51. Hafalan🍂

507 65 4
                                    

—Salam Literasi—

-&-

Lo bebas buat mencintai seseorang, tapi untuk memiliki lo tidak bisa memaksakan kehendak.

-&-


"Udahlah, Bel. Kenapa lo ngejar-ngejar cowok yang jelas-jelas nggak cinta sama lo!" seru Bian menemui Belva di ruang OSIS, mereka lagi persiapan untuk upacara mingguan.

Belva masih terdiam tidak ada niatan untuk menyahuti karena baginya kedua sahabat itu telah mempermainkannya.

"Bel, lo mah bebas buat mencintai seseorang, tapi jangan memaksakan kehendak!" tambah Bian membuat Belva mengembuskan napas. "Bukan urusan lo, Yan."

"Jelas itu masalah gue."

"Kenapa?!"

"Udah gue bilang, gue suka sama lo! Gue cinta sama lo! Gue nggak pengen lo terluka!" pekik Bian tertahan menyadari banyak anak OSIS yang mulai masuk, entah itu mengambil peralatan maupun hanya merapikan jas dan berkaca.

"Denger, ya Bian seperti yang lo bilang tadi jangan maksain kehendak," bisik Belva kemudian meninggalkan ruangan OSIS.

Sesulit inikah mencintai tanpa harus dicintai, seperti ingin menarik. Namun, dia malah menolak? Bian harus menerimanya, dia bukanlah Lian yang Belva inginkan dan bukan sosok sahabat yang membuat Belva nyaman dalam pelukannya.

****

Dari masuk gerbang sampai sekarang upacara pun banyak yang melihat Lian aneh, mungkin karena beberapa luka yang masih membekas.

Lian melangkah santai ke belakang barisan, menertibkan mereka sebelum upacara dimulai.

"Serigala," sapanya sedikit pelan, takut menganggu konsentrasi mereka. Lian yang mendengar sapaan itu langsung menoleh ke sumber suara. "Naya?!"

Naya mengangguk, "udah diminum obatnya?" Lian mengiyakan.

"Beneran?!"

"Iya, beneran kapan gue pernah boong sama lo, hahaha." Tawanya sedikit ia tahan, melihat ekspresi Naya yang serius. "Tadi bapak pesen, kalau mau minum obat jangan lupa makan dulu."

"Iya, Nay. Gue ngerti kok, perhatian banget CAMER gue," canda Lian membuat Naya mengerang sebal.

"Jangan kepedean mulu jadi orang, entar nggak jadi mantu nangess!" ejek Naya menjulurkan lidah. "Gue usahain, gue bakal jadi mantu idaman."

"Andai itu terjadi, Yan. Gue akan jadi perempuan paling beruntung di dunia," gumam Naya pelan, tapi Lian masih mampu mendengarnya. "Bukan lo, Nay, tapi gue."

Mendengar jawaban itu pipi Naya bersemu merah, merasakan apa yang baru saja terjadi menggelitik hatinya. Oh, Tuhan kenapa Lian bertambah manis saja.

Menyadari perubahan air wajah Naya, Lian senang akhirnya impiannya sejak dulu bisa bercanda dengan gadis ini terwujud. Terima kasih semesta telah memberikan secuil kejadian indah ini yang nantinya akan menjadi kenangan tersendiri untuknya.

"Etdah, gue masih SMA. Astagfirullah." Naya menggelengkan kepala, kemudian menjaga barisan yang lumayan jauh dari jangkauan Lian, agar mereka berhenti mengobrol.

"Iya, gue juga masih belajar jadi imam yang baik buat lo," jawabnya dalam hati, melihat Naya yang kalang kabut karena perasaannya yang 'tak karuan.

Tidak sengaja Feila di dekat Belva, gadis itu terus menggerutu kesal. Kenapa Lian tidak menerima cintanya kemarin, apa yang kurang darinya? Cantik? Iya. Pintar? Lumayan. Anak organisasi? Iya. Sahabat kecilnya? Iya. Susah seneng bareng? Sudah mereka lalui. Sungguh apa yang membuat cowok itu tidak pernah menatapnya lagi, apa kemarin dia terlalu keras kepada Lian tidak menyapa atau memberikan kejelasan.

"Panas, Neng? Yuk ngadem ke kelas bersamaku," sindir Feila terkekeh. Bukan niat hati ingin meledek, hanya sebagai main-main doang.

Belva mendengarnya pun merasa kesal sendiri, ingin sekali membalas ocehan itu, tapi ia tahan. Dia harus bisa jaga image dan nggak  boleh emosian.

****

Sayup-sayup Naya mendengar suara tartil seseorang di parkiran sekolah, hari ini dia pulang lebih sore dari biasanya karena tadi sempat konsultasi ke pembina tata busana tentang pengembangan anak ekstra.

"Shodaqallahul adzim," ujarnya menutup kitab suci itu, kemudian menciumnya. Mendengar bacaannya Naya merasa insecure sendiri. Bisa-bisanya dia nyaris sempurna menjadi idaman kaum hawa. Udah anak organisasi, baik, sopan, dan bisa baca Qur'an lagi.

Rambutnya yang basah dan wajah itu, wajah yang penuh luka. Namun, tidak mengurangi ketampanannya. Cahaya senja menerpa wajahnya, wajah yang selalu ingin terlihat tersenyum meski dunia begitu gentar mengujinya.

"Eh, iya, Nay. Lo udah sholat?" Naya menggeleng. "Okay, kita tunggu Bian, Feila, Janneh sama Setya. Mereka masih di ruang OSIS entar kita jamaah ae gimana?!"

Naya mengangguk, "Lian. Gue boleh nanya sesuatu?!"

"Hm." Lian hanya bergumam.

"Lo belajar Al-Qur'an dari kecil apa udah gede, bacaan lo bagus, eh jangan kepedean dulu. Gue cuman denger sekilas tadi," kata Naya mengalihkan pandangan. "Menurut lo?!"

"Dari kecil?" tebaknya membuat Lian terkekeh kecil, mengingat bagaimana papanya mementingkan pekerjaan daripada didikan.

"Lo tau, Nay. Gue bisa ngaji, bisa sholat itu didikan pak Abid guru agama kita sama orang tua Bian. Papa nggak pernah ngajarin itu." Lian masih tersenyum, sedangkan Naya sudah tidak enak duluan. "Maaf, Yan."

"Makanya, Nay. Lo punya bapak kayak gitu itu udah alhamdulillah banget karena banyak yang nggak seberuntung lo, banyak anak di luaran sana hanya dikasih uang, tanpa adanya kasih sayang," pungkasnya membuat Naya mengedipkan mata berulang kali. "Etdah jangan jadi sad boy elah, katanya mau jadi serigala!!"

"Lo mah, eh iya lo mau nyimak hafalan gue?!"

"H—hafalan?" Naya tercengang, benarkah Lian hafalan?!

"Iya. Gimana?!"

"Nggak, Yan. Gue belum pantes," jawab Naya merendah akan ilmu yang dimiliknya. "Gue pengen ngaji sama lo."

Naya tidak menjawab, dia masih kepikiran ucapan Lian. Hafalan?!

Tak lama mereka datang, kemudian mengambil air wudhu dan melaksanakan salat asar sebelum pulang.

.
.
.
.

Gimana baper nggak, baper nggak, baper lha masak enggak?!

AULIANAYA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang