32. Pertikaian🍂

485 63 2
                                    

—Salam Literasi—

-&-

Tidak semua manusia punya proporsi yang sama, jadi mereka tidak bisa disamakan.

-&-


   Seorang cowok menatap langit malam bertaburan bintang, dia membuka dompet berwarna coklat miliknya. Di sana terdapat sebuah foto gadis yang selama ini berhasil mengubah hidupnya.

   Gegara Farez dia memindahkan foto itu ke dompetnya, agar tidak ada yang mengetahui. Lian mengambil foto dan melayangkannya ke udara.

   "Apakah kita bakal ketemu di titik terbaik menurut takdir atau akan berakhir sebelum bertemu?" gumam Lian sembari merasakan semilir angin yang menyapu halus wajahnya.

   Dia memasukkan kembali foto itu, kemudian meletakkan dompet di sakunya. Saat keluar kamar dia melihat Bian yang nampak khawatir, ya sejak sore tadi dia belum meninggalkan rumah Lian.

   "Yan, Rian udah pulang!" seru Bian membuat Lian berdehem. "Dia mengatakan sesuatu?" tanyanya mendapat gelengan dari cowok itu.

   "Nggak, tapi gue pastiin kalau besok dia bakal masuk. Lo tenang aja," ujarnya mengerti kalau Lian sedang cemas. Bian menepuk bahu sebelum dia juga pergi. "Ingat, dia sodara lo jangan terlalu maksa dia! Cukup tadi."

   Perkataan Lian membuat Bian semakin yakin kalau sahabatnya itu sudah berubah. "Sip, Bro."

   ****

   Rian sedang di ruang guru untuk dimintai keterangan, sedangkan kedua sahabatnya menunggu di luar.

   Lian memasukkan kedua tangan ke saku celana, tidak lama cowok bermata sipit itu keluar dengan raut yang menyebalkan.

   "Gimana, Bro?" Bian langsung menyetarakan langkah dengan cowok itu. Rian masih terdiam.

   "Lo bisa ngomong, 'kan?" sinis Lian tidak begitu mengenakan, sejak tadi ucapan Bian tidak mendapatkan respon darinya.

   "Ngapain lo pada ngurusin gue?" gertak Rian membuat keduanya terkejut, "inget masalah lo masalah lo dan masalah gue, ya masalah gue. Jangan ikut campur."

   "Hei, Bro. Kita ini sahabat lo, kita udah jadi sodara buat lo," kata Bian girang membuat Rian mengerutkan kening. "Sejak kapan?!"

   "Yan ...." Saat tangan Lian hendak menepuk bahunya, dengan cepat Rian mwnapiknya. Dia melepas jas OSIS di depan semua orang kemudian membuang dan menginjak-injaknya. Sungguh semua ini di luar dugaan.

   "Riansyah Raharjo ...!" pekik Belva yang tidak sengaja lewat. Dia mencoba menyelamatkan jas itu, "lo tahu, 'kan kalau ini adalah kebanggan kita."

   "Buat apa, Bel? Kebanggan apa yang lo maksud? Semua itu hanya kekangan dahlah jangan ikut campur," sarkasnya berdecih seakan merasa paling benar.

   Belva menggeleng, gadis dengan rambut yang dikuncir dan poni yang hampir menutupi seluruh dahinya tetap menatap Rian dengan tajam. "Ini adalah identitas kita, lo juga udah berjuang keras untuk sampai di posisi ini, Rian."

   Rian menghela napas, "gue tanya buat apa sebuah jas jika tidak bisa membiarkan pemiliknya untuk bebas."

   "Nggak gini caranya, Yan." Sejak tadi Lian yang diam pun ikut angkat bicara. "Lo nggak bisa berbuat seenaknya. Lo masih OSIS."

   "Mau jadi malaikat?!"

   Lian mengalah, dia hendak kembali ke ruang OSIS lama-lama di sini tidak baik untuk emosinya.

   "WOY DENGER, YA! KETUA OSIS YANG KALIAN JADIKAN PANUTAN NGGAK SEBAIK YANG KALIAN KIRA! DIA HANYA KETUA GENG MOTOR BERANDALAN."

   "Rian ... lo ngomong apa sih!" Belva memukul punggung cowok itu, dia tidak akan membiarkan reputasi Lian jelek begitu saja.

   "Itu faktanya, Bel. Lo sebagai sahabatnya gimana sih masak nggak tahu kalau Lian adalah mantan ketua geng motor?!"

   Pernyataan yang membuat Belva menatap Lian bingung, seakan meminta penjelasan. Namun, cowok itu sepertinya enggan memberi jawaban.

   "Lo ngada-ngada!" seru Belva tidak percaya.

   "Dih, buat apa gue ngada-ngada? Ini kebenarannya and dia tuh pengkhianat! Dia masih berhubungan baik sama ketua OSIS Unggulan Semesta, iya sekolah yang udah jelas-jelas jadi musuh kita selama ini," cerocos Rian tidak berhenti membeberkan semua yang telah terjadi.

    Banyak prasangka aneh dari anak SMA Dewantara, mereka semua bertanya-tanya apakah semua itu benar. Bahkan, ada yang mengabadikan kejadian ini untuk dikirim ke grup-grup kelas.

   "Lo makin nggak waras, Yan. Lo nggak sadar apa yang lo omongin," kata Bian ingin menghentikan ucapan Rian. Namun, cowok itu tetap melanjutkan ucapan demi ucapan yang menjatuhkan Lian.

   "Kalian salah memilih Lian sebagai ketua OSIS."

   Plak!

   Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanannya, Rian mengusapnya pelan sedikit terasa panas.

   Bian menepuk jidatnya sendiri, dia harus segera memanggil bu Cahya kalau gini ceritanya dia yakin tidak bisa melerai keduanya. "Kesambet apa tuh anak!" gumam Bian berniat memanggil bu Cahya.

   Seluruh anak SMA Dewantara berkumpul untuk melihat pertikaian anak OSIS, sungguh kejadian yang langka bukan? Tidak ada yang berniat memisahkan justru pertikaian mereka semakin memanas ketika Rian hendak membalas tamparan. Namun, dengan sigap Lian mencegah hal itu.

   "Stop atau lo akan nyesel, Rian." Rian terkekeh mendengar ancaman itu. "Kenapa? Lo hanya haus jabatan, makanya lo nggak mau mereka tahu sisi kelam hidup lo."

   Lian menarik tangan Belva agar cewek itu segera pergi dari lapangan. Belva yang tidak tahu apa-apa hanya menurut.

   "Banci lo! Urusan kita belum selesai, nggak usah lari. Ini nih, kalau anak nggak pernah dididik orang tuanya," tukasnya tersenyum miring.

   Perlahan langkah besar itu terhenti, sedangkan genggaman tangannya mengendor. Tidak apa-apa jika mereka menjelekkan dirinya asal bukan kedua orang tua. Bagaimana pun keadaan orang tua Lian, tetap saja mereka yang mengantarkan Lian ke dunia ini.

   Lian mengembuskan napas panjang, menyadarkan diri jika orang yang berbicara di belakangnya adalah Riansyah Raharjo, sahabat dekatnya.

   "Aulian, lo nggak papa?" tanya Belva segera menghadap cowok itu, dilihatnya Lian yang sedang menahan emosi.

   "Lo tahu kenapa mama lo pergi? Karena dia muak sama perlakuan papa lo ...."

   Sudah cukup Lian menyabarkan diri, dia menghajar Rian habis-habisan. Dia kalut dalam emosi yang diciptakan Rian sendiri. Rian berhasil membuat emosi yang selama ini Lian pendam membludak begitu saja.

   Bugh!

   Bugh!

   Bugh!

   Keduanya saling baku hantam, mereka seimbang. Keduanya pernah menimba ilmu di padepokan yang sama.

   "Lo boleh ngatain gue, asal jangan bawa-bawa orang tua. Lo nggak tahu gimana hidup gue!!"

   Setiap kata-kata Rian masih membuat gejolak dari dalam diri Lian untuk menghajar lagi dan lagi. Kata-kata itu seperti pisau yang terus menghunjam hingga dia lupa kalau Rian adalah sahabatnya.

   "Aulian ....! Riansyah ....! Berhenti!!"

.
.
.

—Next—

AULIANAYA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang