43. Cappucino🍂

469 57 4
                                    

-Salam Literasi-

-&-

Terkadang secangkir cappucino bisa melelehkan suasana hati.

-&-

Di teras sudah ada orang tua Naya yang menanti kepulangan anak gadisnya, saat bertemu dengan Wiwi, Lian merasakan kekhawatiran seorang ibu.

Sebelum ditanya panjang lebar, Aulian menjelaskan semuanya. Syukurlah m orang tua Naya dapat mengerti dan menerima hal itu.

"Makasih, ya, Nak." Wiwi mengusap salah satu bahu Aulian. "Siapa namamu?!"

"Aulian Bashira Ghayda," jawabnya sopan membuat senyuman di wajah Wiwi. "Nama yang bagus."

"Makasih, Tan."

"Ah, kamu ini kayak sama orang kaya aja. Panggil ibu aja." Selain baik, Wiwi sangat ramah. "I-ibu?!"

Lidah Lian serasa keluh untuk berbicara, sudah lama dia tidak menyebut panggilan itu.

"Iya, apa kamu keberatan?" Tentu saja Lian menggeleng justru dia sangat senang dengan panggilan itu, suatu kehormatan tersendiri baginya.

"B-bapak nggak marah?" tanya Naya membuat Wildan tersenyum hangat, bagaimana bisa dia tidak mempercayai Anaya. "Bapak percaya sama kamu, jangan ngelanggar, ya."

Mendengar hal itu sontak Naya memeluk Wildan, dia sudah menganggap Wildan seperti ayah kandungnya sendiri. Naya ditinggal ayah kandungnya beberapa hari setelah Wiwi melahirkannya, jadi dia sangat menyayangi Wildan-ayah tiri rasa ayah kandung.

"Ayo, masuk dulu," tawar Wiwi mempersilakan laki-laki itu masuk, awalnya Lian menggeleng. Namun, ketika Wiwi memaksa dia pun menurut.

Aulian melepas sepatu, dia berjalan beriringan bersama Naya setelah kedua orang tua Naya.

"Itung-itung ke CAMER hahaha," goda Lian dengan nada berbisik.

Kadang Anaya dibuat bingung dengan tingkah Lian, rasanya cowok itu mempunyai dua karakter. Kadang dia sangat dingin, tapi kadang juga sangat bucin. Entahlah, terlalu rumit untuk dipikirkan yang jelas Naya berdoa agar Lian nggak kesambet.

Setelah membasuh wajah dan berganti pakaian Naya menuju dapur untuk membuat minuman untuk hidangan Lian, gadis dengan baju lengan panjang bewarna navy dan celana longgar yang senada itu asyik menuang bubuk cappucino.

"Nay, itu tadi panggilannya siapa?!"

"Lian, Buk. Kenapa?" tanya Naya tidak mengerti, tapi wajar saja jika Wiwi menanyakan hal itu karena Naya sendiri jarang kedatangan tamu cowok.

"Kepo aja, kamu nggak ada rasa gitu sama Lian?!"

"Nggak deh, Bu. Dia galak," jawabnya ngasal kemudian menuang air panas ke gelas. "Dia kelihatan bertanggung jawab sekali, kamu yakin?!"

"Astagfirullah, Buk. Enggak." Naya capek sendiri rasanya, sebenarnya ini Wiwi yang terlalu kepo atau dirinya yang berusaha menyembunyikan kebenaran bahwa Naya tertarik kepada Lian, Naya suka apapun tentang laki-laki itu, dan terakhir Naya tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya kepada laki-laki lain.

Naya melihat perbincangan antara Wildan dan Lian terlihat begitu nyambung, meski Naya sendiri tidak begitu paham dengan topik yang mereka bahas.

Satu hal yang membuat Naya heran, kenapa hobi mereka sama yakni bermain catur. Keduanya cukup serius.

"Eh, lo nggak pulang?" Pengusiran halus berasal dari mulut Naya, Wiwi menyenggol lengannya. Menurutnya sangat tidak sopan mengusir tamu meski itu dengan cara selalus mungkin.

"Nggak gitu, Buk. Takut orang tua Lian nyariin," tuturnya mencari alasan. Namun, Lian menggeleng dengan tegas. "Tenang, nggak ada yang nyariin."

'Lian kampret,' batinnya kemudian masuk kamar dan Lian melanjutkan permainan caturnya dengan Wildan.

"Ah, iya maafin Naya, ya mungkin dia lagi datang bulan," celetuk Wildan membuat gadis itu berhenti. "Bapak kok belain Lian sih?!"

Naya masih bisa mendengar suaranya.

"Kan Lian sekarang jadi sohib bapak main catur, hahaha." Lian mendengarnya ikut tertawa, bisa-bisanya suasana keluarga Naya adalah suasana keluarga yang ia impikan, begitu hangat.

****

Beberapa hari berlalu begitu saja, rasanya terlalu cepat. Senin ini petugas upacara berasal dari kelas XII Ips 2. Anggota OSIS di belakang barisan untuk menjaga anak SMA Dewantara.

Kalau waktu upacara wajah mereka berubah menjadi garang, menegur siapa saja yang ngobrol sendiri.

Naya mengedarkan pandangan, meneliti barisan yang cukup rapi dan khidmat mengikut upacara. Tidak sengaja pandangannya berhenti pada seorang cewek dengan rambut dikuncir satu.

Perempuan itu berwajah pucat pasi dan keringat dingin terus mengucur dengan deras, dia menjaga barisan perbatasan antara laki-laki dan perempuan.

Berulang kali dia mengembungkan pipi seraya mengusap keringat di dahinya. Sebelum terjadi apa-apa, Naya balik kanan kemudian menghampiri gadis itu.

"Bel, lo nggak papa?" tanya Naya memegang bahu Belva, tapi 'tak lama.

Brak!

Pertahankan Belva runtuh seketika, dia kehilangan kesadarannya. Aulian yang melihat hal itu langsung menuju tempat Belva.

Suara itu menarik perhatian mereka, tapi dengan cepat anak OSIS lain bisa menangani hal itu upacara pun kembali berjalan dengan tenang.

Lian segera membopong tubuh Belva menjauhi barisan, dia melihat beberapa anak yang tergabung dalam tim kesehatan membawa tandu.

Lian menepuk pipi mulus Belva, tapi cewek itu belum juga sadarkan diri. Dia yakin Belva belum sarapan tadi karena saat Lian menjemputnya tidak ada orang di rumahnya.

"Udah, gue yang bawa ke UKS," tutur Lian hendak menggendong Belva lagi. "Eh, Yan. Udah lo urusin barisan biar Belva ditangani sama TIMKES."

"Nggak."

"Anjir, kasihan noh adik kelas pada kewalahan ngadepi kakak kelasnya," ujar Naya membuat Lian mengalah, dia membiarkan Belva dibawa ke UKS menggunakan tandu.

Lian melepas jas, dia menggunakannya untuk menutupi rok Belva. Lian kembali mengawasi barisan sedangkan Naya membantu TIMKES.

Mereka membaringkan Belva di kasur UKS kemudian melepas sepatu dan melonggarkan kerah bajunya, Naya mengganjal kaki Belva dengan bantal.

Kali ini yang bertugas Faira, dia mengusapkan minta kayu putih ke jarinya sebelum melayangkan di depan hidung Belva. Beberapa anak juga mengusap kaki Belva.

"Gue beliin makanan di kantin, ya." Naya cepat tanggap, kemudian mengambil beberapa lembar di kotak p3k ya itu uang untuk keperluan UKS dan emang digunakan untuk hal-hal seperti ini.

"Sama teh hangat, Nay."

"Iya, Ra."

Sambil menunggu pesanan, tidak lama faira datang. Mereka sudah berbaikan, tepat di hari Bening meminta maaf.

"Ngomong aja tadi lo nggak mau Lian gendong Belva, 'kan?!"

"Hahaha, salah satunya."

.
.
.
Satu kata buat Naya?

Me : the best😂

AULIANAYA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang