tak berapa lama, Lian meminta Bian dan Feila keluar dari ruangannya. Dia ingin mengobrol dengan Naya sebentar.

Lian terlihat lebih baik dari kemarin, saat dia dibawa ke rumah sakit, agak mendingan.

"Naya ...." Sang empu nama hanya bergumam pelan, cowok itu tersenyum tipis. "Boleh gue nanya sesuatu?!"

Naya mengiyakan saja daripada bertambah ribet.

"Lo suka sama gue?" Namun, empat kata yang baru saja Lian ucapkan membuat hatinya tak tenang. Naya terdiam sejenak, memastikan jantungnya masih baik.

Lian tertawa kecil, dia sudah tau jawabannya kenapa masih ia tanyakan. Melihat diamnya Naya memperjelas semuanya. Namun, setelah tawa kecil itu Lian kembali menatapnya sendu. Dia mengambil dompet dan mengeluarkan foto gadis berkerudung.

"I—itu pacar lo, ya?" Lian menggeleng. "Dia adalah gadis yang gue impikan, Naya."

Kedua manik mata Lian tidak terlepas dari foto itu, "Dia yang menuntun gue ke jalan yang bener lagi, ya meskipun gue tahu dia nggak pernah nyadar kalau gue ada."

"Sadboy amat lo!" canda Naya tertawa.

Lian hanya tersenyum simpul menanggapi celotehan Naya, "satu Mei dua tahun yang lalu, saat gue daftar di sekolah."

"Lo masih inget?!"

"Hm, itu adalah pertemuan pertama gue sama dia jujur saat itu gue merasa nggak pantes, gue yang anak geng dan dia anaknya agamis gitu."

Naya membiarkan Lian bercerita banyak, meski dia tahu risikonya adalah perasaannya sendiri.

"Tapi mulai detik itu gue berubah, gue pengen mengenal lebih dekat siapa Tuhan gue, dia, dan diri gue sendiri," pungkasnya dengan senyuman manis. "Lo kagum karena apa?!"

"Karena dia berkerudung, adem liatnya, dulu dia dianterin bapaknya pas pendaftaran ke sekolah." Lian memberikan foto itu pada Naya. "Buat apa?!"

"Gue balikin ke orangnya," jawaban singkat dari Lian membuat jantungnya kembali berpacu tak karuan.

Gorden berwarna biru di sisi Lian seakan menari mengikuti melodi yang dibuat angin, seperti itulah perasaan Naya sekarang antara senang dan cemas.

"G—gue? Kenapa musti dibalikin?!"

"Tugas gue udah selesai, Nay. Parah ternyata selama ini gue penjaga bukan pemilik, gue hanya bisa jagain lo," katanya tertunduk sendu. Namun, kali ini dia harus lebih tegar daripada Naya jika dia lemah lantas bagaimana Naya nanti. "Oh, ya, Nay. Entar kalau cari cowok jangan hanya yang mencintai, tapi yang bisa menghormati juga, ya."

Dengan polosnya Naya mengerutkan kening, apa maksudnya. "Kenapa nyari, 'kan di depan gue udah ada, hehehe."

"Gue nggak bisa lebih lama lagi, Naya," cetusnya memejamkan mata sejenak, menyadari obrolan mereka bertambah serius membuat Naya bertambah cemas, kata-kata yang membuat otaknya bekerja sedikit keras.

"Aulian, katanya lo mau liat gue pakai gaun warna putih syar'i pas akad. Apa lo nggak mau hari itu tiba?" hibur Nayar mengalihkan topik pembicaraan.

"Gue akan liat, Nay, tapi mungkin gak di sini."

"Lo mah ngelantur mulu kalau ngomong, udah lo istirahat," saran gadis itu menyembunyikan isak tangisnya, dia tahu kalau laki-laki yang terbaring di ranjang rumah sakit sudah merasakan kepahitan dalam hidup. Namun, tidak bisakah dia juga bahagia untuk dirinya sendiri?

Dia tersenyum hangat, melihat embun di pelupuk mata gadis itu. "Gue takut kalau gue tidur nggak akan bisa bangun lagi."

"Yan, kenapa lo makin ngelantur. Gue mohon jangan kayak gini."

"Lo tau lo adalah cinta pertama dan terakhir gue ...." Ucapannya terhenti ketika Farez datang bersama Adrian dan ....

"Tante Tina?!"

Naya memukul lengan Lian dengan tas selempangnya. "Panggil dia mama, gue udah ceritain ke beliau semuanya."

Awalnya Lian marah, dia tidak terima. Namun, pelukan yang selama ini ia rindukan mampu meluruhkan segala emosinya. "Lian? Kenapa pas ketemu nggak bilang ke mama kalau kamu adalah Aulian Bashira Ghayda, anak mama, hm?!"

"M—mama ... Mama ... Mama, maaf."

"Seharusnya Mama yang minta maaf nggak bisa ngendaliin emosi dan ninggalin kamu, maaf, ya." Tina masih memeluk erat anak laki-lakinya.

"Maafin papa juga, ya nggak pernah ada saat kamu butuh papa."

Feila dan Bian masuk, keduanya sudah berkaca-kaca menyaksikan keluarga yang sudah lama rapuh kini bersatu kembali.

Di samping Lian ada Adrian dan Tina, sedang Naya di belakang Tina.

.
.
.

Udah kejawab, ye kan siapa yang ada di dompet Lian☺😇

AULIANAYA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang