35. Gue Sayang Sama Lo🍂

616 62 0
                                    

—Salam Literasi—

-&-

Tidak ada yang kebetulan, mungkin ini sudah takdirnya.

-&-

   "Gimana ini bisa terjadi, Yan?" Naya terus menanyakan kronologi kejadian itu.

   "Gue lihat Rian ngerusakin motor Lian tadi, pas Lian kecelakaan dia juga ada di sana. Dia cuman senyum terus cabut!" kesal Bian tidak menyangka jika sahabatnya akan tega melakukan hal ini. "Emang dendam apa sih!!"

   Ucapan Naya menyita perhatian Belva, cewek dengan rambut dikuncir kuda itu berkata, "lo tau, 'kan kalau Lian itu mantan ketua geng motor. Bisa jadi dia nggak suka Lian jadi ketua."

   "Tapi itu hanya dugaan lo, Bel. Tadi gue denger sendiri kok kalau Rian itu cuman dijadiin alat," cerita Naya meyakinkan mereka, tapi Farez malah berdecak kesal.

   "Udah, ya, Kak. Jangan sebut nama itu lagi, gue muak sama Bang Rian." Naya terdiam, menyadari mereka masih berada dalam kekesalan.

   Hening, hanya suara orang rumah sakit yang terdengar. Keempat remaja itu berdiam diri dengan pikiran yang masih belum mereka cerna.

   "Lo ke sini sama siapa?" tanya Bian memecah keheningan. "Kenapa?!"

   "Nggak papa," jawab Bian hampir menyerah. "Gue sama orang tua gue."

   "Orang tua lo sakit?" Belva menyahut, tapi gadis berkerudung hitam itu menggeleng. "Keluarga gue ada yang kecelakaan."

   "Kapan?" Farez akhirnya luluh.

   "Baru aja," jawab Naya singkat. Bian pun mengerti. "Terus gimana?!"

   "Apanya?" tanya Naya polos. Hal ini membuat Bian greget sendiri, "keadaannya lah ogeb."

   "Abang gue nggak papa, cuman mama angkatnya yang sedikit parah. Katanya tadi mereka ngindari pemotor yang oleng dari arah yang berlawanan, katanya sih pemotor itu nabrak pembatas jembatan terus terjun," cerita Naya yang sudah mendapatkan kronologi kejadian dari Dika.

   "Wait ... keluarga lho naik mobil warna silver, 'kan? I—itu mobil yang hampir nabrak Lian nggak sih, Yan? Ingat nggak pas kita di TKP ada mobil yang nabrak pohon?!"

   "Eh, iya."

   "Hah? J—Jadi ...."

   "Duhh, maafin Bang Lian, Kak. Kapan-kapan kalau abang udah sadar kita silaturahim ke keluarga kakak," ujar Farez tidak enak, tapi Naya mengangguk mengerti.

   Perlahan kondisi Lian mulai stabil, dokter memindahkannya ke ruang inap. Lian berhasil melewati masa kritisnya.

   "Gue masuk dulu," ujar Farez membuat mereka bertiga mengangguk. Naya, Bian, dan Belva menunggu di luar karena jumlah orang yang bisa masuk dibatasi takut menganggu pasien.

   Tidak lama Wildan menjemput Naya untuk pulang karena hari semakin larut. Sebenarnya Naya masih tidak ingin meninggalkan mereka, tapi mau bagaimana lagi. "Pak, Naya ke temen Naya bentar aja, boleh, 'kan?!"

   Wildan mengangguk, dia tidak tega melihat sorot kesedihan di wajah putrinya. "Bapak tunggu di parkiran, sekalian mau bantu Dika ke mobil." Naya mengiyakan.

   "Assalamualaikum, Aulian," kata Naya sangat lirih, langkah kecilnya perlahan mendekati brankar rumah sakit. Laki-laki itu masih setia terpejam dengan beberapa alat bantu di tubuhnya, kondisi Lian memang berangsur membaik. Namun, dia belum juga sadar.

   Naya tidak bisa mengelak, jika laki-laki berkulit sawo matang ini sangat berkharisma. Apalagi saat memejamkan mata, semakin bertambah elok parasnya.

   Beberapa detik melihat Lian yang masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit pun membuat Naya mendengus, "dah ah, jangan diliatin mulu! Entar malah susah buat lupainnya."

   "Mama ...," racaunya tanpa membuka kedua kelopak mata, keringat di dahinya mengucur dengan deras bercampur dengan sisa-sisa darah yang berhasil menembus kasa steril. Kepala dan tangan Lian diperban. "Lian?!"

   Naya bingung sendiri, dia mengambil tisu dan dengan lembut dia membersihkan keringat yang bercampur darah itu.

   "Lo mimpi buruk, ya? Makanya cepetan bangun biar nggak mimpi buruk lagi," katanya bermonolog sendiri. "Lo rindu banget sama mama lo, 'kan? Ya udah, lo bangun dulu entar gue bantuin nyari mama lo gimana? Lo kan sibuk banget tuh, bagaimana kalau gue yang nyari? Tapi lo harus janji jangan pergi."

   Naya membuang tisu bekas ke keranjang sampah, dia tidak tega melihat Lian seperti ini. Sepertinya Lian banyak masalah, tapi dia nggak pernah ngeluh.

    "Dah, ya gue pulang dulu. Pokoknya lo harus sembuh! Titik nggak pakai koma," kekeh Naya tersenyum hangat. "Jangan pergi, lo itu baik banget sumpah! Lo nolongin gue dengan cara lo sendiri. Aulian, gue sayang sama lo."

   Naya tidak membiarkan mulutnya semakin tidak terkendali, dia pun keluar ruangan. Tanpa Naya sadari sejak tadi air matanya lolos begitu saja, setulus inikah rasanya mencintai?!

   Sebelum meninggalkan ruangan, Naya melihat Lian sekali lagi, seorang cowok yang berhasil meresahkan hatinya. Lian masih memejamkan mata damai, entah sampai kapan dia akan menutup mata yang jelas Naya merindukan binaran dari kedua bola mata teduhnya sekali lagi. Semoga semesta mendukungnya kali ini.

   Naya pulang bersama Wildan dan Dika, sedangkan Wiwit masih di sini untuk menjaga Tina di rumah sakit.

   ****

   "Syukur deh, kalau Lian baik-baik saja, padahal gue tuh selalu chat-chatan sama dia. Hari ini doang dia nggak nge-hubungi gue," cerita Belva pada Farez karena Bian sedang mencari makanan untuk mereka.

   Farez tersentak mendengarnya, bukan karena apa, tapi kalau di rumah dia jarang melihat abangnya membalas pesan-pesan. Mungkin hanya satu atau dua orang, jika pun penting Lian akan menelponnya.

   "Bang Lian jarang tuh bales chat," timpal Farez membuat Belva terkekeh. "Lo aja yang nggak tau, Rez."

   Selain bersahabat dengan Lian sejak kecil, Belva sangat mengenal baik keluarganya. Dia merogoh ponsel dan menunjukkan riwayat obrolannya bersama Lian.

   Kok gue ngerasa itu bukan abang, ya, batin Farez hanya memendam tanpa mau menyahut.

.
.
.
.

—Next—

AULIANAYA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang