26. Sahabat?🍂

512 56 0
                                    

—Salam Literasi—

-&-

Sahabat itu saling ngerti, bukan saling tuduh yang berujung pada kehancuran.

-&-

   Sejak pagi ketiga sahabatnya bersikap aneh, tidak seperti biasa mereka hanya diam saat bersama Naya. Saat istirahat pun ketiganya fokus makanan, tidak ada obrolan atau candaan yang biasa terlontar.

   Sebenarnya Naya ragu mau menanyakan, jadi dia memutuskan untuk diam. Berharap hari ini cepat berlalu, sungguh saling mendiamkan seperti ini membuatnya tidak nyaman.

   "Tumben diem-diem bae, ada apa sih?" tanya Naya mengawali obrolan, senyum di wajahnya belum juga pudar.

   Bening celingukan, memastikan bahwa kelas dalam keadaan yang cukup sepi. "Lo nggak nyadar?" katanya membanting pulpen yang tadi ia gunakan corat-coret bukunya.

   Perempuan itu mengambil ransel dan meminta tukar tempat duduk dengan Feila, sontak kebingungan mengusai Naya sepenuhnya. "Sebenarnya ada apa, Ning. Kenapa lo ngejauhi gue? Kita bisa selesain baik-baik."

   Faira dan Bening masih berdiam diri, seakan engan menjawab begitu juga dengan Feila yang mengikuti alur.

   "Kalau gue salah gue minta maaf, tapi gue nggak tahu kesalahan gue sebelum lo pada ngomong," sambung Naya membuat Faira berdecak. "Ckckck, sadar diri aja."

   "Bayangin kita sudah koar-koar belain lo sana sini, kita minta lo buat nggak deket-deket lagi sama Lian. Buat apa cobak, kalau bukan buat lo, tapi apa yang lo lakuin? Lo malah ketawa ketiwi sama Lian." Faira memalingkan wajah, mendengarnya tubuh Naya melemas. Apakah hanya gegara kemarin, saat dia kembali ke sekolah bersama Lian geng-nya?!

   "Kita cuman nggak mau sahabat kita sakit hati terus, tapi ... ah, sudahlah. Kita kayak orang bego nggak tau apa-apa. Kemarin lo kesel sama Lian oke kita belain, sekarang lo demen banget jalan sama dia," sambung Bening ngomong terus, untuk pertama kalinya mereka mengutarakan hal ini. "Kita itu temen lo, Nay. Kita bahkan rela nunggu lo sama Feila selesai tugas buat ngumpul-ngumpul."

   "Gue bisa jelasin, Ning, Ra," timpal Naya tidak ingin persahabatannya begitu saja runtuh. Namun, keduanya menggeleng.

   "Lo emang nggak pernah percaya sama kita, 'kan?" Faira tersenyum miring, Naya berulang kali menganga tak percaya. Seakan mengatakan benarkah itu sahabatnya? Karena yang ia tahu sahabatnya sangat pengertian.

   "Nggak gitu, Ra."

   "Dahlah, mending kita bubaran aja. Buat apa tetep jalin persahabatan jika nggak ada kepercayaan. Setidaknya lo ngomong Naya, biar kita nggak merasa kayak orang yang nggak tau apa-apa," seloroh Bening menggelengkan kepala.

   "Maksud lo?" Kening Naya berkerut mencerna setiap ucapan Bening.

   "Kemarin lo nolongin, Lian, 'kan? Lo nyari Lian, 'kan? Seantero sekolah udah tahu kalau lo baik-baik aja sama Lian." Bening menuding, membuat Naya terus mengangguk.

   "Ya, terus emangnya kenapa? Nggak selamanya orang yang buat kita kesel terus membuat hati kita sakit, 'kan? Apa gue harus minta izin ke kalian buat nolongin Lian? Mana sempet! Kemarin taruhannya nyawa, NYAWA!" seru Naya malah emosi mendengar ucapan kedua sahabatnya, apa mereka juga akan mengatur kehidupannya?!

   "Kita nggak masalahin itu, tapi lo tahu apa yang dibilang anak-anak lain?" Bening menaikkan salah satu alis, suasana sangat panas. Sampai-sampai beberapa anak yang ada di kelas keluar, tidak mau ikut campur.

   "Ckckck, dahlah, Ning. Biarin mereka menganggap kita kambing hitam. Biar Naya-nya puas!" sahut Faira dengan tatapan tajam, membuat gadis itu terlonjak kaget. "Bentar, kambing hitam?!"

   "Iya, kemarin-marin kita koar-koar kalau lo disakitin sama Lian, terus mereka nganggep kalau kita cuman ngalang-ngalangi hubungan lo sama Lian."

   "Gue sama Lian nggak ada hubungan apa-apa." Naya terus menjelaskan, tapi kedua sahabatnya masih kekeh tidak mau tahu.

   "Ya lo pikir lha gimana perasaan kita," tambah Faira menyilangkan tangan di depan dada, kemudian meninggalkan kelas bersama Bening. "Lo itu sangat tertutup, Naya." Bening tertawa kecil sebelum benar-benar pergi.

   Naya melihat mereka sendu, bingung dengan perubahan sikap mereka. Dia menoleh, masih ada Feila di sampingnya sedari tadi gadis berkulit sawo matang itu diam saja, sepertinya dia mencerna setiap ucapan ketiga sahabatnya. "Pel ...?!"

   "Maaf, Nay. Untuk kali ini gue emang setuju sama lo, tapi gue juga nggak bisa nyalahin mereka. Mereka bener, lo terlalu tertutup, Naya." Feila pun meninggalkannya sendiri, hingga di kelas hanya dia seorang.

   Gadis dengan bibir mungil dan bulu mata lentik itu merenung, mencerna setiap ucapan sahabatnya. Bagaimana bisa menjadi rumit seperti ini?!

   ****

   Seorang gadis memainkan ayunan di taman sekolah sendiri, tidak ada yang menemaninya. Dia melihat langit bewarna biru cerah, meskipun sudah jam setengah empat. Namun, matahari masih terus bersinar terang.

   Sejak kejadian di waktu istirahat tadi, Naya jadi ragu untuk nebeng Feila. Dia mencari alasan, agar mereka tidak bertemu dahulu. Karena percuma kalau bertemu ujungnya saling mendiamkan.

   Naya meminta Wildan untuk menjemputnya, tapi sampai sekarang masih belum terlihat tanda-tanda kehadirannya.

   Gadis itu melihat sebuah benda yang melingkar dengan indah di pergelangan tangan kirinya, sudah pukul empat kurang 10 menit.

    Tanpa ia sadari seorang laki-laki duduk di ayunan sebelah Naya, pandangannya lurus tanpa memandang gadis itu. "Makasih."

   Mendengar suara di sampingnya refleks Naya menoleh ke sumber suara, dilihatnya cowok dengan paras yang meneduhkan setiap kali memandangnya. Kharisma pemimpin selalu melekat dengannya. Rahang yang kokoh seakan memperjelas wibawanya.

   "Buat apa?" sahut Naya pelan, seakan kehilangan gairah untuk berbicara. Cowok yang mengenakan seragam putih abu-abu dengan jaket tengkorak itu menoleh. "Kemarin."

   Otak Naya langsung mengerti arah pembahasannya, jika saja dia boleh mengatakan kalau dia tidak suka saat Lian berbicara singkat.

   "Nggak usah makasih, udah kewajiban gue buat nolongin lo. Kemanusiaan," jawab Naya memainkan pegangan ayunan.

   "Manusia juga punya adab buat berterima kasih pada orang yang menolongnya," elaknya menggelengkan kepala. "Iya, Aulian."

   Hatinya berdesir saat memanggil Lian dengan sebutan Aulian. "Gimana udah cari mama lo?!"

   Lian menggeleng, perlu waktu membongkar masa lalu. "Semoga cepet ketemu."

   "Aamiin, ada yang aneh sama lo," sahutnya membuat Naya mengernyit heran. "Apa?!"

   "Biasanya lo galak," jawabnya cepat, Naya terkekeh mendengarnya.

   "Gue nggak mood hari ini, Yan," jawabnya melihat tembok besar sebagai sekat sekolah, seakan menerawang jauh. "Kenapa?!"

   "Nggak papa, gue balik dulu, ya bapak udah nungguin," katanya menyadarkan diri, dia melihat Wildan sudah sampai. "Naya ...!"

    "Iya?" Naya menghentikan langkah, melihat Lian. "Hati-hati."

    Senyuman merekah terbit saat itu juga, dengan cepat gadis itu berbalik lagi kemudian menghampiri Wildan.

   "Gue akan jagain lo tanpa sepengetahuan lo."Lian mengukir senyuman kecil.

   Ponselnya berdering, mengisyaratkan ada sebuah notifikasi masuk.

Xila :
|Panca nantangin lo, noh!

|Dia ngira X-way adalah gue

|Padahal di foto gue gak pake slayer

|Jangan sampai dia tahu kalau X-way adalah lo atau semua akan kacau!

.
.
.
.
Semangat puasanya😇

AULIANAYA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang