33. Obrolan🍂

486 62 7
                                    

—Salam Literasi—

-&-

Peduli bukan berarti ada perasaan lebih.

-&-

   Keduanya berada di ruang guru, untuk mendapatkan bimbingan sekaligus hukuman akibat membuat keributan di sekolah. Kali ini hukuman Rian dua kali lipat daripada sebelumnya.

   "Jangan ulangi lagi, terutama kamu, Aulian. Kamu adalah ketua OSIS tanamkan kata itu," pungkas bu Cahya bersama pak Jeki—guru BK.

   Lian hanya menunduk, tidak membantah. Dia menyesal tidak bisa mengendalikan emosinya, dia menyakiti sahabatnya. Namun, di sisi lain sebuah ego terus membara seakan mengatakan jika dia nggak salah, kejadian ini karena Rian yang memancing.

   OSIS sepertinya dirundung masalah bertubi-tubi, jika kemarin anak SMA Dewantara yang terus mengoceh kini mereka seakan terpecah belah. Ada yang mendukung Lian dan ada juga yang menyalahkan dengan dalih Lian tidak bisa mengendalikan emosi apalagi saat ini mereka masih di lingkungan sekolah mereka mengatakan jika Lian tidak bisa memposisikan dirinya sendiri dengan jabatan ketua OSIS. Satu kesalahan membuat perpecahan.

   ****

   Sejak tadi Naya melamun di gazebo taman sekolah, dia memang membawa buku perpus. Namun, bukannya membaca dia malah asyik bergelut dengan pikirannya sendiri.

   Gadis itu bersama Feila, meski hubungan persahabatan mereka berempat retak. Namun, tidak dengan Feila, gadis berkulit sawo matang itu masih mendukung Naya. Dia yakin jika Naya pun punya alasan sendiri dan bukankah sahabat itu saling mengerti dan memaklumi?!

   "Percuma lo ambil buku di perpus kalau ujungnya ngelamun," celetuk Feila mencomot batagor yang ia beli di kantin sekolah.

   "Tadi pas istirahat pertama lo, 'kan tahu kalau Lian kena masalah," jawabnya menutup buku yang sejak tadi ia buka tanpa ia baca.

   "Iya, terus apa masalahnya sama lo, Nay? Please deh jangan bego, Lian itu sukanya sama Belva. Lo bukan siapa-siapanya," ceplos Feila tanpa pikir panjang, tapi Feila ada benarnya juga. Emang siapa dia bagi Lian? Sahabat aja bukan, konyol sekali bukan mencemaskan orang yang sama sekali tidak peduli dengan kita.

   "Tapi, Fei. Jika saja Lian nggak pernah ngasih perhatian ke gue, gue nggak mungkin suka sama dia. Bukan hanya sekali, tapi udah berulang lagi, Fei. Jaket, sapu tangan, slayer, ah semua itu membuat gue bingung." Akhirnya Naya mengakui perasaannya, jika dia menyukai Aulian Bashira Ghayda.

   "Lo itu harus pinter Anaya, dia tuh kayak pemimpin di sekolah ini jabatan apa aja hampir dia embat, jadi wajar saja jika dia care sama lo. Dia juga care sama Resha, bukan? Lo itu bukan satu-satunya yang dapet perhatian itu, lo itu hanya salah satu dari mereka."

   Naya membenarkan ucapan Feila, setidaknya Feila masih mau menerima keluh kesahnya.

   "Ingat dengan peduli bukan berarti ada perasaan lebih," sambungnya membuat Naya menghela napas panjang, "apa cinta gue bertepuk sebelah tangan?!"

   Feila sedikit tertawa mendengarnya, merasa lucu ketika Naya membicarakan soal cinta. Sungguh apa yang ia tahu tentang cinta, bahkan dia sampai hari ini pun hanya bisa memendam perasaan.

   "Jangan tanya ke gue elah, gue aja masih noob ... udah lo sodorin pertanyaan itu, hahaha ngaco lo!" serunya terkikik girang, tidak dengan Naya yang menggerutu sebal.

   ****

   Naya melihat Lian dengan peluh keringat baru saja memasuki ruangan OSIS, suasana anggota OSIS sendiri cukup memanas. Biasanya selalu ada canda tawa di antara mereka, tapi sekarang untuk berbicara saja sepertinya mereka enggan.

   "Yan, Rian di mana?" tanya Naya pada Bian, karena tumben-tumbenan Rian tidak ada di sini. Biasanya di mana ada Bian disitu ada Rian.

   "Di UKS keknya Ria lagi ngobatin lukanya," jawabnya kemudian melanjutkan tugas mengetik proposal kegiatan. "Nay, jangan tanya Rian dulu emosi Lian belum stabil. Gue takut dia marah lagi."

   "Kenapa nggak ada yang ngobatin Lian juga?" Suara Naya sedikit keras membuat anggota OSIS mendelik kaget, begitu juga dengan Lian.

   "Kenapa?!"

   "Entar lukanya bisa infeksi, Yan. Kalau nggak segera diobatin. Buruan gih ke UKS terus obatin," tutur Naya menggelengkan kepala. "Nggak usah nggak papa."

   "Lian ...."

   "Nggak usah."

    Lian meninggalkan ruangan OSIS, Naya melihat tidak ada yang bergerak akhirnya gadis itu memutuskan untuk mengejar Lian.

   Naya mengambil obat di UKS dan mencari keberadaan Lian, biarkan saja mereka tidak mau membantu Lian. Akhirnya Naya menemukan Lian di rooftop sekolah.

   "Buat apa lo ke sini?!"

   "Aslinya sih gue ogah, tapi gue masih ada sedikit rasa kemanusiaan! Makanya gue bawain obat ke sini itung-itung balas budi karena lo sering nolongin gue," katanya meletakkan kotak itu. "Gue nggak butuh."

   "Tapi luka lo butuh ini," kesalnya mulai sadar jika Aulian ternyata keras kepala. "Kemarin gue minta syarat dari lo, 'kan? Sekarang gue mau lo obatin luka lo!!"

   "Kalau gue nggak mau?!"

   "Lo ngelanggar janji lo. Seorang pemimpin itu harus bisa menepati janji."

   Lian sedikit terkekeh pelan, "gue udah hancur Naya. Gue bukan pemimpin yang baik."

   "Dihh, kata siapa? Lo itu pemimpin terbaik yang pernah gue kenal. Meski lo pegang banyak organisasi lo nggak pernah ngeluh tuh."

   "Jangan berlebihan, Naya."

   "Bener, 'kan? Buruan obatin sendiri lukanya," cerocos Naya menyodorkan kotak bewarna putih berukuran sedang. "Maksa banget!!"

   "Kalau nggak gini lo nggak akan mau, Lian." Cowok itu tersenyum hangat, dia boleh saja ada masalah. Namun, bukan berarti dia berhak menyakiti hati gadis ini. "Maunya lo yang obatin."

    Naya menganga kaget, menyadari nada bicara Lian sudah mulai berubah. "Lo masih punya tangan. So, obatin sendiri."

   Daripada mati kutu karena salah tingkah, Naya pun memutuskan untuk meninggalkan rooftop. "Naya!!"

   Dia berhenti tanpa menoleh, menunggu Lian menyelesaikan ucapannya. "Makasih."

   ****

   Setelah rapat mingguan, Naya hendak ke musholla untuk melaksanakan sholat asar. Tanpa ia duga ada seseorang yang bisik-bisik di balik tembok air wudhu ini, tepatnya di tempat wudhu kaum adam. Naya berhenti, untuk masuk sepertinya tidak memungkinkan.

   " ... Lo harus hancurkan OSIS SMA Dewantara, gue nggak mau dia menjadi KETOS yang berjaya!!"

   "Jika lo nggak mau, terpaksa nyawa pacar lo taruhannya, perusahaan kakek lo akan bangkrut, dan lo tahu akibatnya ... perlahan lo semua gue habisin."

   "Kenapa lo nggak bunuh gue aja biar cepet beres?!"

   "Nggak semudah itu ferguso! Sasaran gue bukan lo. Lo hanya alat."

.
.
.
.

—Next—

AULIANAYA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang