47. Malam Berkisah🍂

524 61 2
                                    

—Salam Literasi—

-&-

Perhatian kecil itu sangat berharga, jadi jangan pernah sepelekan perhatian itu.

-&-

Anaya menyeruput teh hangat di ruang keluarga kemudian membantu ibunya membuat list stok barang yang harus dibeli, jemarinya sangat lihai menulis di buku kecil bersampul kuning tersebut.

"Buk, beli mie berapa dus?!"

"Oh, ya ibu tadi nggak nge-cek bagian mie, entar aja Naya saat bapakmu pulang," katanya membuat Naya mengangguk.

Wiwi mengusap halus rambut putrinya yang dicepol asal, tidak menyangka Anaya seorang bayi mungilnya sudah sebesar ini. Dia jadi menyelam bernostalgia perjuangannya dulu, sebelum menikah dengan Wildan dia menjadi singel parent dan itu bukanlah suatu hal yang mudah. Setelah kematian suami pertamanya Wiwi merawat kedua buah hatinya yang masih kecil sendiri, bahkan ada satu waktu dia ingin menyerah. Namun, Tuhan begitu baik di tahun berikutnya ada seorang yang ingin mengasuh salah satu buah hatinya, sebenarnya Wiwi tidak tega melepaskan Dika, tapi untuk masa depan Dika dia harus rela. Orang tua angkat Dika tidak melarang Wiwi untuk menemui Dika. Mereka hanya mengasuh dan membiayai kebutuhan Dika dan di tahun yang sama dia menikah dengan Wildan—duda anak satu. Namun, anaknya sudah beranjak dewasa.

"Bu Tina itu orangnya baik banget, sayang dia belum dikaruniai seorang anak yang begitu ia idamkan sejak dulu," kata Wiwi membuka obrolan, mendengar hal itu sontak menarik perhatian Naya. "Mama namanya Tri Diana, ya, Bu?!"

Wanita berkerudung itu mengiyakan dengan mantap.

"Berarti Ibu nggak tau kalau Mama sebenarnya punya anak kandung yang begitu merindukannya," gumam Naya pelan. "Kamu ngomong apa, Nay?!"

"Hah, enggak, Buk."

"Kamu tahu meskipun bu Tina sudah menjadi ibu angkat abangmu tetap saja sifat rendah hati dan bersahabatnya tidak pernah luput ketika bersama ibu," ceritanya membuat Naya hanya mengangguk. "Ibu?!"

"Iya, ada apa?!"

"Udah lama Naya nggak ke makam bapak Naya," cetus Naya melihat raut wajah Wiwi yang tak pernah pudar sinar senyumnya. "Besok selepas sekolah jenguk bapakmu, tapi ibu nggak bisa ikut harus jaga toko soalnya."

"Beli bunga?" Tentu saja Wiwi mengangguk. "Kamu tahu Naya pertemuan ibu dengan bapak kandungmu itu terbilang sangat unik, dulu ibu menjadi kembang mayang di pernikahan saudara."

Jika Wiwi sudah mulai bercerita Naya sangat antusias mendengarnya, dia duduk bersila berhadapan dengan ibunya. "Lalu?!"

"Kan ada samacam acara tukeran janur yang sudah dibentuk gitu sama kembang mayang laki-laki pas temu manten, nah bapakmu dulu deg-degan sampai-sampai janur hampir aja jatuh," pungkasnya membuat Naya merebahkan kepala di pangkuan Wiwi.

Benar kata orang sebesar apapun seorang anak, dia tetap menjadi anak kecil di mata orang tuanya.

"Bapak sama Ibuk udah kenal?!" Wiwi menggeleng, "dulu nggak ada hp atau internet seperti sekarang, dulu kita sering mengirimkan surat, tapi ibu hanya membalas suratnya sekali." Detik selanjutnya Wiwi terkekeh pelan.

"Banyak surat yang sampai di tangan almarhum abah, abah selalu membakar surat itu hingga suatu waktu bapakmu nekad nyamperin ibu, bukannya ketemu bapakmu malah ketemu abah dan akhirnya dia menyetorkan hafalan."

"Hafalan?!"

"Iya, hafalan Qur'an dan syukurlah dia bisa, surat ar-rohman yang ia setorkan ke abah. Detik itu juga abah langsung menanyakan mau langsung halalin atau tinggalin," katanya membuat lekung sempurna di wajah Naya. "Terus bapak milih apa?!"

AULIANAYA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang